Keberanian Ulama Sejati
Di Hadapan Penguasa
|  | 
| "Keberanian mereka bukan karena ingin dianggap heroik, tapi karena takut kepada Allah jauh lebih besar daripada takut kepada manusia." | 
fragmenilmiah.com - Dalam sejarah Islam, ada sosok-sosok yang berdiri tegak di hadapan kekuasaan, bukan dengan pedang, tapi dengan kalimat kebenaran. 
Mereka bukan pemberontak, bukan pula pencari sensasi. Mereka adalah para ulama sejati orang-orang yang menjadikan keberanian dan keikhlasan sebagai bagian dari ibadah.
Keberanian mereka bukan karena ingin dianggap heroik, tapi karena takut kepada Allah jauh lebih besar daripada takut kepada manusia. 
Bagi mereka, diam di hadapan kebatilan sama saja dengan mengkhianati amanah ilmu.
Ketika Semua Diam, Imam Ibnu Taimiyah Justru Melangkah
Bayangkan suasana Kota Damaskus saat pasukan Mongol yang dikenal kejam dan haus darah telah menaklukkan Baghdad dan Aleppo. 
Angin membawa kabar ngeri: kota-kota dibakar, mayat bergelimpangan, dan tak ada yang bisa menghentikan mereka. 
Banyak ulama memilih mengungsi ke Mesir, menyelamatkan diri dari bencana besar yang tampak tak terbendung.
Tapi Imam Ibnu Taimiyah justru melakukan hal sebaliknya. Ia keluar dari Damaskus, mendatangi kemah panglima Mongol sendirian. 
Orang-orang di sekitarnya gemetar, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menemui mereka. 
Tapi Imam Ibnu Taimiyah tenang. Dengan keyakinan penuh, ia berbicara tegas, seolah sedang menasihati murid sendiri. Ajaibnya, sang panglima mendengarkan. Tak ada darah tumpah hari itu.
Inilah keberanian yang lahir dari iman. Bukan nekat, tapi karena hati yang yakin bahwa hidup dan mati sepenuhnya di tangan Allah.
Imam Nawawi: Ulama yang Menolak Pajak Perang
Di Damaskus juga, ada ulama lain yang keberaniannya menembus batas logika politik. Namanya Imam Nawawi—penulis Riyadhusshalihin yang masih dibaca jutaan muslim hingga hari ini.
Ketika Sultan Damaskus berencana menarik pajak dari rakyat untuk biaya perang, semua ulama di istana memilih diam. 
Mereka tahu, melawan kebijakan raja bisa berarti kehilangan jabatan, atau bahkan nyawa.
Namun Imam Nawawi berkata dengan tenang tapi tegas,
“Tidak halal kamu ambil pajak dari rakyat untuk perang, selama di istana masih banyak emas dan perhiasan.”
Sultan terdiam. Ucapan itu seperti petir di siang bolong. Tak ada lagi yang berani menimpali. Imam Nawawi tak peduli apakah kata-katanya akan membuatnya dibenci atau dibuang dari istana. 
BACA JUGA: Ketika Muhammad Kecil Melihat Dunia yang Tak Adil: Awal Tumbuhnya Kesadaran Sosial Rasulullah
Baginya, tugas seorang ulama adalah menyampaikan kebenaran, bukan menyenangkan penguasa.
Ia hidup sederhana, menulis dan mengajar tanpa pamrih. Bahkan ia meninggal dalam keadaan belum menikah bukan karena menolak cinta, tapi karena waktunya habis untuk ilmu dan perjuangan. 
Hingga kini, karya-karyanya tetap hidup, sementara nama-nama penguasa zamannya telah lama hilang ditelan waktu.
Imam Izz bin Abdussalam: Ulama yang Menegur Raja di Depan Umum
Cairo, Mesir. Jalanan penuh panji-panji dan pasukan kehormatan menyambut Sultan yang hendak lewat. Semua orang menunduk hormat. Semua… kecuali satu. Seorang ulama tua dengan suara lantang memanggil nama sang Sultan tanpa gelar kehormatan.
“Hai, takutlah kamu kepada Allah! Kau biarkan warung-warung menjual minuman keras, dan engkau diam saja!”
Suasana sontak tegang. Orang-orang menahan napas, takut kepala ulama itu dipenggal di tempat. 
Tapi Sultan hanya terdiam, tak berani membalas. Ulama itu dikenal dengan sebutan Sultanul Ulama pemimpin para ulama Imam Izz bin Abdussalam.
Ia bukan hanya berani menegur penguasa, tapi juga memimpin masyarakat melawan ketidakadilan. 
Karena keberaniannya, beliau pernah diusir dari Damaskus ke Mesir. Namun justru di sanalah nama dan ilmunya harum sepanjang masa.
Karya monumentalnya Qawa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam menjadi rujukan hukum Islam hingga kini kitab yang mengajarkan pemimpin untuk menimbang mana yang maslahat, mana yang merusak.
Ketika Ulama Tak Takut pada Presiden
Melompat ke abad ke-20, di masa Suriah modern, muncul sosok Sheikh Hasan Habannakeh.
Saat Jenderal Amin Hafez presiden dengan kekuasaan militer yang keras memanggilnya ke istana pada malam Ramadan, sang Sheikh menolak.
Ketika kolonel menelpon dan membentak:
 “Kau tahu siapa yang memanggilmu? Presiden Republik Arab Suriah!”
Sheikh Hasan menjawab dengan tenang,
“Memang dia siapa? Tuhanku? Hingga aku harus patuh pada semua katanya?”
Rumahnya langsung dijaga murid-murid karena khawatir ia ditangkap. Tapi keesokan harinya, tak ada tentara datang. 
BACA JUGA: 7 Tokoh Filsafat Alam atau Pra-Socratic, Serta Penjelasan Gnoti Seauton dan Maieutica-technic
Keteguhan hatinya membuat penguasa gentar. Seperti pepatah lama, barangsiapa takut kepada Allah, maka seluruh makhluk akan takut kepadanya.
Berani Karena Benar, Bukan Karena Benci
Apa yang membedakan ulama sejati dengan pencitraan agama di zaman sekarang?
Bagi mereka, kebenaran tak boleh dibungkus rasa takut, tapi juga tak boleh disampaikan dengan kebencian. 
Mereka menegur dengan cinta, tapi dengan ketegasan yang lahir dari iman.
Mereka tidak menunggu viral untuk menyuarakan kebenaran, tidak takut kehilangan posisi, tidak khawatir kehilangan pengikut. Sebab mereka tahu, yang perlu dijaga bukan citra, tapi nurani.
Pelajaran untuk Kita Hari Ini
Di zaman media sosial, banyak orang merasa berani karena punya platform, bukan karena punya iman. Banyak yang lantang mengkritik tapi kosong dari adab. 
Padahal, keberanian sejati adalah ketika kita berkata benar tanpa kehilangan akhlak.
Para ulama dulu mengajarkan bahwa suara kebenaran tidak selalu harus keras—asal tulus, ia akan menembus tembok kekuasaan dan ruang sejarah.
Ulama-ulama sejati telah pergi, tapi semangat mereka tak boleh padam. Mereka mengajarkan satu hal sederhana tapi abadi:
“Takutlah hanya kepada Allah. Karena jika hatimu penuh dengan takut pada manusia, kebenaran tak akan pernah lahir dari lisanmu.”
 
 
 
0 Komentar