Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Antara Fiqh dan Hukum Negara: Bagaimana Syariat Bisa jadi Dasar Modernitas?

Antara Fiqh dan Hukum Negara: 

Bagaimana Syariat Bisa Jadi Dasar Modernitas?


"Fiqh Islam bukanlah kumpulan pasal yang siap pakai seperti undang-undang, melainkan sumber nilai yang menjadi pondasi lahirnya hukum positif."

fragmenilmiah.com - Ketika mendengar istilah syariat Islam, sebagian orang langsung membayangkan hukum yang keras, kaku, dan sulit menyesuaikan zaman. 

Padahal, kalau kita menelusuri sejarah dan konsep dasarnya, syariat justru sangat lentur dan rasional. 

Fiqh Islam bukanlah kumpulan pasal yang siap pakai seperti undang-undang, melainkan sumber nilai yang menjadi pondasi lahirnya hukum positif yakni hukum yang berlaku resmi dalam sebuah negara.

Dalam konteks modern, fiqh berfungsi layaknya “gudang ide hukum”. 

Para ahli hukum Islam melakukan ijtihad, memilih pendapat yang paling maslahat (bermanfaat), lalu menetapkannya menjadi peraturan yang mengikat seluruh warga negara.

Di sinilah letak bedanya: fiqh membuka ruang perbedaan dan penyesuaian, sedangkan hukum positif menuntut keseragaman agar semua warga mendapat perlakuan yang sama di mata hukum.

Fiqh Sebagai Sumber, Bukan Saingan Hukum Negara

Fiqh Islam tidak pernah dimaksudkan untuk menggantikan hukum positif negara. 
Ia adalah rujukan moral dan intelektual dalam membentuk hukum. 

Di masa lalu, misalnya, para ulama dan hakim (qadhi) bebas berpendapat sesuai mazhab mereka. 

Tapi ketika keputusan itu ingin diberlakukan untuk semua warga, harus ada satu pilihan yang diambil. Di sinilah kaidah klasik berlaku: “apa yang dipilih hakim menghilangkan perbedaan pendapat dalam fiqh.” 

Artinya, keputusan negara mengikat dan menyatukan, meskipun sumbernya berasal dari beragam pandangan ulama.

Prinsip ini membuat hukum Islam tidak pernah statis. Ia tumbuh bersama masyarakatnya. Ketika muncul kasus baru misalnya tentang kepemimpinan perempuan di masa Kesultanan Aceh Darussalam ulama tidak langsung menolak. 

Mereka meneliti berbagai pendapat fiqh yang ada, lalu mengambil yang paling relevan dan bermanfaat untuk kondisi sosial Aceh saat itu. 

Hasilnya, kepemimpinan perempuan menjadi sah secara hukum karena dinilai membawa kemaslahatan bagi rakyat. 
Ini bukti nyata bahwa fiqh selalu punya ruang untuk dialog dengan realitas.

Syariat yang Lentur dan Berkeadilan

Salah satu keunggulan fiqh Islam adalah keluwesannya dalam menghadapi perubahan zaman. Banyaknya khilafiyah (perbedaan pendapat) bukan kelemahan, tapi justru kekayaan intelektual. 

Para ahli hukum bisa memilih pendapat yang paling sesuai dengan konteks sosial dan budaya masyarakat tanpa keluar dari nilai dasar Islam. Dengan cara ini, syariat tidak menjadi beban, melainkan panduan etis untuk mewujudkan keadilan dan kemaslahatan.

Negara yang berlandaskan nilai fiqh sejatinya memiliki mekanisme kontrol moral yang kuat. Pemimpin tidak bisa membuat hukum sesuka hati karena semua kebijakan harus berdasar pada nilai-nilai yang telah disepakati (ijma’). 

Di sisi lain, rakyat juga tidak bisa bertindak di luar koridor hukum.

Jadi, hukum berdiri di atas keduanya di atas kekuasaan dan di atas kehendak individu. Inilah konsep negara hukum yang ideal dalam pandangan Islam: semua tunduk pada hukum, bukan pada orang.

Sinergi Fiqh dan Modernitas

Banyak yang mengira bahwa penerapan syariat Islam berarti menolak modernitas. Padahal justru sebaliknya. Fiqh punya prinsip dasar yang selaras dengan semangat hukum modern: rasional, kontekstual, dan menjunjung keadilan universal. 

Ketika nilai-nilai fiqh dijadikan dasar pembentukan undang-undang, negara tidak hanya mengejar aspek legal formal, tetapi juga moral dan sosial.

Dalam ranah perdata (ahwal syakhsiyah), pidana (jinaiyah), tata negara (dusturiy), hingga hukum internasional (duwaliy), fiqh sudah lebih dulu membahas prinsip-prinsip yang kini diadopsi hukum modern: hak individu, keadilan sosial, tanggung jawab negara, dan perlindungan terhadap yang lemah. 

Bahkan, fiqh memberi ruang kolaborasi lintas agama dan keilmuan. Jika sebuah persoalan butuh pandangan ahli non-Muslim misalnya dalam urusan ekonomi, kedokteran, atau lingkungan maka pandangan mereka juga dipertimbangkan selama mengarah pada kemaslahatan umum.

Negara Madani: Syariat di Tangan Rakyat

Konsep ini melahirkan apa yang disebut sebagai qanun madani negara sipil yang dikelola berdasarkan nilai Islam, tetapi tetap menghargai pluralitas. 

Dalam sistem seperti ini, hukum Islam tidak dipaksakan sebagai dogma, melainkan dijalankan sebagai paradigma etis untuk mengatur kehidupan bersama. 

Semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, berada di bawah payung hukum yang sama.
Menariknya, dalam ruang publik Islam pun ada batas-batas yang jelas. 

Umat Islam tidak boleh mencampuri urusan ritual agama lain, termasuk hukum pernikahan atau aturan “halal-haram” dalam kepercayaan mereka. 

Namun ketika sebuah tindakan melanggar keadilan sosial atau merusak ketertiban umum, maka hukum positif negara tetap berlaku. 
Inilah wajah syariat yang ramah, rasional, dan menghormati perbedaan.

Penutup: Saat Fiqh Menjadi Jembatan, Bukan Tembok

Fiqh Islam adalah warisan intelektual yang sangat kaya. Ia bukan kitab larangan, melainkan peta jalan menuju peradaban hukum yang adil. 
Dalam konteks negara modern, fiqh bisa berperan sebagai fondasi moral dan sumber inspirasi hukum positif. 

Ia bukan penghalang modernitas, tapi jembatan antara nilai spiritual dan kebutuhan sosial.
Selama prinsip kemaslahatan dan keadilan tetap dijaga, maka fiqh akan selalu relevan bahkan di era serba digital seperti sekarang.

Mungkin inilah yang membuat syariat Islam tidak pernah usang: ia hidup, berdialog, dan tumbuh bersama zaman.


Posting Komentar

0 Komentar