Menyelami Metode Pemahaman Hadis ala Syekh Mahmud Syaltut:
Antara Tradisi dan Pembaruan
![]() |
Syekh Mahmud Syaltut, salah satu ulama besar dan pembaharu pemikiran Islam modern, lahir pada 23 April 1893 di desa Minyat Bani Manshur, distrik Itay, Provinsi Buhaira, Mesir. |
gudangmakalah165.blogspot.com - Beliau berasal dari keluarga petani yang taat beragama. Ayahnya dikenal sebagai sosok karismatik di desanya, seorang petani sederhana yang memiliki pengaruh besar di lingkungan sekitarnya.
Sejak kecil, Syaltut sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia memulai pendidikannya dengan belajar membaca Al-Qur’an dan berhasil menghafalkannya pada usia 13 tahun, tepatnya pada 1906.
Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan agama di Ma’had al-Dini di Iskandariyah dan kemudian menyelesaikan studinya di Universitas Al-Azhar pada tahun 1918. Gelar "Syahadah al-‘Alimiyah al-Nizamiyah" yang diraihnya merupakan penghargaan tertinggi di Al-Azhar saat itu.
Pasca kelulusan, Syaltut mengabdikan diri di almamaternya sebagai pengajar dan aktif menulis di berbagai jurnal dan majalah yang diterbitkan oleh Al-Azhar.
Beliau juga dikenal sebagai pelopor Jamaah al-Taqrib baina al-Madzahib, sebuah organisasi yang bertujuan menjembatani perbedaan antara mazhab-mazhab Islam, terutama antara Sunni dan Syiah, untuk mengikis fanatisme mazhab dalam hukum Islam.
Pada 1927, ia diangkat sebagai dosen di Qism al-‘Ali (tingkat atas) di Al-Azhar. Namun, ide-idenya yang progresif tentang pembaruan mendapat resistensi, sehingga ia sempat dikeluarkan dari Al-Azhar pada tahun 1937.
Meskipun demikian, beliau tetap aktif di berbagai forum internasional. Tahun 1941, Syaltut menjadi anggota Jamaah Kibar al-Ulama, sebuah lembaga otoritatif yang bertanggung jawab atas seleksi calon Syekh Al-Azhar.
Tahun 1950, ia terpilih menjadi anggota Majlis al-Irsyad. Pengalaman panjangnya di bidang riset dan kebudayaan Islam membuatnya dipercaya menjadi konsultan konferensi Islam pada 1957.
Tak lama kemudian, tepatnya pada 21 Oktober 1958, Syaltut diangkat menjadi Syekh Al-Azhar. Pada masa kepemimpinannya, tradisi pemberian gelar doktor honoris causa dimulai.
BACA JUGA: Minuman Anggur Tanpa Alkohol, Begini Proses Fermentasi Anggur Tanpa Alkohol Beserta Jenis-jenisnya
Beliau sendiri menerima gelar kehormatan dari berbagai negara, termasuk dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 7 Januari 1961 dalam bidang Ushuluddin.
Gagasan Besar Syekh Syaltut dalam Memahami Hadis
1. Sunah Nabi Sebagai Sumber Akidah
Syekh Syaltut berpendapat bahwa akidah Islam tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang jelas (qath’i), baik berupa ayat Al-Qur’an atau hadis yang memiliki makna tunggal dan validitas mutlak.
Hadis yang tidak memiliki kepastian baik dalam makna maupun periwayatannya tidak layak dijadikan dasar akidah. Dengan kata lain, sebuah keyakinan harus berdiri di atas dasar yang tidak multitafsir dan dapat dipastikan berasal dari Nabi Muhammad Saw.
2. Membahas Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad
Syaltut mengikuti kaidah para ulama dalam membedakan antara hadis mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap tingkat sanad sehingga mustahil terjadi kebohongan kolektif.
Sementara itu, hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang saja dalam rantai periwayatannya, dan karenanya tidak memberikan kepastian (qath’i), melainkan hanya dugaan kuat (zhan).
Menurutnya, hadis ahad tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah karena tidak memberikan keyakinan penuh.
Bahkan meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari atau Muslim, jika sifatnya ahad, maka tetap tidak bisa dijadikan landasan akidah.
3. Realitas Hadis Mutawatir dalam Kitab-Kitab Hadis
Ada perdebatan panjang di kalangan ulama tentang keberadaan hadis mutawatir dalam kitab-kitab hadis yang telah dikodifikasi.
Beberapa ulama, seperti Ibn al-Salah, berpendapat bahwa hampir tidak ada hadis mutawatir dalam koleksi para ahli hadis.
Sementara itu, sebagian ulama lainnya tetap meyakini keberadaan hadis mutawatir dalam kitab-kitab hadis masyhur, asalkan sanad-nya jelas dan jumlah periwayatnya cukup banyak untuk menghindari kemungkinan rekayasa.
Bagi Syekh Syaltut, kriteria hadis mutawatir sangat ketat. Harus ada thuruq (jalur) periwayatan yang banyak dan masyhur, serta tidak mungkin adanya kesepakatan dusta di antara para perawinya dalam setiap tingkatan.
4. Kategori Sunah Menurut Syekh Syaltut
Syekh Syaltut membagi sunah menjadi dua kategori besar berdasarkan sifat dan fungsinya:
a. Sunah Non-Syariat (Ghairu Tasyri’iyah)
Kategori ini mencakup tindakan Nabi sebagai manusia biasa. Misalnya, kebiasaan makan, berpakaian, pengobatan, pertanian, atau pengelolaan pasukan. Tindakan semacam ini tidak bersifat mengikat dan bukan bagian dari sumber hukum Islam.
b. Sunah Syariat (Tasyri’iyah)
Sunah jenis ini bersifat normatif dan menjadi bagian dari ajaran Islam. Dibagi lagi menjadi:
Syariat Umum: Semua hal yang datang dari Nabi sebagai penyampai wahyu, seperti penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an yang bersifat umum, perincian ibadah, hukum halal-haram, akidah, dan akhlak. Ini wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.
Syariat Khusus: Tindakan Nabi sebagai pemimpin atau hakim, yang bersifat kontekstual. Umat Islam dapat mengikuti tindakan ini hanya jika mendapatkan izin dari pemimpin atau otoritas yang berwenang.
Penutup
Syekh Mahmud Syaltut bukan sekadar seorang intelektual, tetapi juga seorang reformis yang berani mengkaji ulang fondasi tradisional dalam memahami hadis.
Pendekatannya terhadap hadis menunjukkan keberanian intelektual dan kehati-hatian dalam menjadikan sumber-sumber Islam sebagai fondasi akidah dan hukum.
Dengan menempatkan hadis secara proporsional, Syaltut membuka ruang dialog dan pemahaman yang lebih rasional, kontekstual, dan inklusif dalam Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar