Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Mengenal Ulama Pewaris Nabi di Zaman Banyak Pencitraan

Mengenal Ulama Pewaris Nabi 

Di Zaman Banyak Pencitraan


"Di era media sosial seperti sekarang, kita bisa menemukan banyak orang bicara agama."

fragmenilmiah.com - Di era media sosial seperti sekarang, kita bisa menemukan banyak orang bicara agama. 

Ada yang menasihati lewat video pendek, ada yang berceramah dengan gaya stand-up comedy, bahkan ada yang berdebat sengit di kolom komentar. 

Tapi di tengah banjir konten dan pencitraan, muncul satu pertanyaan penting: siapa sebenarnya ulama pewaris Nabi yang sejati?

Kata “ulama” sering dipakai untuk siapa saja yang tampak religius pakai sorban, punya pengajian, atau viral di TikTok. 

Padahal, dalam Islam, ulama bukan hanya soal penampilan atau popularitas. Rasulullah SAW bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” Artinya, kedudukan mereka bukan sembarangan. 


Mereka bukan sekadar penceramah, tapi pembawa cahaya ilmu dan akhlak yang bersambung langsung dari risalah kenabian.

Pewaris Ilmu dan Akhlak, Bukan Popularitas

Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, tapi ilmu. Maka, ulama sejati adalah mereka yang mewarisi ilmu dan akhlak Nabi, bukan sekadar gelar atau followers. 
Di zaman banyak orang berlomba menjadi “ustaz seleb”, tantangan terbesar justru menjaga keikhlasan.

Ulama pewaris Nabi tidak sibuk membangun citra, tapi membangun jiwa umat. Mereka tidak mencari pengikut, tapi menuntun manusia agar kembali mengenal Tuhannya. 

Keilmuan mereka tidak diukur dari jumlah konten yang diunggah, tapi dari ketulusan dan kebenaran yang mereka sampaikan.

Kalau kita lihat sejarah, para ulama terdahulu hidup sederhana. Imam Malik menolak memberi fatwa kalau belum yakin. Imam Ahmad rela dipenjara karena mempertahankan kebenaran.



Mereka bukan tokoh pencitraan, tapi penjaga keaslian ajaran Islam.

Zaman Ketika Segalanya Bisa Dipoles

Sekarang, dunia serba cepat. Siapa yang paling menarik, dialah yang paling didengar. Tapi, yang viral belum tentu benar. 

Inilah tantangan bagi generasi hari ini bagaimana membedakan antara ulama pewaris Nabi dan “penceramah pencitraan”.

Penceramah pencitraan lebih suka tampil dengan gaya, bukan substansi. Ucapannya manis, tapi miskin dalil. 

Kadang mereka lebih fokus pada lighting video dan angle kamera daripada kedalaman makna. Padahal, tugas ulama bukan menjadi bintang hiburan, melainkan pembimbing umat.

Kita memang butuh ulama yang bisa menyesuaikan gaya dengan zaman, tapi tanpa kehilangan ruh keulamaan. 


Ilmu harus disampaikan dengan hikmah, bukan sensasi. Dakwah yang baik tidak selalu keras, tapi juga tidak boleh hanya lucu-lucuan.

Tanda Ulama Pewaris Nabi

Lalu bagaimana mengenali ulama sejati di zaman penuh pencitraan ini? Berikut beberapa tandanya:
1. Tawaduk (rendah hati). Mereka tidak merasa paling benar. Mereka terbuka pada perbedaan dan menghormati sesama penuntut ilmu.

2. Istiqamah dalam amal. Tidak hanya pintar bicara, tapi juga teladan dalam perbuatan.

3. Menjaga lisan. Tidak suka mencaci atau menebar kebencian. Ucapannya menenangkan, bukan memecah belah.

4. Menjauh dari kepentingan dunia. Tidak memanfaatkan ilmu untuk kekuasaan, uang, atau popularitas.

5. Mengajarkan rahmat. Setiap ajarannya menumbuhkan kasih sayang, bukan kebencian terhadap sesama.

Ulama sejati akan membuat kita semakin dekat dengan Allah, bukan semakin fanatik terhadap individu. Ia tidak membangun “kultus pribadi”, tapi membimbing agar kita mengenal Tuhan, bukan dirinya.

Saatnya Umat Lebih Cerdas Memilah

Kita hidup di zaman ketika semua orang bisa jadi “tokoh agama digital”. Maka, umat harus cerdas memilah. Jangan cepat percaya hanya karena seseorang fasih berbicara atau tampil berwibawa. 

Lihatlah adabnya, ilmunya, dan bagaimana ia bersikap ketika tidak dilihat kamera.


Generasi muda, terutama Gen Z, perlu belajar kritis tapi juga adab. Menelusuri sanad ilmu, bukan sekadar asal share. 

Karena Islam bukan agama yang instan. Ilmu diwariskan dari hati ke hati, bukan dari video ke video.

Belajar dari Ulama yang Hidupnya Menenangkan

Kalau kita membaca kisah para ulama besar seperti Imam Al-Ghazali, Syaikh Nawawi al-Bantani, KH. 

Hasyim Asy’ari, hingga Buya Hamka semua punya satu ciri: mereka menenangkan, bukan menegangkan.

Mereka mengajarkan Islam dengan kelembutan, bukan dengan amarah. Karena mereka sadar, tugas ulama bukan menghakimi, tapi membimbing.

Ulama sejati tidak haus tepuk tangan. Justru mereka khawatir kalau terlalu banyak dipuji, sebab takut riya. Mereka terus memperbaiki diri, karena tahu bahwa ilmunya adalah amanah.

Menjadi Umat yang Tidak Silau

Akhirnya, tugas kita sebagai umat bukan hanya mencari siapa yang paling terkenal, tapi siapa yang paling jujur dan tulus dalam berdakwah.

Jangan silau pada pencitraan. Pahami ajaran, renungi makna, dan ambil hikmah. Karena di zaman penuh ilusi ini, bisa jadi yang tampak bercahaya hanyalah sorot lampu, bukan sinar ilmu.

Ulama pewaris Nabi adalah cahaya yang menerangi jalan.

Mereka tak perlu ramai, tak perlu viral. Cukup keberadaannya membuat hati tenang, iman hidup, dan akhlak tumbuh.

Pesan akhirnya sederhana:

Di tengah banyaknya “penceramah panggung” dan “ustaz konten”, carilah ulama yang membuatmu semakin rendah hati, semakin cinta pada Allah, dan semakin beradab pada sesama. 

Karena itulah tanda ilmu yang benar ilmu yang menghidupkan hati, bukan sekadar memenuhi layar.

Posting Komentar

0 Komentar