Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Pertemuan Nabi Muhammad dengan Pendeta Buhaira: Bukti Awal Kenabian di Usia 12 Tahun

Pertemuan Nabi Muhammad dengan Pendeta Buhaira:

Bukti Awal Kenabian di Usia 12 Tahun


"Ilustrasi: Saat rombongan berhenti untuk beristirahat, Buhaira memperhatikan hal yang berbeda pada anak kecil ini." 

fragmenilmiah.com  - Sebelumnya, kita sudah menyinggung kisah Muhammad kecil yang mengikuti pamannya, Abu Thalib, dalam perjalanan berdagang ke negeri Syam.
 
Di perjalanan itu, mata kecilnya mulai menyaksikan dunia yang tidak selalu adil anak-anak miskin bekerja keras untuk bertahan hidup, sementara orang kaya menghabiskan malamnya dalam pesta dan kemewahan. 

Meski masih berusia 12 tahun, hati Muhammad sudah merasakan ketidakadilan dan kepedihan sesama manusia. 

Perjalanan ini ternyata menjadi momen penting yang membuka jalan bagi masa depan kenabian beliau.

Di tengah rombongan kafilah Quraisy yang singgah di kota Bushra, Muhammad bertemu dengan seorang pendeta Nasrani bernama Buhaira. 


Ia bukan pendeta biasa Buhaira dikenal memiliki pengamatan tajam dan pemahaman mendalam tentang tanda-tanda kenabian.

Saat rombongan berhenti untuk beristirahat, Buhaira memperhatikan hal yang berbeda pada anak kecil ini. 

Ada sesuatu yang melindungi Muhammad dari panas terik matahari, sebuah tanda yang membuat pendeta itu semakin penasaran.

Pada awalnya, Muhammad kecil tidak ikut jamuan makan yang disediakan Buhaira untuk rombongan. 

Namun, pendeta bijak itu menyadari ada yang kurang anak muda yang paling kecil, yakni Muhammad, tidak hadir. 

Ia pun meminta rombongan Quraisy memanggil Muhammad. Ketika anak itu akhirnya duduk di meja makan, Buhaira menatapnya dengan seksama dan mulai merasakan sesuatu yang luar biasa. 


Dari pengamatan itu, ia menyimpulkan bahwa anak ini memiliki sifat-sifat kenabian.

Tidak cukup dengan sekadar mengamati, Buhaira mengajak Muhammad berbicara secara pribadi. 

Ia ingin menanyakan berbagai hal, termasuk kebiasaan dan perilakunya. 

Namun sebelum itu, Buhaira sempat menyebut nama Lata dan Uzza, dua berhala yang umum disembah orang Quraisy. Muhammad kecil menolak dengan tegas:

“Jangan bertanya tentang apa pun kepadaku sambil menyebut nama Lata dan Uzza. Demi Allah, tidak ada yang sangat aku benci melainkan keduanya.”

Sikap ini menunjukkan fitrah tauhid yang sudah tertanam sejak kecil keteguhan iman yang menolak segala bentuk kesyirikan. 


Melihat jawaban Muhammad, Buhaira tersenyum dan akhirnya menanyakan hal-hal yang sama, tapi dengan menyebut nama Allah. Muhammad pun menjawab dengan tenang dan tepat, sesuai perkiraan pendeta itu.

Buhaira kemudian meneliti lebih jauh, termasuk melihat tanda di punggung Muhammad. 
Di antara kedua bahunya terdapat bekas seperti bekam, yang dalam tradisi tertentu dipercaya sebagai tanda kenabian. 

Pendeta itu semakin yakin bahwa anak ini bukan sembarang anak. Dengan rasa takjub dan penuh perhatian, Buhaira menegaskan kepada Abu Thalib bahwa Muhammad kecil bukan hanya keponakannya, tapi anak yang memiliki misi besar di masa depan. 

Ia memperingatkan Abu Thalib agar menjaga anak ini dengan baik, bahkan menyarankan agar dijaga dari ancaman orang-orang yang mungkin berbahaya bagi dirinya.

Pesan Buhaira bukan sekadar nasihat biasa. Ia mengingatkan bahwa Muhammad akan menghadapi peristiwa penting yang dapat mengubah sejarah umat manusia. 

Abu Thalib pun menyadari keseriusan situasi ini dan segera membawa Muhammad pulang setelah urusan perdagangannya selesai, demi melindungi keponakannya.


Kisah ini memberi kita banyak pelajaran yang relevan hingga hari ini. Pertama, pertemuan lintas agama bisa menjadi momen penting dalam pengenalan diri dan pengakuan akan kebenaran. 

Buhaira, seorang pendeta Nasrani, mampu melihat tanda-tanda kenabian Muhammad dan menghargai karakter uniknya, tanpa mengabaikan kepercayaan yang dianutnya sendiri. 

Kedua, keteguhan prinsip sejak dini sangat berharg. Muhammad menolak menyebut berhala meskipun masih anak-anak, menunjukkan bahwa iman sejati tidak bergantung pada usia atau tekanan lingkungan.

Dari sisi historis, kisah ini juga memperlihatkan betapa lingkungan dan perjalanan hidup dapat membentuk kesadaran spiritual. 

Perjalanan Abu Thalib ke Syam tidak hanya soal perdagangan; itu menjadi titik awal Muhammad belajar tentang dunia, manusia, dan keadilan sosial, yang kelak akan menjadi fondasi penting dalam risalah kenabiannya.

Selain itu, cerita ini juga menunjukkan peran penting keluarga dalam menjaga generasi unggul. 

Abu Thalib, meski menghadapi risiko, tetap berkomitmen melindungi keponakannya. Sikap ini relevan di zaman sekarang: generasi muda butuh lingkungan yang mendukung untuk tumbuh menjadi pribadi berkarakter dan berintegritas.

Bagi pembaca Gen Z 2025, kisah ini bisa diambil sebagai inspirasi untuk:
Menjadi pribadi yang berani menegakkan prinsip, meski berbeda dengan kebiasaan umum.
Menghargai momen belajar dari berbagai sumber dan budaya, karena pengetahuan bisa datang dari arah yang tak terduga.
Memahami bahwa setiap pengalaman sekecil apa pun dapat menjadi awal perjalanan besar dalam hidup.

Singkatnya, pertemuan Muhammad kecil dengan pendeta Buhaira bukan sekadar cerita sejarah, tetapi kisah abadi tentang pengakuan kebenaran, keteguhan iman, dan pentingnya perlindungan serta pembimbingan untuk generasi muda. 

Dari momen ini, kita belajar bahwa seorang anak pun bisa menunjukkan tanda-tanda kebesaran yang akan membentuk sejarah umat manusia.

Kisah selanjutnya tentu akan menuntun kita pada peristiwa-peristiwa besar dalam hidup Muhammad yang semakin menunjukkan perjalanan spiritual dan kenabian beliau. 

Insya Allah, pada bagian berikutnya, kita akan menyaksikan bagaimana pelajaran dari Syam dan pesan Buhaira menjadi titik awal bagi Muhammad dalam menghadapi tantangan dan membimbing umatnya kelak.

Posting Komentar

0 Komentar