Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ketika Muhammad Kecil Melihat Dunia yang Tak Adil: Awal Tumbuhnya Kesadaran Sosial Rasulullah

Ketika Muhammad Kecil Melihat Dunia yang Tak Adil: 

Awal Tumbuhnya Kesadaran Sosial Rasulullah


"Di usia 12 tahun, Muhammad mendapat pengalaman besar pertamanya keluar dari Mekah. Pamannya, Abu Thalib, hendak berdagang ke negeri Syam."

fragmenilmiah.com - Bayangkan kamu hidup di kota kaya, tapi di setiap sudutnya ada orang kelaparan. 
Di satu sisi, pesta dan tawa menggema di rumah para orang kaya. 
Di sisi lain, tangis anak-anak miskin terdengar dari gubuk reyot di pinggir kota.

Begitulah pemandangan yang dilihat Muhammad kecil setiap hari di Mekah.
Sejak usia dini, hatinya sudah peka terhadap ketidakadilan. 

Ia sering menyaksikan anak-anak sebayanya harus bekerja keras tanpa baju, hanya demi bisa makan. 

Di malam hari, Muhammad melihat rumah-rumah megah yang tertutup rapat, tempat para saudagar berpesta dan bermabuk-mabukan sampai pagi, sementara di luar sana, banyak orang yang bahkan tidak tahu apa yang bisa dimakan besok.


Mekah yang Penuh Kesenjangan

Mekah saat itu adalah kota perdagangan yang sibuk, tapi juga kota yang keras. Kekayaan hanya berputar di tangan segelintir orang. 
Sementara yang miskin, hidupnya makin terpinggirkan. 

Muhammad kecil sering berjalan melewati gubuk-gubuk reyot, tempat orang-orang miskin tinggal dalam diam dan rasa malu.

Ia tahu, banyak di antara mereka harus rela menggadaikan harta terakhir yang mereka punya bahkan kadang menggadaikan anggota keluarganya demi membayar utang. Pemandangan itu menorehkan luka di hatinya yang masih polos.

Mungkin saat itu ia belum tahu istilah “ketimpangan sosial”, tapi ia merasakannya dengan jelas: dunia ini tidak adil.

Benih Kepedulian Itu Tumbuh


Di depan gubuk-gubuk itu, Muhammad melihat anak-anak muda duduk termenung. Mereka berbicara tentang harapan dan keajaiban, tentang tokoh-tokoh legendaris yang berani melawan penguasa zalim.
Muhammad mendengarkan dengan penuh perhatian. 

Cerita-cerita itu bukan hanya dongeng baginya, tapi seperti api kecil yang mulai menyala di hatinya api keinginan untuk hidup di dunia yang lebih baik.

Di usia 12 tahun, Muhammad mendapat pengalaman besar pertamanya keluar dari Mekah. Pamannya, Abu Thalib, hendak berdagang ke negeri Syam. 

Muhammad kecil memohon ikut. “Ajak aku, Paman!” katanya penuh semangat.
Awalnya, Abu Thalib menolak karena perjalanan itu sangat berat. 

Tapi setelah mendengar suara keponakannya yang begitu mengiba, hatinya luluh. “Demi Allah, aku pasti membawanya pergi,” kata Abu Thalib akhirnya.


Perjalanan panjang itu menjadi awal perjalanan batin Muhammad memahami kehidupan di luar Mekah.

Pertemuan dengan Buhaira: Tanda-Tanda Kenabian

Dalam perjalanan menuju Syam, rombongan dagang Quraisy singgah di sebuah tempat bernama Busra. 
Di sana tinggal seorang pendeta Nasrani yang bijak, bernama Buhaira.
Biasanya, ia tidak peduli dengan para pedagang Quraisy yang lewat. 

Tapi kali ini ada yang berbeda. Dari kejauhan, ia melihat awan kecil yang terus mengikuti salah satu anak di rombongan itu menaunginya dari panas matahari.

Buhaira merasa ini bukan hal biasa. Ia menyiapkan jamuan besar dan memanggil semua anggota rombongan untuk makan di rumahnya. Tapi Muhammad kecil tidak ikut  ia disuruh menjaga barang dagangan.


Ketika mengetahui itu, Buhaira langsung memanggil, “Bawa ke sini anak itu!” katanya.
Begitu Muhammad datang, Buhaira menatapnya lama, seolah sedang membaca sesuatu yang tersembunyi. 

Ia tahu, anak ini bukan anak biasa. Ia akan menjadi sosok besar yang kelak membawa cahaya bagi dunia.

Pelajaran dari Perjalanan

Mungkin Muhammad kecil belum menyadari arti dari semua itu. Tapi pengalaman itu menambah banyak hal dalam dirinya: kepekaan, kesabaran, dan rasa ingin tahu terhadap kehidupan manusia di berbagai tempat.

Ia melihat bagaimana manusia bisa sangat tamak, tapi juga bisa sangat baik. 
Ia melihat betapa dunia ini tidak seimbang, dan seseorang harus melakukan sesuatu untuk menegakkannya.

Ketika kelak ia dewasa, nilai-nilai itu tumbuh menjadi ajaran besar tentang keadilan sosial, tolong-menolong, dan kasih sayang terhadap sesama.

Rasulullah tidak sekadar berbicara tentang ibadah dalam arti ritual, tapi juga tentang bagaimana memperlakukan manusia lain dengan adil dan penuh empati. 

Karena bagi beliau, keimanan sejati tidak hanya diukur dari seberapa sering seseorang berdoa, tapi seberapa besar ia peduli terhadap penderitaan orang lain.

Relevansi untuk Kita Hari Ini

Kisah masa kecil Muhammad mengingatkan kita bahwa kesadaran sosial lahir dari kepekaan hati.
Di era sekarang, mungkin bentuknya bukan lagi budak dan saudagar, tapi ketimpangan tetap ada: antara kaya dan miskin, pusat dan pinggiran, yang bersuara dan yang dibungkam.

Kita hidup di dunia digital, di mana berita tentang penderitaan orang lain hanya sejauh satu klik. 
Tapi apakah kita masih peka seperti Muhammad kecil ketika melihat ketidakadilan?

Rasulullah mengajarkan bahwa iman sejati bukan sekadar keyakinan di kepala, tapi tindakan nyata di dunia nyata.

Kalau Muhammad kecil saja sudah gelisah melihat ketimpangan di Mekah, seharusnya kita pun tidak diam ketika melihat ketidakadilan di sekitar kita.


Kesimpulan:

Kisah masa kecil Rasulullah bukan hanya bagian dari sejarah, tapi juga cermin untuk zaman ini. 
Dari pengamatan seorang anak yatim di kota yang kejam, tumbuhlah sosok yang kelak membawa risalah kasih sayang bagi seluruh alam.

Kesadaran sosial itu tidak muncul tiba-tiba  ia tumbuh dari hati yang peka, mata yang terbuka, dan keberanian untuk peduli.


Posting Komentar

0 Komentar