--> Cara Muhammad Al-Ghazali Memahami Hadis: Antara Teks, Akal, dan Keadilan | Fragmen Ilmiah

Fragmen Ilmiah: kumpulan bahan makalah serta konten evergreen yang mudah dipahami.

Total Tayangan Halaman

12/11/19

Cara Muhammad Al-Ghazali Memahami Hadis: Antara Teks, Akal, dan Keadilan

| 12/11/19

Cara Muhammad Al-Ghazali Memahami Hadis: 

Antara Teks, Akal, dan Keadilan


Muhammad Al-Ghazali adalah salah satu ulama besar Mesir abad ke-20 yang dikenal sebagai da’i karismatik.

gudangmakalah165.blogspot.com - Muhammad Al-Ghazali adalah salah satu ulama besar Mesir abad ke-20 yang dikenal sebagai da’i karismatik, penulis produktif, dan pemikir Islam moderat. 

Ia lahir pada 22 September 1917 di Naqla al-‘Inab, Provinsi al-Buhaira, Mesir. 

Semasa hidupnya, ia menulis lebih dari 40 buku yang banyak membahas dakwah, pemikiran Islam kontemporer, serta pembaruan pemahaman keagamaan.

Dua karyanya yang terkenal dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan adalah Keprihatinan Seorang Juru Dakwah (1984) dan Al-Ghazali Menjawab 40 Soal Islam Abad 20 (1989).



 Al-Ghazali pernah terlibat dalam organisasi Al-Ikhwan Al-Muslimun, namun pandangan keislamannya tetap kritis dan terbuka, termasuk dalam memahami hadis.

Standar Kualitas Hadis Versi Al-Ghazali
Muhammad Al-Ghazali memiliki pendekatan yang cukup kritis dalam menilai keshahihan hadis. Ia menetapkan lima kriteria, yaitu:

Tiga kriteria untuk sanad (rantai perawi): Perawi harus memiliki sifat dhabit (kuat hafalan) dan ‘adalah (berintegritas), serta seluruh mata rantai sanad harus lengkap tanpa terputus.

Dua kriteria untuk matan (isi hadis): Hadis tidak boleh syadz (ganjil atau bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya) dan tidak boleh mengandung ‘illah qadihah (cacat tersembunyi yang membuat hadis tertolak menurut pakar hadis).

Uniknya, Al-Ghazali tidak menjadikan unsur kesinambungan sanad sebagai syarat utama. Baginya, aspek isi dan relevansi hadis jauh lebih penting daripada hanya sekadar rantai periwayatan.


Ia juga menekankan bahwa pengujian hadis sebaiknya dilakukan secara kolaboratif. Para ahli hadis (muhaddits) perlu berdialog dengan para ahli tafsir, fikih, kalam, dan lainnya agar pemahaman hadis menjadi lebih komprehensif dan tidak sempit.

Empat Metode Al-Ghazali dalam Memahami Hadis

1. Uji Matan dengan Al-Qur’an

Al-Ghazali sangat keras dalam menolak pemahaman literal terhadap hadis yang secara sanad shahih, tetapi isinya bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Menurutnya, Al-Qur’an adalah sumber utama dalam Islam, dan semua hadis harus dipahami dalam kerangka makna yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, baik secara langsung maupun tidak.

Ia bahkan lebih memilih hadis dengan sanad lemah jika isinya sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an—daripada hadis yang sanadnya kuat tetapi bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan umat.

Contohnya, dalam persoalan muamalah atau sosial kemasyarakatan, ia tidak ragu untuk mengkritisi hadis-hadis sahih yang dianggap tidak sejalan dengan ruh Al-Qur’an.

2. Uji Matan dengan Hadis Lain

Sebuah hadis tidak bisa berdiri sendiri. Al-Ghazali menilai bahwa setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis-hadis lain yang memiliki sanad lebih kuat atau bersifat mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang di setiap tingkatan). 

Setelah itu, ia membandingkannya dengan prinsip-prinsip umum dalam Al-Qur’an. Ini membantu mencegah penarikan kesimpulan hukum yang sempit atau kontradiktif.

3. Uji Matan dengan Fakta Sejarah

Bagi Al-Ghazali, sejarah bukan hanya pelengkap, tetapi alat bantu penting dalam memahami hadis. Jika sebuah hadis tampak bertentangan dengan fakta sejarah yang sahih, maka ia perlu dipertanyakan. Karena, menurutnya, kebenaran hadis harus bersinergi dengan realitas historis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebaliknya, jika hadis didukung oleh data sejarah yang kuat, maka validitasnya pun makin kokoh. Ini menunjukkan bagaimana Al-Ghazali ingin menjaga integritas ajaran Islam dengan pendekatan yang rasional dan realistis.

4. Uji Matan dengan Ilmu Pengetahuan dan Prinsip Keadilan

Salah satu pendekatan paling progresif dari Al-Ghazali adalah pengujian hadis dengan prinsip keilmuan dan keadilan. Ia menolak keras hadis apa pun yang bertentangan dengan teori ilmiah yang sudah terbukti, nilai-nilai keadilan universal, atau hak asasi manusia.

Menurutnya, tidak masuk akal jika Islam—sebagai agama rahmat—mengabaikan prinsip keadilan dan logika. 

Jika sebuah hadis, walaupun sahih sanadnya, mengandung muatan yang diskriminatif atau tidak adil, maka hadis itu harus dikritisi dan tidak layak dijadikan pijakan hukum.

Penutup

Muhammad Al-Ghazali memberi kita pelajaran penting: memahami hadis tidak cukup dengan menerima teks begitu saja. Dibutuhkan pendekatan yang holistik—mengaitkan antara sanad, isi, konteks sejarah, ilmu pengetahuan, dan tentu saja nilai-nilai inti dari Al-Qur’an.

Pemikiran Al-Ghazali membuka jalan bagi pembaruan pemahaman Islam yang lebih adil, rasional, dan relevan dengan kehidupan modern.

Ia menunjukkan bahwa Islam tidak anti-nalar, dan justru mendorong umatnya untuk terus berpikir kritis demi menjaga kemurnian dan kemaslahatan ajaran agama.

Related Posts

Tidak ada komentar:

Posting Komentar