--> Fragmen Ilmiah : Islam | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Fragmen Ilmiah: kumpulan bahan makalah serta konten evergreen yang mudah dipahami.

Total Tayangan Halaman

Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

26/05/25

Perjalanan Menarik Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Perjalanan Menarik Berdirinya Dinasti Abbasiyah

 Perjalanan Menarik Berdirinya Dinasti Abbasiyah

Abul Abbas, didampingi tokoh-tokoh seperti Abu Ja’far dan Abu Salamah, berhasil mengambil alih Kufah dari penguasa Umayyah, Yazid bin Umar. 


gudangmakalah165.blogspot.com - Awal Mula Dinasti Abbasiyah: Dari Paman Rasulullah
Dinasti Abbasiyah lahir berkat peran penting Al-Abbas, paman Rasulullah SAW. 

Kisahnya dimulai pada tahun 132 H (750 M) ketika Abdullah Ash-Shaffah, keturunan Al-Abbas, menjadi khalifah pertama. 

Dinasti ini berdiri di atas cita-cita Bani Hasyim, yang percaya bahwa kekuasaan seharusnya dipegang oleh keturunan Rasulullah. Berbeda dengan pendahulunya, Dinasti Umayyah, Abbasiyah membawa angin segar dengan fokus pada persatuan dan keadilan.

Sebelum berdiri, tiga kota menjadi basis utama perjuangan: Humaimah, Kufah, dan Khurasan. Di Humaimah, keluarga Abbasiyah dipimpin oleh Al-Imam Muhammad bin Ali, yang meletakkan fondasi dinasti ini. 

Namun, perjalanan mereka tidak mulus. Imam Ibrahim, pemimpin awal, tertangkap dan dieksekusi oleh Khalifah Umayyah terakhir, Marwan bin Muhammad. Sebelum meninggal, ia menitipkan amanah kepada adiknya, Abul Abbas, untuk melanjutkan perjuangan dan pindah ke Kufah.

Perjuangan dan Kemenangan di Kufah

Abul Abbas, didampingi tokoh-tokoh seperti Abu Ja’far dan Abu Salamah, berhasil mengambil alih Kufah dari penguasa Umayyah, Yazid bin Umar. Pasukan Abbasiyah kemudian mengejar Marwan bin Muhammad hingga ke Mesir, di mana ia akhirnya tewas di Busir pada tahun 750 M.

Dengan kemenangan ini, Abul Abbas Ash-Shaffah resmi menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, menandai awal era baru dengan Kufah sebagai pusat kekuasaan awal sebelum pindah ke Ambar.

Sistem Pemerintahan yang Berubah

Pergantian dari Umayyah ke Abbasiyah bukan sekadar pergantian dinasti, melainkan revolusi besar dalam sejarah Islam—mirip dengan Revolusi Prancis atau Rusia di Barat. 

Ash-Shaffah memerintah selama kurang lebih empat tahun sebelum wafat pada usia muda, 29 atau 33 tahun, di Ambar. Setelahnya, dinasti ini mengalami empat periode pemerintahan yang mencerminkan perubahan politik, sosial, dan budaya:


Masa Abbasiyah I (750-847 M): Masa awal yang kuat hingga wafatnya Khalifah Al-Wastiq.
Masa Abbasiyah II (847-946 M): Dimulai dengan Khalifah Al-Mutawakkil hingga masuknya Daulah Buwaihiyah.
Masa Abbasiyah III (946-1055 M): Dari Daulah Buwaihiyah hingga kedatangan kaum Saljuk.
Masa Abbasiyah IV (1055-1258 M): Berakhir tragis dengan jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol.

Kemajuan yang Mengagumkan

Dinasti Abbasiyah dikenal sebagai masa keemasan Islam. Mereka unggul di berbagai bidang:

Sosial dan Budaya: Akulturasi masyarakat melahirkan arsitektur megah seperti istana Qashrul Dzahabi dan kota Baghdad. Sastrawan terkenal seperti Abu Nawas dan musisi seperti Al-Farabi juga muncul di era ini.

Pendidikan: Khalifah mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat dasar hingga tinggi, meletakkan dasar ilmu pengetahuan Islam.

Ilmu Pengetahuan: Filsuf seperti Al-Kindi dan sejarawan seperti Muhammad bin Ishaq berkontribusi besar. Bidang astronomi, ilmu bumi, dan agama (seperti hadis dan fiqih) juga berkembang pesat.

Politik dan Militer: Berbeda dengan Umayyah yang ekspansif, Abbasiyah fokus pada pengembangan peradaban, meski tetap mempertahankan wilayah dengan departemen pertahanan, Diwanul Jundi.

Runtuhnya Dinasti Abbasiyah
Sayangnya, kejayaan ini tak bertahan selamanya. Faktor internal dan eksternal memicu kejatuhan:

Faktor Eksternal: Perang Salib dan serangan Mongol menjadi pukulan besar. Pada 1258 M, Hulagu Khan menghancurkan Baghdad, membantai jutaan jiwa, didukung oleh pengkhianatan menteri Syiah, Ibn ‘Alqami.

Faktor Internal: Perebutan kekuasaan, munculnya dinasti kecil (seperti Thahiriyyah dan Fatimiyah), kemerosotan ekonomi akibat korupsi, dan konflik agama (seperti Syiah vs Sunni) melemahkan dinasti ini.

Penutup: Warisan yang Abadi

Meski runtuh pada 1258 M, Dinasti Abbasiyah meninggalkan warisan luar biasa dalam ilmu, seni, dan budaya Islam. Dari Baghdad yang megah hingga karya-karya intelektual yang masih dibaca, mereka mengajarkan bahwa peradaban lahir dari kerja keras dan inovasi.

Bagaimana menurutmu, apa pelajaran terbesar dari sejarah ini? Yuk, share pendapatmu di kolom komentar!

22/05/25

Ijazah: Dari Tradisi Ilmu Islam hingga Polemik Politik Modern

Ijazah: Dari Tradisi Ilmu Islam hingga Polemik Politik Modern

 Ijazah

Dari Tradisi Ilmu Islam hingga Polemik Politik Modern

IJAZAH: Dalam setiap jenjang kehidupan, ada satu lembar kertas yang tampak sederhana namun punya kekuatan besar: ijazah. 

gudangmakalah165.blogspot.com - Dalam setiap jenjang kehidupan, ada satu lembar kertas yang tampak sederhana namun punya kekuatan besar: ijazah. 

Ia bisa membuka pintu pendidikan lebih tinggi, pekerjaan, bahkan kepercayaan publik. Tapi sebenarnya, apa itu ijazah? 

Apakah ia sekadar dokumen administratif, atau ada makna yang lebih dalam dari sekadar stempel dan tanda tangan?

Apa Itu Ijazah?

Secara umum, ijazah adalah sertifikat atau surat tanda lulus yang diberikan oleh lembaga pendidikan kepada seseorang setelah menyelesaikan suatu program belajar. 

Ijazah ini bisa berupa ijazah SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Fungsinya jelas: membuktikan bahwa seseorang telah memenuhi standar akademik tertentu.**

Namun jika kita menyelami sejarahnya, istilah “ijazah” memiliki akar yang lebih dalam, khususnya dalam tradisi keilmuan Islam klasik.

Ijazah dalam Tradisi Islam: Lebih dari Sekadar Sertifikat

Dalam dunia keilmuan Islam klasik, ijazah bukan sekadar tanda kelulusan. Ia adalah izin ilmiah yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan sebuah kitab atau ilmu tertentu. 

Biasanya diberikan dalam bidang tafsir, hadis, tasawuf, atau fikih, ijazah ini bersifat sangat personal dan spiritual.

Ijazah ini mencerminkan tiga hal penting:

1. Penguasaan ilmu – Murid tidak akan diberi ijazah sebelum menguasai isinya.
2. Sanad keilmuan – Ijazah menyambungkan murid dengan silsilah guru-guru sebelumnya, hingga sampai ke sumber utama (misalnya Nabi Muhammad SAW dalam hadis).
3. Tanggung jawab moral – Penerima ijazah memikul amanah untuk menjaga dan menyebarkan ilmu dengan benar.

Contohnya, seorang santri yang belajar Shahih Bukhari di pesantren bisa menerima ijazah dari kiai, yang sanadnya menyambung sampai ke Imam Bukhari sendiri. Ini bukan sekadar bukti pernah belajar—ini adalah otorisasi keilmuan yang terverifikasi secara spiritual dan historis.

Ketika Ijazah Dipertanyakan: Kasus Jokowi dan Sensasi Publik

Di era modern, ijazah tetap menjadi instrumen penting, terutama dalam dunia pendidikan dan pemerintahan. Maka tidak heran, ketika muncul isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, media sosial dan ruang publik langsung ramai.

Sebagian pihak mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), sementara pihak kampus dan pemerintah menegaskan keasliannya. Isu ini bahkan sempat masuk ke ranah hukum, meski tidak terbukti adanya pemalsuan.

Menariknya, kasus ini menunjukkan betapa besar pengaruh satu lembar ijazah di mata masyarakat modern. 


Ia bukan sekadar dokumen, tapi simbol validasi sosial dan kepercayaan publik. Bahkan ketika seseorang sudah memiliki rekam jejak yang jelas, publik tetap ingin melihat "bukti tertulis"-nya.

Pelajaran dari 2 Dunia Ijazah

Baik dalam tradisi klasik Islam maupun dunia pendidikan modern, ijazah adalah bukti bahwa ilmu bukan sekadar dihafal, tapi juga diakui. 

Perbedaannya, ijazah klasik bersifat personal dan spiritual, sedangkan ijazah modern bersifat administratif dan legal.

Namun dalam dua-duanya, ijazah tetap mengandung tanggung jawab moral: untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmu dengan benar.

Penutup: Lebih dari Sekadar Lembar Kertas

Ijazah sejatinya adalah simbol kepercayaan. Dalam tradisi Islam, ia mewakili sanad keilmuan dan akhlak seorang murid. Dalam dunia modern, ia menjadi bukti kompetensi dan legalitas.

Dan ketika keabsahan sebuah ijazah dipertanyakan, seperti dalam kasus Jokowi, kita belajar bahwa kepercayaan publik tidak hanya dibangun oleh tanda tangan, tetapi juga oleh rekam jejak, integritas, dan kejelasan narasi.

Maka, baik di ruang kelas, pesantren, atau istana negara—ijazah tetap menjadi lembar penting dalam perjalanan hidup seseorang. Tapi jangan lupa: yang lebih penting dari ijazah adalah apa yang kita lakukan dengan ilmu yang kita miliki.


12/12/20

Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

Makalah Ijma' dan Qiyas Dalam Islam

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits)

Pengertian Ijma' dan Qiyas, Contoh hingga Macam-macamnya

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits).

Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum islam.

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits.

Mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).


Ijma’ dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. 

Khalifah Umar Ibnu Khattab RA. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum.

Jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ijma’ dan qiyas
2. Macam-macam ijma’ dan qiyas
3. Kedudukan ijma’ dan qiyas dalam agama Islam
4. Pentingnya ijma’ dan qiyas dalam agama Islam

C. Tujuan        
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami sumber hukum islam seperti ijma’ dan qiyas.


Yang telah disepakati oleh para mujtahid yang dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.

BAB II, Pembahasan 
A. Pengertian Ijma' dan Qiyas.

Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. 

Sedangkan menurut istilah; kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. 

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Pengertian qiyas. Secara Etimologi (bahasa) Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain.


Secara Terminologi (istilah) menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Imam Syafi’i mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapanhukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadis.

Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i juga berkata, “Qiyas adalah suatu yang dipecahkan berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi yang tersirat dalam al-Qur’an atau hadis, karena keduanya adalah kebenaran hakiki yang wajib dijadikan sumber

C. Macam-macam Ijma' dan Qiyas
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

Ijma’ Sharih Yaitu semua para mujtahid (pejuang islam) mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). 


Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya.

Ijma’ Sukuti (diam). Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. 

Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :

Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. 

Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.

Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.

Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil dzani (dugaan). 

Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil tidak qath’I (pasti), jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.

Contoh ijma’ sukuti. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. 

Pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.

Selain macam-macam ijma’ diatas, terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah :

Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Contoh ijma’ sahabat Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat Rasulullah.

Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. 

Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.

Contoh ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. 

Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat.

Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.

Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.

Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah.

Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam. Menurut pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma’ mujthahid Madinah saja sudah merupakan kesimpulan ijma’.

Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.

Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:

ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i (pasti) diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

ljma`Zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu Zhanni (dugaan), masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

Macam-macam Qiyas, Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya illat yang ada pada asal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :

Qiyas Awlawi, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). 

Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. 

Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “(Q.S. Al Isra’ : 23).

Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul dalam hal ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.

Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). 

Contohnya keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah An-nisa’ : 10.

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)

Yang artinya : Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). 

Dari ayat diatas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

Qiyas al-Adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok).

Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadhal (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). 

Dalam masalah kasus ini, illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. 

Namun ada segi yang lain dari illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu? Apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illah yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok.

Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :

Qiyas Jali, yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut.

Tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. 

Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.

Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. 

Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.

C. Kedudukan Ijma' dan Qiyas

Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. 

Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah: QS. An-Nisa: 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”

Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

Kedudukan Qiyas. Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. 

Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. 

Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada

Firman Allah SWT:

فَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا يَـآ اُوْ لىِ اْلاَ بــْـصَارِ

"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)

Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain).

D. Pentingnya Ijma' dan Qiyas dalam Agama Islam

Apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama’ kaum muslimin telah ijma’. Apabila ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan.

Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma’ hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah. 

Sementara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat:

Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi ijma’, karena qiyas mempunyai beberapa segi yang bermacam-macam. 

Di segi lain kehujjahan qiyas bukanlah sesuatu yang disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat dijadikan landasan bagi ijma’.

Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma’, karena qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash. 

Apabila illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan perbedaan persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma’.

Sebaliknya jika illat suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam nash, maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan landasan ijma

BAB III, Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum.

Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.

B. Saran dan Kritikan

Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’ dan qiyas) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Daftar Pusaka:
- M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
- Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
- Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
- Prof. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama, Semarang 1994m
- Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
- Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.
- Drs. H. A. Syafi’i Karim. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan Pertama 1997., Cetakan Kedua 2001
- Drs. Chaerul Uman Dkk. Ushul Fiqih 1. Pustaka Setia, Bandung 1998.


11/11/19

Mengenal Al-Qur’an dan Hadits: Pedoman Hidup Umat Islam

Mengenal Al-Qur’an dan Hadits: Pedoman Hidup Umat Islam

Mengenal Al-Qur’an dan Hadits: 

Pedoman Hidup Umat Islam

Al-Qur’an dan Hadits: Pernahkah kamu bertanya, apa yang membuat Al-Qur’an begitu istimewa bagi umat Islam? Atau mengapa hadits menjadi panduan penting di samping Al-Qur’an?.

gudangmakalah165.blogspot.com - Pernahkah kamu bertanya, apa yang membuat Al-Qur’an begitu istimewa bagi umat Islam? Atau mengapa hadits menjadi panduan penting di samping Al-Qur’an? 

Dalam artikel ini, kita akan menyelami dua sumber utama ajaran Islam yang menjadi pegangan hidup jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Yuk, simak penjelasan yang menarik dan mudah dipahami ini!

Al-Qur’an: Kitab Suci yang Penuh Makna

Apa Itu Al-Qur’an?

Bayangkan sebuah kitab yang bukan hanya sekadar buku, tetapi panduan hidup yang penuh keajaiban. 

Itulah Al-Qur’an, kitab suci umat Islam yang menjadi sumber hukum utama dalam ajaran agama. Secara bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata kerja bahasa Arab qar’a-yaqra’u-qur’anan, yang artinya “bacaan” atau sesuatu yang bisa dibaca berulang-ulang. 

Menarik, bukan? Bahasa Arab dipilih oleh Allah sebagai bahasa Al-Qur’an karena sifatnya yang sangat presisi—ubah satu huruf saja, maknanya bisa berubah total!

Secara istilah, Al-Qur’an adalah wahyu mulia dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS. 

Ini bukan sembarang perkataan, melainkan firman Allah yang murni, bukan hasil dari hawa nafsu manusia. 

Membaca Al-Qur’an bukan hanya soal melafalkan huruf demi huruf, tetapi juga tentang memahami makhraj (cara pengucapan) dan tajwid agar ibadahnya sempurna. Setiap ayat yang dibaca bernilai pahala, menjadikannya bacaan suci yang istimewa.

Apa Saja Isi Al-Qur’an?

Al-Qur’an bukan hanya kitab spiritual, tetapi juga panduan lengkap untuk kehidupan. Berikut adalah inti ajaran yang terkandung di dalamnya:

Akidah: Fondasi KeimananAkidah adalah keyakinan yang tertanam kuat di hati seorang Muslim. Ini bukan sekadar konsep yang diucapkan, tetapi harus tercermin dalam tindakan sehari-hari.


Misalnya, keimanan kepada Allah harus terlihat dari cara kita berbuat baik dan menjalani hidup sesuai nilai-nilai Islam.

Ibadah dan Muamalah: Hubungan dengan Allah dan SesamaAl-Qur’an mengajarkan bahwa manusia dan jin diciptakan untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). 

Ibadah seperti shalat dan zakat adalah cara kita berkomunikasi dengan Allah (hablum minallah). 

Di sisi lain, kita juga makhluk sosial yang perlu menjalin hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), seperti silaturahmi, jual beli, atau kegiatan kemasyarakatan. 

Tata cara bermuamalah ini dijelaskan dengan indah dalam surah Al-Baqarah ayat 82.

Hukum: Aturan untuk KehidupanAl-Qur’an mengatur berbagai aspek hukum, mulai dari perkawinan, waris, perjanjian, hingga hukum pidana, musyawarah, perang, dan hubungan antar bangsa. Semuanya dirancang untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan.

Akhlak: Cermin Kepribadian MuslimAkhlak adalah kunci kesuksesan seorang Muslim.

Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai teladan akhlak mulia, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Qalam ayat 4. Akhlak yang baik bukan hanya soal kebaikan hati, tetapi juga komitmen untuk menjalani hidup dengan integritas.

Kisah Umat Terdahulu: Pelajaran dari Masa LaluAl-Qur’an penuh dengan kisah-kisah inspiratif, seperti kisah para nabi dan umat terdahulu. Bahkan, ada surah khusus bernama Al-Qasas yang berfokus pada kisah. 

Dari kisah-kisah ini, kita bisa belajar tentang ketaatan, perjuangan, dan konsekuensi dari menentang perintah Allah (lihat QS. Al-Furqan: 37-39).

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Dorongan untuk BerkembangAl-Qur’an mendorong umat manusia untuk terus belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Ayat-ayat seperti dalam surah Ar-Ra’d ayat 19 dan Al-Zumar ayat 9 mengajak kita untuk mengeksplorasi berbagai bidang, mulai dari kedokteran, farmasi, pertanian, hingga astronomi, demi kemajuan umat manusia.


Fungsi Al-Qur’an dalam Kehidupan
Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci, tetapi juga memiliki peran besar dalam kehidupan umat manusia:

Petunjuk Hidup: Al-Qur’an adalah panduan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.  
Rahmat Allah: Sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.  

Sumber Ajaran Islam: Al-Qur’an adalah rujukan utama yang diakui kebenarannya oleh seluruh umat Islam.  

Mukjizat Nabi Muhammad SAW: Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Rasulullah.  

Pelajaran dari Kisah: Kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengajarkan hikmah dari kehidupan umat terdahulu.  

Penyembuh Hati: Al-Qur’an menawarkan solusi untuk penyakit hati seperti kesombongan, keserakahan, atau kedengkian.  

Penyempurna Kitab Sebelumnya: Al-Qur’an menjadi pembenar bagi kitab-kitab suci seperti Taurat, Zabur, dan Injil.

Kedudukan Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam. Ia menjadi pedoman hidup yang tak tergantikan, menjadikan setiap Muslim menjadikannya sebagai kompas dalam menjalani kehidupan.

Hadits: Pelengkap Al-Qur’an

Apa Itu Hadits?
Jika Al-Qur’an adalah firman Allah, maka hadits adalah cerminan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hadits mencakup semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) beliau. 

Sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, hadits memiliki peran penting dalam menjelaskan ajaran Islam. Allah bahkan memerintahkan umat Islam untuk mentaati Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hasyr ayat 7: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah; dan apa yang dilarangnya, tinggalkan.”
Jenis-Jenis Hadits

Hadits memiliki berbagai jenis yang masing-masing punya ciri khas. Berikut penjelasannya:

Hadits QudsiHadits ini istimewa karena berisi wahyu dari Allah yang disampaikan Rasulullah, tetapi bukan bagian dari Al-Qur’an. Ciri khasnya adalah redaksi seperti “Allah berfirman” atau “dari Allah”. Contohnya: “Wahai hamba-Ku, Aku haramkan kedzaliman atas diri-Ku, maka janganlah kalian berbuat dzalim” (HR. Muslim).

Hadits QauliIni adalah perkataan Rasulullah yang mencakup berbagai topik, seperti akidah, syariat, atau akhlak.

Hadits Fi’liHadits ini mencakup perbuatan Rasulullah, seperti cara beliau shalat atau menunaikan ibadah haji.

Hadits TaqririHadits ini berupa persetujuan Rasulullah terhadap perbuatan para sahabat, menunjukkan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan ajaran Islam.

Hadits HammiHadits ini mencerminkan keinginan Rasulullah yang belum terwujud, seperti keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura (HR. Muslim dan Abu Daud).

Hadits AhwaliHadits ini menceritakan sifat fisik, karakter, dan kepribadian Rasulullah, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bara: “Rasulullah adalah manusia dengan rupa dan tubuh yang sebaik-baiknya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek” (HR. Bukhari).


Unsur-Unsur Hadits

Setiap hadits terdiri dari tiga elemen penting:

Sanad: Rantai perawi yang menyampaikan hadits dari sumber aslinya. Sanad menjamin keaslian hadits.  
Matan: Isi atau teks hadits itu sendiri, yang berisi makna atau ajaran tertentu.  
Rawi: Orang yang meriwayatkan hadits.

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an. Beberapa ayat Al-Qur’an bersifat umum atau ringkas, sehingga hadits hadir untuk memberikan penjelasan. Menurut Imam Syafi’i, ada lima jenis penjelasan hadits:

Bayan Tafshil: Menjelaskan ayat-ayat yang ringkas.  
Bayan Takhshish: Menentukan makna ayat yang bersifat umum.  
Bayan Ta’yin: Menjelaskan pilihan makna dari beberapa kemungkinan.  
Bayan Tasyri’: Menetapkan hukum yang tidak ada di Al-Qur’an.  
Bayan Nasakh: Menjelaskan ayat yang menggantikan atau digantikan karena tampak bertentangan.

Kedudukan Hadits

Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, menjadi pelengkap yang membantu umat Islam memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dengan lebih baik.
Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits

Meski saling melengkapi, Al-Qur’an dan hadits memiliki perbedaan:

Bahasa dan Makna: Al-Qur’an berasal langsung dari Allah, sedangkan hadits adalah perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW.  

Periwayatan: Al-Qur’an harus diriwayatkan persis seperti aslinya, sedangkan hadits boleh disampaikan dengan maknanya saja.  

Kemukjizatan: Al-Qur’an adalah mukjizat, baik lafal maupun maknanya, sedangkan hadits bukan.  

Nilai Membaca: Membaca Al-Qur’an adalah ibadah, bahkan wajib dalam shalat (seperti membaca Al-Fatihah). Hadits tidak dibaca dalam shalat dan tidak bernilai ibadah saat dibaca.

Penutup: Al-Qur’an dan Hadits, Dua Cahaya Penuntun

Al-Qur’an dan hadits adalah dua pilar utama yang menuntun umat Islam menjalani kehidupan yang penuh makna. Al-Qur’an sebagai firman Allah memberikan pedoman utama, sementara hadits sebagai penjelas membantu kita memahami dan mengamalkannya. 

Bersama-sama, keduanya membentuk fondasi yang kokoh untuk akidah, ibadah, akhlak, dan kehidupan sosial kita. Yuk, jadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai sahabat setia dalam perjalanan hidup kita!
Islam dan Sains: Harmoni Ilmu dan Iman untuk Peradaban Modern

Islam dan Sains: Harmoni Ilmu dan Iman untuk Peradaban Modern

Islam dan Sains: 

Harmoni Ilmu dan Iman untuk Peradaban Modern

Islam dan Sains: Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi hubungan erat antara Islam dan sains modern, serta bagaimana Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi.

gudangmakalah165.blogspot.com - Pernahkah kamu bertanya, bagaimana Islam memandang sains dan teknologi? 

Apakah agama dan ilmu pengetahuan bisa berjalan beriringan? 

Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi hubungan erat antara Islam dan sains modern, serta bagaimana Al-Qur’an menjadi sumber inspirasi untuk membangun peradaban yang maju sekaligus bermoral. Yuk, simak perjalanan menarik ini!

Memahami Islam dan Sains: Dua Sisi yang Saling Melengkapi
Islam: Agama yang Mendorong Keilmuan

Islam bukan hanya soal ritual ibadah, tetapi juga tentang semangat keilmuan yang membara. Peradaban Islam dikenal dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan pendekatan ilmiah yang sistematis. 

Sejak dulu, Islam mendorong umatnya untuk mengeksplorasi potensi, meneliti alam, dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan. Menariknya, dalam pandangan Islam, tidak ada pertentangan antara agama dan sains. Justru, Islam mengajak umatnya untuk terus belajar dan berinovasi.

Al-Qur’an, sebagai pedoman utama umat Islam, adalah sumber inspirasi yang luar biasa. Kitab suci ini penuh dengan ayat-ayat yang mengajak manusia untuk mengamati alam, berpikir kritis, dan meneliti fenomena ciptaan Allah. 

Salah satu ayat yang terkenal adalah dalam surah Yunus ayat 101: “Katakanlah (Muhammad): Lakukanlah nazar (penelitian dengan metode ilmiah) mengenai apa yang ada di langit dan di bumi…” 
Ayat ini seolah menantang kita untuk menggunakan akal sehat dan rasa ingin tahu untuk memahami alam semesta.

Islam juga menegaskan bahwa sains dan teknologi harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun dunia modern telah menghasilkan teknologi canggih, sering kali kemajuan ini tidak diimbangi dengan moralitas yang mulia. 

Di sinilah konsep Islamisasi Sains muncul, yang bertujuan memastikan bahwa ilmu pengetahuan membawa kesejahteraan tanpa mengorbankan akhlak. 


Dengan kata lain, sains dalam Islam bukan hanya tentang menemukan fakta, tetapi juga tentang mendekatkan diri kepada Allah dengan memahami kebesaran ciptaan-Nya.

Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW dalam surah Al-Alaq ayat 1-5 menjadi bukti nyata betapa Islam menghargai ilmu: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. 

Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajarkan manusia dengan perantaraan kalam, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Perintah “Iqra” (bacalah) ini bukan sekadar ajakan membaca, tetapi juga dorongan untuk menuntut ilmu secara luas.

Sains: Jendela untuk Memahami Alam

Sains, yang berasal dari kata Latin scientia (pengetahuan), adalah cara kita memahami dunia melalui pengamatan, eksperimen, dan metode ilmiah. 

Sains bukan sekadar kumpulan fakta, tetapi juga proses untuk menjelaskan fenomena alam secara sistematis, empiris, dan terukur. 

Menurut Webster New Collegiate Dictionary, sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian, mencakup hukum-hukum alam yang terverifikasi melalui metode ilmiah.

Para ahli mendefinisikan sains dengan berbagai cara:

Sund dan Trowbridge: Sains adalah kumpulan pengetahuan dan proses untuk mendapatkannya.
Kuslan Stone: Sains adalah produk sekaligus proses yang tak terpisahkan, melibatkan cara-cara untuk memperoleh dan memanfaatkan pengetahuan.

Sardar: Sains adalah sarana yang membentuk peradaban, mencerminkan pandangan dunia masyarakatnya.

Sains terapan, misalnya, menggabungkan teori dengan praktik untuk menciptakan solusi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, seperti teknologi medis atau pertanian. Singkatnya, sains adalah alat untuk memahami fenomena alam dan memanfaatkannya demi kesejahteraan.

Pendidikan Sains dalam Bingkai Islam

Di era modern, sains menjadi pilar utama kemajuan, terutama di dunia Barat yang menjunjung tinggi rasionalitas. Namun, sebagai umat Islam, kita harus memastikan bahwa sains yang kita pelajari selaras dengan nilai-nilai agama. 

Kabar baiknya, Islam tidak pernah menentang sains—malah mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Salah satu dalil yang terkenal adalah hadits Rasulullah SAW: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan.” (HR. Ibnu Majah).

Hadits ini menegaskan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban (fardhu ain) bagi setiap Muslim. Namun, apa sebenarnya ilmu yang dimaksud? 

Menurut Imam Ghazali, ilmu yang wajib dipelajari adalah yang terkait dengan syariat, seperti hukum zakat bagi peternak. Sementara itu, Shadr al-Din Syirazi menawarkan pandangan yang lebih luas:

Kata “ilmu” dalam hadits mencakup semua jenis pengetahuan, dari yang sederhana hingga kompleks. Setiap Muslim, baik pemula maupun sarjana, harus terus belajar.


Mencari ilmu adalah tanggung jawab seumur hidup seorang Muslim.

Tidak ada ilmu yang buruk secara esensi. Ilmu dianggap tercela hanya jika digunakan untuk tujuan yang salah.

Dari sini, jelas bahwa sains adalah bagian dari ajaran Islam, selama tujuannya adalah untuk mencerahkan, menyejahterakan umat, dan menyebarkan nilai-nilai agama. Ilmu yang dipelajari harus diamalkan dan disebarkan, bukan hanya untuk mengejar jabatan atau keuntungan pribadi. Orang yang menuntut ilmu dengan niat tulus akan diangkat derajatnya oleh Allah, setara dengan mereka yang berjihad di jalan-Nya.

Namun, tantangannya adalah banyak ilmuwan Muslim yang terjebak dalam pandangan sains Barat yang murni materialistis. 

Sains Barat sering kali memisahkan ilmu dari nilai spiritual, menjadikannya sekadar alat untuk mencari keuntungan duniawi. Padahal, sains dalam Islam harus menjadi sarana ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Konsep sains Islam menawarkan solusi: ilmu pengetahuan yang selaras dengan ajaran Al-Qur’an, mengintegrasikan metode ilmiah dengan nilai-nilai Islami.

Sayangnya, banyak umat Islam saat ini cenderung meniru sains Barat tanpa memverifikasi kebenarannya dengan Al-Qur’an. Ini ironis, mengingat peradaban Islam pernah menjadi pelopor ilmu pengetahuan dunia. 

Untuk membangun kembali kejayaan itu, kita perlu mengembangkan sains yang berlandaskan nilai-nilai Islam, yang tidak hanya memecahkan masalah praktis tetapi juga memperkuat iman dan akhlak.

Al-Qur’an: Sumber Inspirasi Ilmu Pengetahuan

Al-Qur’an bukan hanya kitab suci, tetapi juga sumber segala ilmu. Banyak ayat Al-Qur’an yang menginspirasi penemuan ilmiah, mulai dari astronomi hingga biologi. Lebih dari 750 ayat Al-Qur’an membahas fenomena alam, seperti dalam surah Luqman ayat 10: “Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu lihat, dan Dia meletakkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu…” Ayat ini mengajak kita untuk mempelajari ciptaan Allah, dari struktur bumi hingga keanekaragaman hayati.

Imam Al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulum al-Din, mengutip Ibnu Mas’ud: “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan modern, selayaknya dia merenungkan Al-Qur’an.” 

Al-Ghazali menegaskan bahwa Al-Qur’an mencakup semua ilmu, karena ia menjelaskan esensi, sifat, dan perbuatan Allah. Wahyu pertama dalam surah Al-Alaq ayat 1-5 menegaskan pentingnya ilmu, dengan perintah “Iqra” yang menjadi simbol keutamaan pendidikan.

Banyak ilmuwan modern, termasuk dari Barat, kini mempelajari Al-Qur’an untuk memahami fenomena ilmiah, seperti sidik jari atau penciptaan alam semesta. Namun, ironisnya, banyak umat Islam yang justru mengikuti pandangan Barat tanpa memverifikasi dengan Al-Qur’an.

Contohnya, teori evolusi Darwin yang menyebut manusia berasal dari kera bertentangan dengan ajaran Islam bahwa manusia pertama adalah Nabi Adam AS.

Al-Qur’an juga membahas ilmu-ilmu sosial, seperti hukum, muamalah, ekonomi, dan hubungan antar bangsa, menjadikannya pedoman holistik. 

Dengan mempelajari Al-Qur’an, umat Islam bisa menghasilkan ilmuwan yang tidak hanya cerdas tetapi juga berakhlak mulia, yang mampu membangkitkan kembali peradaban Islam.

Penutup: Menuju Peradaban Islam yang Gemilang

Islam dan sains bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dua sisi yang saling melengkapi. Al-Qur’an, sebagai sumber ilmu yang sempurna, mengajak kita untuk mengeksplorasi alam semesta dengan akal dan iman. 
Sains Islam bukan hanya tentang menemukan teknologi baru, tetapi juga tentang membangun peradaban yang bermoral dan mendekatkan diri kepada Allah. 

Dengan mengintegrasikan ilmu dan iman, kita bisa mewujudkan visi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin—rahmat bagi seluruh alam. Yuk, jadilah bagian dari kebangkitan peradaban Islam dengan menuntut ilmu dan mengamalkannya untuk kebaikan dunia dan akhirat!

07/12/18

Kesetaraan Manusia Sebagai Makhluk Multikultural dalam Pendidikan Islam

Kesetaraan Manusia Sebagai Makhluk Multikultural dalam Pendidikan Islam

Pendidikan Islam Multikultural




Kesetaraan Manusia Sebagai Makhluk Multikultural dalam Pendidikan Islam


GUDANGMAKALAH165.BLOGSPOT.COM - Indonesia adalah negara multikultural terbesar di dunia.

Karena kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas menyebabkan Indonesia menjadi negara yang multi etnis, multi ras, multi budaya dan multi agama. 

Wilayah yang luas dari Sabang sampai Merauke terdiri dari ribuan pulau, keragaman budaya, suku, ras dan agama adalah sebuah kekayaan yang dimiliki bangsa ini. 

Keragaman kebudayaan oleh masyarakat lazim disebut multikultural. Karena memiliki keragaman sosial sering melahirkan permasalahan. 



Berbagai masalah yang timbul akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang (jalan keluar) masalah yang menyangkut sosial budaya.

Kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme sering terjadi. 

Misanya konflik di Ambon, Papua, dan Poso, dan baru-baru ini demo penolakan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta oleh Front Pembela Islam (FPI) bagaikan api dalam sekam, telah banyak merenggut korban jiwa, bahkan menghancurkan tempat-tempat ibadah (baik masjid maupun gereja). 

Agama seharusnya menjadi pendorong manusia untuk menegakkan perdamaian dan kesejahteraan bagi ummat. 



Realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasanan dan kehancuran ummat manusia. 

Upaya preventif harus segera dilakukan, dengan mengintensifkan forum-forum dialog antar ummat beragama, membangun pemahaman keagamaan yang lebih pluralis dan inklusif, serta memberikan pendidikan tentang pluralisme dan toleransi beragama melalui lembaga pendidikan.

Masyarakat Indonesia telah hidup dengan damai ditengah keragaman budaya, bahasa dan agama. 

Kehidupan yang damai tercipta karena rasa persaudaran dan kekeluargaan yang tercipta yang disebabkan karena semua penduduk Indonesia telah mengalami penderitaan yang sama yang disebabkan oleh penjajahan. 



Sebagaimana spirit persaudaraan yang ada di Fak-Fak Papua Barat dikenal dengan semboyan “Satu Tungku Tiga Batu” sedangkan di Kepulauan Raja Ampat dikenal semboyan “Satu Rumah Empat Pintu”. 

Kedua semboyan ini memiliki arti bahwa Islam, Protestan, Katolik, dan kepercayaan adat di Tanah Papua menjadi pilar dari kesatuan dan pembangunan Tanah Papua. 

Di samping Islam, Katolik, dan Protestan, animisme juga diberikan penghormatan yang sama sebagai bagian dari keluarga. 

Mereka memiliki keragaman agama antara satu dengan yang lainnya.

Senada dengan kerukunan yang ada di Papua kita bisa menemukan dalam kehidupan di masyarakat Desa Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kabupaten Barito Kuala memiliki toleransi.

Dengan anggota masyarakat desa yang terdiri dari suku Bali, Banjar dan Jawa dan agama Islam, Hindu dan Kristen. Masyarakat desa kolam kanan hidup dengan rukun dan damai. 

Bagi masyarakat desa kolam kanan silaturahmi dan musyawarah menjadi prinsip yang dipegang teguh untuk menciptakan kehidupan yang damai ditengah perbedaan budaya dan agama yang ada dimasyrakatnya.

Pendidikan merupakan sebuah sistem yang mengembangkan segala aspek pribadi dan kemampuan. 

Dalam upaya pengembangan kemampuan, jalur yang harus ditempuh adalah pendidikan. 

Dalam pendidikan itu sendiri ada beberapa aspek yang harus dicapai dalam berbagai segi kehidupan. 

Hal ini meliputi pengembangan segala segi kehidupan masyarakat, termasuk pengembangan sosial budaya, ekonomi, dan politik, serta bersedia menyelesaikan permasalahan masyarakat terkini dalam menghadapi tuntutan-tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaannya. 

Pada hakekatnya pendidikan adalah agen sebuah tradisi yang menjunjung tinggi nilai dan adat istiadat serta mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan pelik dan bukan berorientasi pada aspek kapitalisme dan kanibalisme intelektual.

Dalam pendidikan multikultural, setiap peradaban dan kebudayaan berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang lebih tinggi (superior) dari kebudayaan yang lain. 

Anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme, nativisme dan chauvinisme. 

Melalui dialog, diharapkan terjadi sumbang pemikiran yang memperkaya buda atau peradaban yang bersangkutan sehingga nanti terwujud masyarakat adil, makmur, sejahtera dan saling menghargai perbedaan.

Perspektif Islam, agama adalah jalan kesempurnaan dan keselamatan manusia. Islam bersama Rasulullah SAW sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, merupakan pondasi dalam pendidikan yang mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik dalam pendidikan multicultural di Indonesia.

Islam adalah agama universal yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, persamaan hak dan mengakui adanya keragaman latar belakang budaya dan kemajemukan. 

Multikultural menurut Islam adalah sebuah aturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, juga tidak mungkin dilawan atau diingkari. 

Setiap orang akan menghadapi kemajemukan di manapun dan dalam hal apapun. 

Ungkapan ini menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai multikultural karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui perbedaan setiap individu untuk hidup bersama dan saling menghormati satu dengan yang lainnya.

Secara sederhana, ‘multikultural’ dapat berarti ‘keragaman budaya’.

Istilah multikultural dibentuk dari kata ‘multi’ yang berarti plural; banyak; atau beragam, dan ‘kultur’ yang berarti budaya. 

Kultur atau budaya merupakan ciri-ciri dari tingkah laku manusia yang dipelajari, tidak diturunkan secara genetis dan bersifat khusus, sehingga kultur pada masyarakat tertentu bisa berbeda dengan kultur masyarakat lainnya. 

Dengan kata lain, kultur merupakan sifat yang “khas” bagi setiap individu (person) atau suatu kelompok (comunitee) yang sangat mungkin untuk berbeda antara satu dengan yang lainnya. 

Semakin banyak komunitas yang muncul, maka semakin beragam pula masingmasing kultur yang akan dibawa.

Multikulturalisme adalah gerakan pengakuan akan keragaman budaya serta pengakuan terhadap eksistensi budaya yang beragam.

Aspek ‘keragaman’ yang menjadi esensi dari konsep multikultural dan kemudian berkembang menjadi sebuah gerakan yang disebut dengan multikulturalisme, merupakan gerakan yang bukan hanya menuntut pengakuan terhadap semua perbedaan yang ada, tetapi juga bagaimana keragaman atau perbedaan yang ada dapat diperlakukan sama sebagaimana harusnya. 

Dalam kaitan ini, ada tiga hal pokok yang menjadi aspek mendasar dari multikulturalisme, yakni: Pertama, sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. 

Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang Ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua elemen sosial-budaya, termasuk juga Negara.

Kesetaraan Manusia Sebagai Makhluk Multikultural Dalam Pendidikan Islam Pendidikan Islam secara sederhana dapat diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam.

Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran dan Hadis serta pemikiran para ulama seperti yang dikemukakan M. Arifin dalam bukunya Ilmu Pendidikan Islam adalah “sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam.

Karena nilai-nilai Islam telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya”, hal ini senada dengan Abuddin Nata yang menyatakan pendidikan Islam adalah “ pendidikan yang seluruh komponen atau aspeknya didasarkan pada ajaran Islam.

Yaitu visi, misi, tujuan, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, hubungan pendidikdengan peserta didik, kurikulum, bahan ajar, sarana prasarana, pengelolaan lingkungan dan aspek atau komponen pendidikan lainnya didasarkan pada ajaran Islam, demikian juga hal ini diperkuat oleh Muhaimin, bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam.

Kata multikultural, diartikan sebagai keragaman budaya peserta didik sebagai bentuk keragaman latar belakang seseorang. 

Dengan demikian, secara etimologis pendidikan multikultural didefinisikan sebagai pendidikan yang memperhatikan keragaman budaya peserta didik.

Keragaman latar belakang yang dimiliki oleh peserta didik dijadikan sebagai fondasi dalam menyusun materi dan proses pembelajaran. 

Secara terminologis, definisi pendidikan multikultural sangat beragam. 

Pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keseragaman budaya dan etnis di dalam membentuk Gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok, maupun Negara.

Pada awalnya gagasan pendidikan multikultural muncul pada lembaga lembaga pendidikan tertentu di wilayah Amerika yang pada awalnya diwarnai oleh sistem pendidikan yang mengandung diskriminasi etnis, yang kemudian belakangan hari mendapat perhatian serius dari pemerintah. 

Pendidikan multikultural sendiri merupakan strategi pembelajaran yang menjadikan latar belakang budaya siswa yang bermacam-macam digunakan sebagai usaha untuk meningkatkan pembelajaran siswa di kelas dan lingkungan sekolah. 

Hal demikian ini dirancang untuk menunjang dan memperluas konsep-konsep budaya, perbedaan, kesamaan dan demokrasi.

Pendidikan Islam multikultural juga dapat dipahami sebagai proses pendidikan yang berprinsip pada demokrasi, kesetaraan dan keadilan; berorientasi kepada kemanusiaan, kebersamaan, dan kedamaian; serta mengembangkan sikap mengakui, menerima dan menghargai keragaman berdasarkan al-Qur’an dan hadist.

Secara normative al-Qur’an menegaskan bahwa manusia memang diciptakan dengan latar belakang yang beragam.

Multikulturalisme sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada. 

Oleh sebab itu penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.

Paradigma pembangunan pendidikan Indonesia yang sentralistik telah melupakan keragaman yang sekaligus kekayaan dan potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. 

Perkelahian, kerusuhan, permusuhan, munculnya kelompok yang memiliki perasaan bahwa hanya budayanyalah yang lebih baik dari budaya lain adalah buah dari pengabaian keragaman tersebut dalam dunia pendidikan.

Islam memandang multikultural sebagai sebuah sunnah dimana hal ini merupakan sebuah keniscayaan. 

Sehingga keragaman dan perbedaan bukanlah menjadi alasan untuk saling bermusuhan, bercerai-berai, bahkan memicu konflik. 

Pendidikan Islam multikultural harus bisa menjadi jembatan penghubung antara keberagaman yang secara alami tumbuh dalam diri masyarakat. 

Keteraturan masyarakat merupakan tujuan yang penting demi tercapainya konsep pendidikan multikultural. 

Untuk itu maka diperlukan suatu strategi agar bisa memahami cara pandang multikultural. Diantaranya ialah:
Memahami Keberagaman Bahasa
Bahasa seringkali menjadi masalah utama dalam penyampaian ilmu di masyarakat. 

Hal ini dikarenakan dalam masyarakat kita yang majemuk terdapat sangat banyak sekali bahasa setiap daerahnya. 

Bahkan terkadang dalam tiap-tiap bahasa ini mempunyai stratifikasi sosial yang membuat seseorang merasa berada pada satu tingkatan yang berbeda dengan orang lainnya. 

Selain terdapat stratifikasi sosial terkadang bahasa menjadi perang bahasa itu sendiri. 

Setiap orang akan cenderung menganggap bahasanya yang paling baik dari bahasa orang lain dan sebaliknya.

Dalam rangka penyadaran diri masyarakat ini kemudian pendidikan Islam harus bisa membangun stigma baik yang baru pada masyarakatnya. 

Untuk mencapai tujuan ini dapat dimulai dari menanamkan kesadaran kepada masyarakat untuk menghargai keberagaman bahasa. 

Dengan demikian generasi penerus kita kelak akan bisa meneruskan perjuangan kita dalam rangka menjaga keberagaman. 

Seorang pendidik harus bisa memastikan beberapa hal untuk membangun pemahaman keberagaman bahasa diantaranya ialah:

Pendidik harus mempunyai wawasan yang luas agar bisa memahamkan dan menghargai keberagaman bahasa ini.

Pendidik harus mempunyai sensitifitas terhadap masalah diskriminasi, baik dalam kelas maupun luar kelas. 

Lebih lanjut lembaga Pendidikan Islam mempunyai tugas yaitu menjelaskan kepada masyarakat mengenai pemahaman yang selama ini masih bias. 

Bahwa sudah ada peraturan tentang pelarangan melakukan diskriminasi terhadap bahasa tertentu.

Demikian tanpa terkecuali merendahkan bahasa orang lain.
Memahami Keberagaman Agama
Agama menjadi faktor yang penting untuk diperhatikan sebagai akibat dari munculnya konflik dan kerusuhan yang belakangan terjadi. 

Suatu paradigma memandang bahwa konflik antar agama belakangan terjadi karena eksklusifisme dalam beragama. 

Paradigma ini memandang bahwa agama-lah yang paling benar di antara semuanya. 

Sehingga pandangan ini membuat kesimpulan bahwa agama lain itu tidak benar dan sesat.

Padahal paradigma multikultural seharusnya menerima pendapat dan pemahaman agama lain.

Pemahaman ini pun harus disertai dengan pelaksanaannya agama lain. Pemahaman keberagaman multikultural ini ialah upaya menerima keragaman ekspresi budaya dan keberagaman masyarakat agama lain. 

Asas humanis harus diselipkan dalam pembelajaran agama supaya tidak ada lagi diskriminasi. 

Kecenderungan manusia dalam memandang sesuatu juga perlu diubah agar manusia itu dapat hidup damai dalam kemajemukan. 

Kemudian harus dibangun paradigma multikultural kepada peserta didik pada lembaga-lembaga pendidikan Islam.
 
Sebab di sini sekolah sebagai wadah tempat belajar yang mempunyai peran penting membangun keberagaman. 

Ada beberapa langkah yang bisa membentuk semangat sekolah yang toleran terhadap multikultural agama, yaitu:

Lembaga pendidikan harus menerapkan aturan lokal yang hanya diterapkan dalam sekolah itu. 

Aturan ini terkait dengan pelarangan segala jenis diskriminasi agama di lembaga itu. 

Dengan harapan agar semua warga sekolah bisa saling menghargai perbedaan agama.

Mengadakan dialog antar agama, hal ini bertujuan untuk membangun stigma baru untuk saling menghargai keyakinan orang lain.

Menyediakan buku-buku atau materi yang bermacam-macam guna mengakomodasi kebutuhan peserta didik yang beda agama. 

Selain itu ada beberapa hal lagi yang perlu diperhatikan oleh seorang pendidik. 

Diantaranya yaitu pendidik harus berupaya membangun cara beragama yang inklusif kepada peserta didik :

Pendidik harus bersikap demokratis yang artinya segala tingkah laku baik perkataan tidak diperkenankan melakukan diskriminasi.

Pendidik harus menanamkan kepedulian tinggi terhadap kejadian tertentu yang mempunyai hubungan erat dengan agama.

Melihat Keragaman Status SosialStatus sosial terkadang menjadi polemik yang turut andil dalam keberagaman dan konflik yang sering terjadi. 

Akibat keragaman status sosial ini bahkan diiringi dengan perilaku yang tidak adil. 

Masyarakat biasanya akan memberikan keseganan kepada orang yang dianggap lebih tinggi derajatnya dibanding dirinya. 

Ini yang menyebabkan kesenjangan sosial sering terjadi bahkan rawan konflik. 

Hal ini sangat mungkin terjadi pada lingkup lembaga pendidikan misalnya sekolah.

Terkadang seorang pendidik secara tidak sadar membedabedakan kondisi sosial peserta didiknya. 

Inilah bentuk intoleran dalam dunia pendidikan.

Sehingga untuk menjawab persoalan ini kemudian Pendidikan Islam hadir dengan konsep multikulturalnya membawa misi keadilan. 

Beberapa hal harus dilakukan pendidik agar lembaga Pendidikan Islam bisa menyampaikan misi mulianya dalam rangka toleransi ini, di antaranya:

Membuat peraturan lembaga pendidikan mengenai larangan perilaku diskriminatif dan ketidakadilan. 

Semua peserta didik harus diperlakukan sama tidak memandang status sosialnya. 

Sehingga dengan demikian maka baik pendidik maupun peserta didik merasa memiliki tanggungjawab yang sama.

Harus berupaya membangun sikap yang saling peduli terhadap rakyat yang mendapatkan diskriminasi misalnya dalam bidang ekonomi, sosial ataupun politik. 

Untuk itu dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan sosial berupa kerja bakti atau sumbangan-sumbangan lainnya.

Sebisa mungkin mengupayakan sikap peduli dan anti diskriminasi sosial, politik dan ekonomi di dalam kelas maupun sekolah umumnya.

Keberagaman Etnis Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia memiliki beragam etnis yang tinggal di seluruh pelosok wilayah. 

Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh masyarakat yang ingin melestarikan multikulturalisme, sehingga penting membangun pemahaman yang berkaitan dengan keragaman etnis ini. 

Demikian juga dengan Pendidikan Islam yang mau tidak mau harus turut memperbaiki kondisi ini. 

Bahkan sudah seharusnya Pendidikan Islam turut andil dalam memberikan kontribusi atas pemahaman keberagaman ini nantinya. 

Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian lembaga Pendidikan Islam dalam membangun kesadaran multikultural ini:

Membuat peraturan baru terkait dengan pelarangan diskriminasi dan sikap yang saling merendahkan antar etnis. Lembaga pendidikan tidak diperbolehkan membedakan asal usul peserta didiknya berdasarkan etnis.

Harus aktif dalam membangun pemahaman terhadap peserta didik yang berkaitan dengan keberagaman etnis.

Mengadakan pelatihan jika perlu untuk memahami keberagaman etnis.

Selain itu perlu juga pendidik untuk memaksimalkan potensinya dalam rangka memahamkan keberagaman ini: 

Berwawasan luas terkait keberagaman etnis, dan Mempunyai sensitifitas kuat terhadap gejala diskriminasi etnis dan B.