Ketika Ketakutan Tak Butuh Darah
Misteri Psikologis dalam The Turn of the Screw
![]() |
| "The Turn of the Screw karya Henry James adalah salah satu kisah horor klasik yang paling menarik sepanjang masa." |
fragmenilmiah.com - The Turn of the Screw karya Henry James adalah salah satu kisah horor klasik yang paling menarik sepanjang masa.
Namun, jangan bayangkan cerita ini penuh darah, teriakan, atau kejar-kejaran hantu seperti film horor pada umumnya.
Justru sebaliknya, Henry James menciptakan ketakutan yang halus, perlahan, dan sangat manusiawi.
Ia tidak membuat pembacanya takut karena penampakan makhluk halus, melainkan karena rasa cemas, ragu, dan ketidakpastian yang tumbuh di dalam pikiran.
BACA JUGA: Keberanian Ulama Sejati di Hadapan Penguasa
Cerita ini dimulai dengan suasana malam yang tenang. Sekelompok orang berkumpul di sekitar perapian dan mendengarkan seorang pria bernama Douglas yang hendak membacakan kisah nyata dari seorang pengasuh muda.
Kisah itu bukan sekadar dongeng, melainkan catatan pengalaman pribadi seorang wanita muda yang pernah bekerja di rumah pedesaan terpencil di Inggris.
Dari sinilah kisah The Turn of the Screw dimulai, perlahan membawa pembaca masuk ke dalam dunia misteri yang membingungkan antara nyata dan khayal.
Tokoh utama, seorang pengasuh muda tanpa nama, dipekerjakan untuk merawat dua anak yatim bernama Miles dan Flora.
Mereka tinggal di rumah besar di pedesaan bernama Bly, jauh dari hiruk pikuk kota. Awalnya, semua berjalan damai.
Kedua anak itu tampak manis dan berperilaku sopan. Namun seiring waktu, sang pengasuh mulai melihat sesuatu yang aneh: sosok pria dan wanita yang berdiri di tempat-tempat tak seharusnya di menara, di tepi danau, atau di jendela.
Ia yakin sosok itu adalah arwah dua mantan pekerja rumah tersebut, Peter Quint dan Miss Jessel, yang dikabarkan telah meninggal secara tragis.
Namun, misteri terbesar bukan terletak pada keberadaan hantu, melainkan pada apakah hantu itu benar-benar ada.
Henry James dengan cerdik membuat pembaca terus bertanya-tanya: apakah sang pengasuh benar-benar melihat hantu, atau semua itu hanyalah hasil imajinasinya sendiri?
Tak ada bukti yang pasti. Kadang pengurus rumah tangga bernama Mrs. Grose tampak percaya, kadang ragu.
Bahkan anak-anak yang disebut-sebut menjadi sasaran roh jahat itu tetap tenang, seolah tidak melihat apa pun.
Dari sini, ketegangan yang dibangun Henry James menjadi semakin dalam. Bukan ketegangan karena ancaman fisik, melainkan ketegangan psikologis.
Pembaca dipaksa untuk ikut merasakan kebingungan dan ketakutan si pengasuh.
Apakah ia sedang melindungi anak-anak dari kejahatan tak terlihat, atau justru ia sendiri yang menjadi sumber bahaya bagi mereka?
Pertanyaan inilah yang membuat The Turn of the Screw begitu kuat dan abadi hingga kini.
Henry James tidak menulis horor untuk menakut-nakuti pembacanya dengan hantu, tapi untuk menunjukkan bahwa rasa takut sejati sering kali datang dari dalam diri manusia.
BACA JUGA: Ketika Muhammad Kecil Melihat Dunia yang Tak Adil: Awal Tumbuhnya Kesadaran Sosial Rasulullah
Rasa bersalah, kesepian, dan tekanan batin bisa menciptakan bayangan-bayangan yang tampak lebih nyata daripada makhluk halus mana pun.
Inilah yang membuat kisah ini begitu unik: tidak ada darah, tidak ada kematian brutal, tapi tetap membuat bulu kuduk berdiri.
Kekuatan lain dari The Turn of the Screw terletak pada kemampuannya menciptakan suasana.
Henry James menulis dengan kalimat yang berlapis-lapis, menggambarkan rumah tua itu dengan detail yang lembut tapi menegangkan.
Setiap ruangan terasa sunyi namun menyimpan sesuatu yang tak terucap. Pembaca seperti diajak berjalan di koridor panjang, mendengar langkah kaki samar, atau melihat bayangan bergerak di ujung mata.
Semua itu dilakukan tanpa satu pun adegan menakutkan yang eksplisit.
Banyak kritikus sastra menganggap karya ini sebagai pelopor genre “psychological horror”. Ia menunjukkan bahwa horor sejati tidak selalu tentang hantu yang menyerang, tetapi tentang pikiran manusia yang tak bisa dipercaya.
Dalam dunia Henry James, ketakutan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam kepala kita sendiri.
Adaptasi modern seperti serial Netflix The Haunting of Bly Manor (2020) membuktikan bahwa pesan Henry James masih relevan.
Serial itu mengambil dasar kisah The Turn of the Screw dan menggabungkannya dengan tema kehilangan dan rasa bersalah.
Penonton dibuat bertanya-tanya hal yang sama: apakah semua yang terjadi benar-benar supranatural, atau hanyalah refleksi dari trauma dan penyesalan para tokohnya?
The Turn of the Screw bukan sekadar cerita hantu, melainkan cermin dari sisi gelap manusia. Ia mengajak pembaca untuk memahami bahwa pikiran bisa menjadi medan perang antara kenyataan dan ilusi.
Ketika seseorang terlalu lama sendirian dengan ketakutannya, batas antara dunia nyata dan dunia bayangan bisa kabur.
Henry James menangkap momen itu dengan sempurna tanpa perlu darah, tanpa teriakan, hanya dengan kalimat dan suasana yang menekan perlahan hingga akhir.
Pada akhirnya, kisah ini meninggalkan pertanyaan yang tidak pernah terjawab: apakah sang pengasuh benar-benar melihat hantu, atau ia sendiri yang menjadi gila?
Henry James tidak memberikan jawaban, karena mungkin yang paling menakutkan bukanlah hantu, melainkan kenyataan bahwa pikiran manusia bisa menciptakan horor yang tak kalah nyata.
The Turn of the Screw adalah pengingat bahwa ketakutan terbesar tidak selalu datang dari luar. Ia bisa tumbuh diam-diam di dalam diri kita, dari rasa bersalah, kesepian, atau obsesi yang tak terkendali.
Henry James menunjukkan bahwa untuk membuat pembaca gemetar, seorang penulis tidak butuh darah atau jeritan cukup sebuah pikiran yang mulai kehilangan kendali. Dan di situlah, ketakutan sejati lahir.

0 Komentar