--> Fragmen Ilmiah : Kaidah | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Fragmen Ilmiah: kumpulan bahan makalah serta konten evergreen yang mudah dipahami.

Total Tayangan Halaman

Tampilkan postingan dengan label Kaidah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kaidah. Tampilkan semua postingan

11/11/19

Mengenal Al-Qur’an dan Hadits: Pedoman Hidup Umat Islam

Mengenal Al-Qur’an dan Hadits: Pedoman Hidup Umat Islam

Mengenal Al-Qur’an dan Hadits: 

Pedoman Hidup Umat Islam

Al-Qur’an dan Hadits: Pernahkah kamu bertanya, apa yang membuat Al-Qur’an begitu istimewa bagi umat Islam? Atau mengapa hadits menjadi panduan penting di samping Al-Qur’an?.

gudangmakalah165.blogspot.com - Pernahkah kamu bertanya, apa yang membuat Al-Qur’an begitu istimewa bagi umat Islam? Atau mengapa hadits menjadi panduan penting di samping Al-Qur’an? 

Dalam artikel ini, kita akan menyelami dua sumber utama ajaran Islam yang menjadi pegangan hidup jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Yuk, simak penjelasan yang menarik dan mudah dipahami ini!

Al-Qur’an: Kitab Suci yang Penuh Makna

Apa Itu Al-Qur’an?

Bayangkan sebuah kitab yang bukan hanya sekadar buku, tetapi panduan hidup yang penuh keajaiban. 

Itulah Al-Qur’an, kitab suci umat Islam yang menjadi sumber hukum utama dalam ajaran agama. Secara bahasa, Al-Qur’an berasal dari kata kerja bahasa Arab qar’a-yaqra’u-qur’anan, yang artinya “bacaan” atau sesuatu yang bisa dibaca berulang-ulang. 

Menarik, bukan? Bahasa Arab dipilih oleh Allah sebagai bahasa Al-Qur’an karena sifatnya yang sangat presisi—ubah satu huruf saja, maknanya bisa berubah total!

Secara istilah, Al-Qur’an adalah wahyu mulia dari Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril AS. 

Ini bukan sembarang perkataan, melainkan firman Allah yang murni, bukan hasil dari hawa nafsu manusia. 

Membaca Al-Qur’an bukan hanya soal melafalkan huruf demi huruf, tetapi juga tentang memahami makhraj (cara pengucapan) dan tajwid agar ibadahnya sempurna. Setiap ayat yang dibaca bernilai pahala, menjadikannya bacaan suci yang istimewa.

Apa Saja Isi Al-Qur’an?

Al-Qur’an bukan hanya kitab spiritual, tetapi juga panduan lengkap untuk kehidupan. Berikut adalah inti ajaran yang terkandung di dalamnya:

Akidah: Fondasi KeimananAkidah adalah keyakinan yang tertanam kuat di hati seorang Muslim. Ini bukan sekadar konsep yang diucapkan, tetapi harus tercermin dalam tindakan sehari-hari.


Misalnya, keimanan kepada Allah harus terlihat dari cara kita berbuat baik dan menjalani hidup sesuai nilai-nilai Islam.

Ibadah dan Muamalah: Hubungan dengan Allah dan SesamaAl-Qur’an mengajarkan bahwa manusia dan jin diciptakan untuk beribadah kepada Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). 

Ibadah seperti shalat dan zakat adalah cara kita berkomunikasi dengan Allah (hablum minallah). 

Di sisi lain, kita juga makhluk sosial yang perlu menjalin hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), seperti silaturahmi, jual beli, atau kegiatan kemasyarakatan. 

Tata cara bermuamalah ini dijelaskan dengan indah dalam surah Al-Baqarah ayat 82.

Hukum: Aturan untuk KehidupanAl-Qur’an mengatur berbagai aspek hukum, mulai dari perkawinan, waris, perjanjian, hingga hukum pidana, musyawarah, perang, dan hubungan antar bangsa. Semuanya dirancang untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan dalam kehidupan.

Akhlak: Cermin Kepribadian MuslimAkhlak adalah kunci kesuksesan seorang Muslim.

Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai teladan akhlak mulia, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Qalam ayat 4. Akhlak yang baik bukan hanya soal kebaikan hati, tetapi juga komitmen untuk menjalani hidup dengan integritas.

Kisah Umat Terdahulu: Pelajaran dari Masa LaluAl-Qur’an penuh dengan kisah-kisah inspiratif, seperti kisah para nabi dan umat terdahulu. Bahkan, ada surah khusus bernama Al-Qasas yang berfokus pada kisah. 

Dari kisah-kisah ini, kita bisa belajar tentang ketaatan, perjuangan, dan konsekuensi dari menentang perintah Allah (lihat QS. Al-Furqan: 37-39).

Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Dorongan untuk BerkembangAl-Qur’an mendorong umat manusia untuk terus belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Ayat-ayat seperti dalam surah Ar-Ra’d ayat 19 dan Al-Zumar ayat 9 mengajak kita untuk mengeksplorasi berbagai bidang, mulai dari kedokteran, farmasi, pertanian, hingga astronomi, demi kemajuan umat manusia.


Fungsi Al-Qur’an dalam Kehidupan
Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci, tetapi juga memiliki peran besar dalam kehidupan umat manusia:

Petunjuk Hidup: Al-Qur’an adalah panduan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.  
Rahmat Allah: Sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.  

Sumber Ajaran Islam: Al-Qur’an adalah rujukan utama yang diakui kebenarannya oleh seluruh umat Islam.  

Mukjizat Nabi Muhammad SAW: Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Rasulullah.  

Pelajaran dari Kisah: Kisah-kisah dalam Al-Qur’an mengajarkan hikmah dari kehidupan umat terdahulu.  

Penyembuh Hati: Al-Qur’an menawarkan solusi untuk penyakit hati seperti kesombongan, keserakahan, atau kedengkian.  

Penyempurna Kitab Sebelumnya: Al-Qur’an menjadi pembenar bagi kitab-kitab suci seperti Taurat, Zabur, dan Injil.

Kedudukan Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber utama dan pertama dalam ajaran Islam. Ia menjadi pedoman hidup yang tak tergantikan, menjadikan setiap Muslim menjadikannya sebagai kompas dalam menjalani kehidupan.

Hadits: Pelengkap Al-Qur’an

Apa Itu Hadits?
Jika Al-Qur’an adalah firman Allah, maka hadits adalah cerminan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hadits mencakup semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) beliau. 

Sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, hadits memiliki peran penting dalam menjelaskan ajaran Islam. Allah bahkan memerintahkan umat Islam untuk mentaati Rasulullah, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hasyr ayat 7: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah; dan apa yang dilarangnya, tinggalkan.”
Jenis-Jenis Hadits

Hadits memiliki berbagai jenis yang masing-masing punya ciri khas. Berikut penjelasannya:

Hadits QudsiHadits ini istimewa karena berisi wahyu dari Allah yang disampaikan Rasulullah, tetapi bukan bagian dari Al-Qur’an. Ciri khasnya adalah redaksi seperti “Allah berfirman” atau “dari Allah”. Contohnya: “Wahai hamba-Ku, Aku haramkan kedzaliman atas diri-Ku, maka janganlah kalian berbuat dzalim” (HR. Muslim).

Hadits QauliIni adalah perkataan Rasulullah yang mencakup berbagai topik, seperti akidah, syariat, atau akhlak.

Hadits Fi’liHadits ini mencakup perbuatan Rasulullah, seperti cara beliau shalat atau menunaikan ibadah haji.

Hadits TaqririHadits ini berupa persetujuan Rasulullah terhadap perbuatan para sahabat, menunjukkan bahwa tindakan tersebut sesuai dengan ajaran Islam.

Hadits HammiHadits ini mencerminkan keinginan Rasulullah yang belum terwujud, seperti keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura (HR. Muslim dan Abu Daud).

Hadits AhwaliHadits ini menceritakan sifat fisik, karakter, dan kepribadian Rasulullah, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bara: “Rasulullah adalah manusia dengan rupa dan tubuh yang sebaik-baiknya, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek” (HR. Bukhari).


Unsur-Unsur Hadits

Setiap hadits terdiri dari tiga elemen penting:

Sanad: Rantai perawi yang menyampaikan hadits dari sumber aslinya. Sanad menjamin keaslian hadits.  
Matan: Isi atau teks hadits itu sendiri, yang berisi makna atau ajaran tertentu.  
Rawi: Orang yang meriwayatkan hadits.

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an
Hadits berfungsi sebagai bayan (penjelas) bagi Al-Qur’an. Beberapa ayat Al-Qur’an bersifat umum atau ringkas, sehingga hadits hadir untuk memberikan penjelasan. Menurut Imam Syafi’i, ada lima jenis penjelasan hadits:

Bayan Tafshil: Menjelaskan ayat-ayat yang ringkas.  
Bayan Takhshish: Menentukan makna ayat yang bersifat umum.  
Bayan Ta’yin: Menjelaskan pilihan makna dari beberapa kemungkinan.  
Bayan Tasyri’: Menetapkan hukum yang tidak ada di Al-Qur’an.  
Bayan Nasakh: Menjelaskan ayat yang menggantikan atau digantikan karena tampak bertentangan.

Kedudukan Hadits

Hadits adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, menjadi pelengkap yang membantu umat Islam memahami dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dengan lebih baik.
Perbedaan Al-Qur’an dan Hadits

Meski saling melengkapi, Al-Qur’an dan hadits memiliki perbedaan:

Bahasa dan Makna: Al-Qur’an berasal langsung dari Allah, sedangkan hadits adalah perkataan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW.  

Periwayatan: Al-Qur’an harus diriwayatkan persis seperti aslinya, sedangkan hadits boleh disampaikan dengan maknanya saja.  

Kemukjizatan: Al-Qur’an adalah mukjizat, baik lafal maupun maknanya, sedangkan hadits bukan.  

Nilai Membaca: Membaca Al-Qur’an adalah ibadah, bahkan wajib dalam shalat (seperti membaca Al-Fatihah). Hadits tidak dibaca dalam shalat dan tidak bernilai ibadah saat dibaca.

Penutup: Al-Qur’an dan Hadits, Dua Cahaya Penuntun

Al-Qur’an dan hadits adalah dua pilar utama yang menuntun umat Islam menjalani kehidupan yang penuh makna. Al-Qur’an sebagai firman Allah memberikan pedoman utama, sementara hadits sebagai penjelas membantu kita memahami dan mengamalkannya. 

Bersama-sama, keduanya membentuk fondasi yang kokoh untuk akidah, ibadah, akhlak, dan kehidupan sosial kita. Yuk, jadikan Al-Qur’an dan hadits sebagai sahabat setia dalam perjalanan hidup kita!

21/08/19

Kaidah Pokok Keempat Qawaid Fiqhyiah, Adh-dhararu Yudzalu, Ini Penjelasan Lengkapnya

Kaidah Pokok Keempat Qawaid Fiqhyiah, Adh-dhararu Yudzalu, Ini Penjelasan Lengkapnya

MAKALAH QAWAID FIQHYIAH

Dari beberapa ijtihad yang dilakukan para ulama dapat diambil suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah yang dihadapi, yang mana salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-dharuriyah


Kaidah Pokok Keempat Qawaid Fiqhyiah, Adh-dhararu Yudzalu, Ini Penjelasan Lengkapnya


GUDANGMAKALAH165.BLOGSPOT.COM - BAB I, Pendahuluan. A. Latar Belakang.

Sebagai manusia khususnya umat muslim yang hidup bermasyarakat tentunya sangat banyak permasalahan baru yang timbul didalam kehidupan bahkan cara penyelesaiannya pun tidak terdapat didalam Al-Qur’an dan Hadits.

Sehingga membuat para ulama merasa terusik dan berijtihad untuk mencari solusinya.

Meskipun demikian, mereka berijtihad bukan hanya untuk mencari solusi tetapi mereka juga berpegang teguh pada dasar-dasar umum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadist.

Sehinggga ijtihad yang mereka hasilnya tidak menyimpang dari ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT melalui nabi Muhamad SAW.

Dari beberapa ijtihad yang dilakukan para ulama dapat diambil suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah yang dihadapi, yang mana salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-dharuriyah atau Adh-dhararu yudzalu.

Kaidah Adh-dharuriyah ini meruapakan kaidah asasiyyah yang mana membahas tentang kemudharatan yang harus dihilangkan akan tetapi jika seseorang itu didalam keadaan darurat maka yang haram pun diperbolehkan.

Akan tetapi, keadaan darurat dalam hal ini yang benar-benar berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara-cara yang membawa kemudharatan.

Oleh karena itu, dalam islam memperbolehkan untuk meninggalkan hal-hal yang wajib jika dalam keadaan yang sangat darurat.

Maka disini kami sebagai penulis mencoba untuk mengkaji tentang kaidah Adh-Dharuriyah beserta keturunannya.

Apa pengertiannya, dasar hukum yang melandasinya dan juga turunan-turunan yang terkait dengan kaidah Adh-dhararu yudzalu (Kemudharatn Dihilangkan).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
2. Apa Saja Macam-macam Kemudharatan?
3. Apa Landasan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
4. Bagaimana Penerapan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
5. Apa Kaidah Cabang Adh-dhararu yudzalu?

C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Apa Pengertian Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Macam-macam Kemudharatan?
3. Untuk Mengetahui Apa Landasan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Penerapan Kaidah Adh-dhararu yudzalu?
5. Untuk Mengetahui Apa Kaidah Cabang Adh-dhararu yudzalu?

BAB II, Pembahasan. A. Pengertian Kaidah (Kemudharatn Dihilangkan). Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat "al-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.

Al-dharar adalah membahayakan orang lain secara mutlak, sedangkan al-dhirar adalah membahayakan orang lain dengan cara yang tidak disyariatkan.

Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”.
4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.

Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda. 

Dengan demikian darurat itu terkait dengan Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsaniah.

Hal tersebut memungkinkan bahwa tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. 

Misalkan seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya.

Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.

B. Macam-macam Kemudharatan

Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada empat, ialah.

1. Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-anggota tubuhnya;
2. Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda penangannya.  

Misalnya orang kelaparan belum boleh makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya lapar yang gawat akibatnya;

3. Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali melakukan perbuatan pelanggaran/kejahatan. Jika masih bisa diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah. 

Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian;
4. Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar mempertahankan hidupnya).

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. 

Sedangkan unsur-unsur darurat meliputi empat hal pula, yaitu kondisi darurat yang dihadapi; perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi kondisi darurat; objek darurat, dan orang yang berada dalam kondisi darurat.

Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu :
1. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. 

Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya;

2. Hajiah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. 

Kondisi semacam ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal, bukan makanan haram; Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk menciptakan kehidupan yang layak.

Maka hukum diterapkan menurut apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat. 

Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayur- mayur, lauk pauk, dan sebagainya;

3. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih- lebihan, yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman. 
4. Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan. 
Contoh kaidah diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis, dan sebagainya.

C. Landasan Kaidah (Kemudharatn Dihilangkan) Kaidah Fiqh “Adh-Dhararu Yuzalu” menunjukkan bahwa kemadharatan itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemadharatan memang harus dihilangkan. 

Dasar dari kaidah ini adalah firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 56:

Artinya: dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). 

Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S al-a’raf : 56) dan Surat al-Qashash ayat 77:

Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. 

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S al-Qashash : 77)

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi pemeluknya, maka harus dihilangkan jika ada. 

Kaedah ini sering diungkapakan melalui adits nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas::

Dari Abu Sa’id, Sa’ad bin Sinan Al Khudri radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang memudharatkan, dan tidak boleh membalas kemudharatan dengan cara yang salah” ( H.R. Imam Ahmad dan Ibnu Majah)

Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan dharar dan dhirar yaitu:
1. Al-Husaini mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Sedangkan al-dhirar diartikan dengan “bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudaratkan”.
2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan “ membuat kemudaratan” dan al-dhirar diartikan membawa kemudaratan diluar ketentuan syari’ah.
D. Penerapan Kaidah (Kemudharatn Dihilangkan).
Beberapa contoh mengenai kaidah ad-dhararu yuzalu antara lain:
1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
2. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
3. Jika seseorang membuat pekerjaan yang menyebabkan kerusakan dinding rumah tetangganya, maka pekerjaan ini tidak diperbolehkan mengingat bahaya yang begitu jelas di dalamnya.
4. Jika seseorang membangun rumah disamping pabrik telah berdiri sebelumnya, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik karena ada efek negatif yang diterima dirinya. Hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah bahaya dengan keinginan dan pilihannya sendiri.

Kaidah Hukum Hajr, Khiyar Aib, Khiyar Ghabn, Tas’ir, Dharibah, dan Syuf’ah
Penerapan Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” dalam beberapa hukum antara lain:
1.nHukum pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat batasan-batasan terhadap akad dari suatu pihak yang memiliki karakter membahayakan orang lain dan transaksi yang kemungkinkan besar membahayakan orang lain. 

Tindakan mencegah seseorang dari transaksi tersebut termasuk mencegah dari menyia-nyiakan hartanya disebut hajr. Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut adalah : 
- Safah atau pemborosan. Hal ini merujuk pada penyalahgunaan harta yang berlawanan dengan akal dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar atau menggunakan harta secara berlebihan di luar kebutuhan.
- Orang yang memiliki penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas seluruh harta yang dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi, waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari hartanya.
- Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk mempergunakan hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor.
2. Melanjutkan kontrak bagi hasil sampai masa panen tiba Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemudaratan.

Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada beberapa ketentuan yaitu :
- Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan kontrak karena barangnya cacat)
- Khiyar al-gabn (hak untuk membatalkan kontrak karena penipuan).

Penghentian kontrak karena beberapa keadaan.
Kebijakan penetapan harga (Tas’ir)
Tas’ir menurut bahasa adalah kesepakatan atas suatu harga. 
Adapun menurut pengertian syariah adalah perintah penguasa atau para wakilnya atau siapa saja yang mengatur urusan kaum muslimin kepada pelaku pasar agar mereka tidak menjual barang dagangan mereka kecuali dengan harga tertentu, dan mereka dilarang menambah atas harga itu agar mereka tidak melonjakkan harga, atau mengurangi dari harga itu agar mereka tidak merugikan lainnya. 

Artinya, mereka dilarang menambah atau mengurangi dari harga itu demi kemaslahatan masyakarat (Imam Taqiyuddin An-Nabhani).
4. Dharibah (Pajak)
Dharibah atau pajak adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka serta pihak-pihak yang diwajibkan atas mereka, namun Baitul mal tidak dapat memenuhi hal tersebut.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut antara lain untuk:
- Pembiayaan untuk jihad
- Pembiayaan orang-orang fakir, miskin, dan ibnu sabil.
- Pembiayaan untuk kemaslahatan kaum muslimin, memberikan layanan umum, serta hal-hal yang sangat vital bagi kaum muslimin.

Diwajibkan dharibah atas seorang muslimin yang telah mampu memenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya, sesuai standar kebutuhan pada saat itu. 

Dharibah diwajibkan atas kelebihan harta tersebut, namun sebatas terpenuhinya kebutuhan Baitul mal untuk mampu memenuhi kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas.

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tidak langsung, pajak bumi dan bangunan, pajak jual beli (muamalat) dan sebagainya sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalis.

5. Syuf’ah (Penggabungan)
Menurut bahasa, Syuf’ah berarti “penggabungan”, yakni penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). 

Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan. 

Dengan istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. 

Ilustrasi: A dan B meiliki sebuah rumah secara bersama. Tanpa sepengetahuan dan seizin A, B menjual haknya kepada C. Dalam keadaan demikian, A mempunyai hak syuf’ah dengan secara paksa mengambil rumah itu dari C melalui cara ganti rugi sebesar penjualan yang dilakukan B kepada C. 

Jadi pengambilan harta secara paksa atas harta perkongsian yang telah dijual kepada pihak luar tanpa kerelaan atau persetujuan pihak pihak yang berserikat dengan cara menebus harga jual, itulah yang dimaksud syuf’ah.

E. Kaidah Cabang
Terdapat beberapa kaidah penting, 2 diantaranya adalah:
1. Menghilangkan mudharat yang berat dengan mudharat yang ringan
  اذا تعارض مفسدتان روعى اعظمهما ضررا بارتكاب اخفِّهما
“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya” (Abdul Hamid Hakim, 1956:82).

Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. 

Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan. Misalnya penggusuran tenda pemprotes/pengungsi di jalan umum/jalan tol.
2. Menahan mudahrat yang khusus dari mudharat yang umum
الحاجة العا مة اوالخاصة تنزل منزلة الضرورة
“Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempat Dharar” (Wahbah az-Zuhaili, 1982:261).

Kaidah diatas menunjukkkan bahwa keringanan itu tidak hanya berlaku bagi kemadharatan, baik kebutuhan umum maupun khusus, sehingga dapat dikatakan bahwa keringanan itu diperbolehkan karena kebutuhan sebagaimana kebolehan keringanan atas kemadharatan, karena itu hajat itu hampir sama kedudukannya dengan mudharat.

Misalnya, pada dasarnya transaksi jual beli diharuskan terpenuhi semua rukun dan syaratnya, namun untuk mempermudah transaksi tersebut maka diperbolehkan akad salam (pesanan) walaupun pada dasarnya hal itu tidak mengikuti hukum asal.

BAB III, Penutup. A. Kesimpulan
Arti dari kaidah “ laa dharaara wa laa dhiraara “ adalah Tidak boleh ada penderitaan dari penindasan, baik oleh dirinya maupun orang lain. 

Kalimat " Dharar" yang berarti mendatangkan kesulitan dan kerusakan kepada pihak lain segala hal yang mengakibatkan kemudharatan, penderitaan, kesulitan itu tidak boleh ada. 

Maka upayanya bagaimana untuk mencegah kemunculannya, ketika kenyataannya telah muncul maka hal tersebut harus dihilangkan. 

Dan setelahnya harus dihindari keberulangannya. Dan dasar hukum yang melandasi kaidah ini yang terdapat dalam firman Allah surat Al-Qashash ayat 77 dan menurut hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah ra ditakhrijkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas yang berbunyi “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan”.

Dan turunan yang dapat diambil dari kaidah ini adalah Kemudharatan yang terjadi tidak dapat dianggap sesuatu yang telah lama adanya, Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin, Kemudharatan yang lebih berat dapat dihilangkan dengan mengerjakan kemudharatan yang lebih ringan, Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding, Kerusakan tidak dihilangkan dengan yang merusak, Keterpaksaan dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang, dan Menolak bahaya didahulukan dari pada menarik keuntungan.

03/01/18

Etika Bisnis Islam vs Barat: Mana yang Lebih Beretika?

Etika Bisnis Islam vs Barat: Mana yang Lebih Beretika?

Etika Bisnis Islam vs Barat:

Mana yang Lebih Beretika?

Di era modern ini, ketika teknologi memudahkan segalanya, dunia bisnis justru sering kali terjebak dalam persaingan tanpa moral.

gudangmakalah165.blogspot.com - Pernahkah kamu bertanya-tanya, apa sih yang bikin bisnis itu “beretika”? Di era modern ini, ketika teknologi memudahkan segalanya, dunia bisnis justru sering kali terjebak dalam persaingan tanpa moral. 

Dari fitnah antarpedagang hingga praktik bisnis haram seperti jualan minuman keras, dunia bisnis kadang lupa pada nilai-nilai kemanusiaan. 

Nah, artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana etika bisnis Islam dan Barat beradu dalam menentukan cara berbisnis yang lebih manusiawi. Yuk, simak!

Modernitas dan Tantangan Etika

Modernitas memang luar biasa. Dari smartphone sampai aplikasi canggih, hidup kita jadi jauh lebih mudah. Tapi, di balik kemudahan itu, ada harga yang harus dibayar: nilai-nilai tradisional mulai pudar. 

Norma yang dulu jadi pegangan hidup kini sering terabaikan, digantikan oleh pola pikir “yang penting untung”. 

Padahal, norma atau etika itu ibarat kompas yang menjaga kita dari kekacauan sosial. Tanpa etika, dunia bisnis bisa jadi rimba di mana manusia saling memangsa demi keuntungan.

Menurut filsuf Zygmunt Bauman, manusia itu secara moral bersifat ambivalen—tidak sepenuhnya baik atau buruk. 

Kita hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Nah, di sinilah etika berperan besar, termasuk dalam bisnis. 

Dalam Islam, etika bisnis bukan sekadar aturan, tapi cerminan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah SAW. Sebaliknya, di Barat, etika bisnis lebih berpijak pada akal dan logika. Penasaran bagaimana perbedaannya? Mari kita ulas!

Apa Itu Etika Bisnis?

Dalam Islam, etika sering disebut akhlak, yang artinya budi pekerti, watak, atau tingkah laku. Menurut Ibnu Maskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang bertindak tanpa perlu berpikir panjang. 

Jadi, kalau akhlaknya baik, tindakannya otomatis baik. Sementara itu, di Barat, etika berasal dari kata Yunani ethos, yang berarti kebiasaan atau karakter. 

Menurut Hamzah Ya’qub, etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan buruk berdasarkan akal pikiran.

Etika dalam bisnis, baik Islam maupun Barat, berfungsi sebagai “self-control” untuk menilai apakah tindakan kita benar atau salah. 

Tapi, ada perbedaan besar: Islam memadukan nilai duniawi dan ukhrawi, mengacu pada Al-Qur’an dan Hadis, sementara Barat lebih teoritis, berfokus pada logika dan kepentingan kelompok. 

Islam mengajarkan keseimbangan—hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan—sedangkan Barat lebih pragmatis.

Apa Itu Bisnis?

Kata “bisnis” berasal dari bahasa Inggris business, yang artinya kesibukan, khususnya yang menghasilkan keuntungan. Dalam kamus Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha dagang atau komersial. 

Menurut Skinner (1992), bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling menguntungkan. 

Sementara Straub dan Attner (1994) bilang bisnis adalah organisasi yang memproduksi dan menjual barang atau jasa demi profit.

Dalam Islam, bisnis bukan sekadar cari untung. Bisnis Islami punya batasan halal-haram, baik dalam cara mendapatkannya, mengolahnya, maupun mendayagunakannya. 

Sejak zaman Rasulullah SAW, bisnis sudah jadi bagian penting kehidupan umat Islam. Beliau sendiri dikenal sebagai pedagang sukses yang jujur dan amanah, jauh sebelum menjadi nabi.

Keberhasilan beliau dalam bisnis—berkat etika, moral, dan etos kerja—jadi teladan bagi umat Islam hingga kini.

Mengapa Etika Penting dalam Bisnis?

Etika ibarat rambu-rambu yang menjaga bisnis tetap pada jalur yang benar. Tanpa etika, bisnis bisa jadi ajang “hukum rimba” di mana yang kuat menang, yang lemah jadi korban. Etika bisnis punya tiga tujuan utama:

1. Memberi kesadaran: Membantu pelaku bisnis memahami dimensi etis dalam setiap keputusan.

2. Memperkenalkan argumen moral: Mengajarkan cara menyusun argumen moral dalam bisnis.

3. Menentukan sikap moral: Membantu pelaku bisnis memilih tindakan yang tepat sesuai nilai moral.

Etika bisnis Islam bersumber dari Al-Qur’an, Hadis, dan fiqih, yang menekankan moralitas dan spiritualitas. Sebaliknya, etika Barat sering terinspirasi dari Alkitab atau Taurat, tapi lebih condong ke prinsip kapitalisme atau pragmatisme. 

Misalnya, di Barat, bisnis minuman keras atau obat terlarang bisa dianggap sah selama legal dan menguntungkan. Dalam Islam? Jelas haram, karena dampaknya merusak individu dan masyarakat.

Islam vs Barat: Persaingan atau Kolaborasi?

Di dunia Barat, bisnis sering kali mengikuti prinsip homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). 

Pesaing dianggap musuh yang harus dikalahkan, bahkan kalau perlu dengan cara kotor seperti fitnah atau sabotase. Sayangnya, pola ini kini merambah ke mana-mana, termasuk Indonesia—bayangkan, ada penjual bakso yang rela memfitnah kompetitor demi keuntungan!

Sebaliknya, Islam mengusung prinsip homo homini socius (manusia adalah kawan bagi sesamanya). Dalam bisnis Islami, kompetitor bukan musuh, melainkan partner untuk saling memajukan.

Persaingan harus sehat, fokus pada kualitas dan pelayanan, bukan saling menjatuhkan. Etika bisnis Islam berlandaskan Al-Qur’an, Hadis, dan fiqih, menekankan kejujuran, amanah, dan keberkahan, baik untuk dunia maupun akhirat.

Mengapa Etika Bisnis Islam Solusi Terbaik?

Etika bisnis Islam menawarkan pendekatan holistik yang menyeimbangkan keuntungan duniawi dan keberkahan ukhrawi. Dengan berpegang pada Al-Qur’an dan Hadis, bisnis Islami menolak anggapan bahwa bisnis hanya soal profit tanpa moral. 

Contohnya, Rasulullah SAW dikenal sebagai pedagang yang jujur, yang selalu mengutamakan kepercayaan pelanggan. Prinsip ini relevan hingga kini, terutama di Indonesia, di mana ekonomi syariah sedang berkembang pesat.

Etika bisnis Islam bukan cuma soal aturan, tapi juga soal membangun dunia bisnis yang bersih dan menyejukkan.

Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Qur’ani, bisnis Islami bisa jadi cakrawala baru yang menghidupkan kembali nilai kemanusiaan dalam ekonomi modern.

Kesimpulan

Etika bisnis, baik Islam maupun Barat, punya peran besar dalam menjaga dunia bisnis tetap manusiawi. Tapi, etika bisnis Islam punya keunggulan: ia tak hanya bicara soal benar-salah berdasarkan akal, tapi juga soal keberkahan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis. 

Di tengah dunia yang sering kali mengutamakan profit di atas segalanya, etika bisnis Islam mengajak kita untuk berbisnis dengan hati—menjadikan kompetitor sebagai kawan, bukan musuh. Yuk, wujudkan bisnis yang tidak hanya untung, tapi juga penuh berkah!

Sumber: Review Jurnal “Dialektika Etika Islam dan Etika Barat Dalam Dunia Bisnis” oleh Johan Arifin, Millah Vol. VIII, No. 1, Agustus 2008. Direview oleh Muhammad Rizki Amanda Lubis, 30 Desember 2017.