Multi Level Marketing (MLM):
Antara Berkah Jualan atau Jebakan Sistem?
| “Bisnis MLM kerap menuai pro dan kontra. Dalam Islam, kehalalan bukan hanya soal produk, tapi juga sistem dan niat di baliknya.” |
fragmenilmiah.com - Sistem multi level marketing (MLM) sering muncul dengan janji manis: modal kecil, untung besar, bebas waktu, dan bisa kaya lewat jaringan.
Tapi di balik narasi “rezeki berjenjang”, banyak ulama menilai sistem ini lebih mirip permainan uang berlapis daripada jual beli yang benar. Jadi, sebenarnya MLM itu halal atau haram?
Ketika Rezeki Dijual dalam Bentuk Jaringan
Bagi banyak orang, MLM dianggap solusi ekonomi: tinggal promosi, rekrut teman, dan dapat komisi. Tapi di balik itu ada sistem berjenjang yang tak semua orang paham sepenuhnya.
Kamu bayar untuk gabung, disuruh beli produk, lalu diajak merekrut orang lain agar kamu naik level dan dapat “bonus jaringan”.
Kalau di awal terkesan sederhana, masalahnya mulai muncul saat keuntungan besar datang bukan dari jual produk, tapi dari merekrut orang baru.
Nah, di sinilah para ulama mulai beda pandangan. Sebagian menilai MLM adalah bentuk usaha yang sah, asalkan barangnya benar-benar ada dan sistemnya adil.
Tapi sebagian besar justru melihat ada unsur riba, penipuan, dan ghoror—alias spekulasi untung-untungan.
Fatwa Keras dari Saudi: MLM Dilarang Total
Fatwa paling tegas datang dari Al Lajnah Ad Daimah, lembaga fatwa resmi di Arab Saudi.
Mereka menyebut MLM haram karena mengandung empat masalah besar:
1. Riba (bunga uang terselubung) – anggota menyetor uang dengan harapan mendapat pengembalian lebih besar. Intinya tukar uang dengan uang yang berlebih.
2. Ghoror (ketidakjelasan hasil) – anggota tak tahu apakah bisa dapat untung atau malah rugi. Semakin banyak jaringan, semakin tinggi risiko buntung.
3. Memakan harta orang lain dengan cara batil – keuntungan besar hanya dinikmati oleh level atas, sedangkan level bawah kebanyakan rugi.
4. Penipuan publik – karena banyak yang masuk MLM dengan iming-iming kaya cepat, padahal faktanya jauh dari itu.
Mereka bahkan menyamakan MLM dengan money game terselubung. Ujungnya, yang di atas kaya, yang di bawah tinggal harapan.
Bukan Makelar, Bukan Juga Sedekah
Banyak yang membela MLM dengan alasan: “Itu kan seperti makelar, cuma beda sistem.”
Tapi ulama menegaskan: makelar itu menjual barang kepada pembeli, bukan menjual keanggotaan.
Dalam MLM, orang membeli produk bukan karena butuh, tapi karena ingin jadi anggota agar bisa “dapat bonus”.
Jadi motivasinya bukan konsumsi, tapi investasi berjenjang—dan di situlah masalahnya.
Ada juga yang bilang komisi MLM itu seperti hadiah atau hibah. Lagi-lagi, ulama membantah.
Hadiah boleh, tapi kalau hadiah itu muncul karena posisi dalam sistem yang merugikan orang lain, statusnya berubah jadi riba terselubung.
BACA JUGA: 7 Tokoh Filsafat Alam atau Pra-Socratic, Serta Penjelasan Gnoti Seauton dan Maieutica-technic
Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golonganku.” (HR. Muslim).
MLM yang Mungkin Halal — Tapi Hampir Mustahil
Di sisi lain, Syaikh Dr. Abdullah bin Nashir As-Sulmi mencoba memberi jalan tengah.
Menurutnya, MLM bisa saja halal asal memenuhi tiga syarat ketat:
1. Tidak wajib beli produk untuk jadi anggota.
2. Harga produk tidak boleh lebih mahal dari pasaran.
3. Tidak ada biaya pendaftaran khusus.
Secara teori, ini terdengar adil. Tapi dalam praktik, hampir tak ada perusahaan MLM yang lolos tiga syarat ini.
Kalau tidak bayar di awal, ya dipaksa beli paket produk dulu. Jadi walau peluang halal itu ada, wujudnya nyaris tak ditemukan di dunia nyata
MLM Tanpa Pendaftaran, Masih Boleh Nggak?
Pandangan lebih moderat datang dari Syaikh Sholih Al Munajjid.
Ia menyebut sistem berjenjang yang keanggotaannya gratis dan tak wajib beli produk bisa termasuk jual beli yang halal — asalkan tujuannya benar-benar memasarkan barang, bukan mengejar bonus jaringan.
Contohnya seperti ini: kamu bantu jual produk teman, lalu dapat upah tetap, misalnya Rp40 ribu per penjualan.
Kalau kamu ngajak teman lain ikut jualan, kalian bagi hasil sesuai kesepakatan.
Selama tidak ada setoran uang atau syarat keanggotaan berbayar, sistem seperti ini masih termasuk samsaroh (makelar) yang dibolehkan.
Sisi Lain: Antara Inovasi dan Eksploitasi
Fenomena MLM sebenarnya menarik dari sisi sosial. Banyak orang tertarik karena faktor komunitas, motivasi, dan rasa kebersamaan.
Tapi masalahnya muncul ketika sistem itu dimanipulasi jadi piramida uang berkedok bisnis.
Banyak kasus menunjukkan, hanya sekitar 10–15% anggota MLM yang benar-benar untung, sisanya berhenti di tengah jalan dengan kerugian finansial.
Dalam ekonomi Islam, keadilan dan transparansi adalah kunci. Ketika sistem hanya menguntungkan sebagian kecil orang, maka itu tidak sesuai dengan semangat muamalah.
Penutup: Jangan Salah Bedakan Rezeki dan Rencana
MLM bisa terlihat modern dan menjanjikan, tapi dari sisi etika Islam, sistem ini penuh jebakan moral dan finansial.
Kalau produk benar-benar dibutuhkan dan transaksi jelas, silakan.
Tapi kalau fokusnya pada “merekrut orang biar dapat bonus”, hati-hati — bisa jadi kamu sedang berjualan mimpi, bukan barang.
Rezeki yang halal tak datang dari sistem berlapis, tapi dari kerja nyata dan kejujuran.
Seperti pepatah lama yang masih relevan sampai hari ini:
> “Kalau mau kaya cepat, pastikan bukan kamu yang jadi tangga untuk orang lain naik.”
0 Komentar