Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali:
Antara Tradisi dan Rasionalitas
![]() |
Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya menawarkan pendekatan segar dalam memahami hadis, tanpa melepaskan pijakan pada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam. |
gudangmakalah165.blogspot.com - Dalam dunia keilmuan Islam, pemahaman terhadap hadis selalu menjadi medan dialektika antara otoritas teks dan nalar kritis.
Dua nama besar yang cukup mencolok dalam medan ini adalah Syekh Mahmud Syaltut dan Muhammad al-Ghazali.
Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya menawarkan pendekatan segar dalam memahami hadis, tanpa melepaskan pijakan pada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam.
Lalu, bagaimana sebenarnya metode pemahaman hadis menurut mereka berdua? Mari kita telusuri bersama dalam tulisan komparatif ini.
Syekh Mahmud Syaltut: Rasionalitas dalam Bingkai Mazhab Al-Azhar
Syekh Mahmud Syaltut lahir pada 23 April 1893 di Minyat Bani Manshur, Mesir. Ia menapaki dunia keilmuan sejak usia belia dan berhasil meraih prestasi gemilang di Universitas Al-Azhar.
Kariernya melesat hingga menjadi Syekh Al-Azhar pada tahun 1958, posisi tertinggi di lembaga itu.
Syaltut dikenal sebagai reformis keilmuan Islam, yang tidak hanya aktif di bidang pendidikan dan fatwa, tapi juga mendorong persatuan antar mazhab dengan mendirikan *Jamaah al-Taqrib baina al-Mazahib.
Dalam memahami hadis, Syaltut memegang prinsip bahwa akidah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan nash yang qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun hadis.
Ia sangat menekankan pentingnya otentisitas dan makna yang tegas (qath’iyyah al-dilalah) dalam menetapkan keyakinan.
BACA JUGA: Minuman Anggur Tanpa Alkohol, Begini Proses Fermentasi Anggur Tanpa Alkohol Beserta Jenis-jenisnya
Maka, hadis-hadis ahad—yang diriwayatkan oleh sedikit perawi—tidak dapat dijadikan dasar dalam hal-hal yang menyangkut akidah, karena tidak memberi kepastian secara epistemologis.
Syaltut juga membagi sunnah Nabi menjadi dua:
1. Sunnah non-syariat (ghairu tasyri’iyah) tindakan Nabi sebagai manusia biasa, seperti kebiasaan makan, berpakaian, dan strategi perang. Ini tidak mengikat umat secara syariat.
2. Sunnah tasyri’iyah ucapan dan tindakan Nabi yang merupakan bagian dari risalah dan syariat, baik sebagai nabi, hakim, atau pemimpin masyarakat. Hanya kategori ini yang wajib diikuti umat.
Syaltut juga menyoroti kelangkaan hadis mutawatir (hadis dengan banyak jalur periwayatan yang tidak mungkin disepakati untuk berbohong) dalam kitab-kitab hadis.
Ia menegaskan bahwa mayoritas hadis dalam kitab-kitab sahih adalah hadis ahad, sehingga harus dikritisi sebelum dijadikan dasar ajaran, terutama dalam perkara yang sangat prinsipil.
Muhammad Al-Ghazali: Membaca Hadis dengan Mata Al-Qur’an dan Akal
Lahir di Bukhaira, Mesir pada 22 September 1917, Muhammad al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif, da’i berpengaruh, serta intelektual yang berpijak pada semangat rasionalitas dalam Islam.
Sebagai mantan aktivis Ikhwanul Muslimin dan seorang cendekiawan Salafi moderat, ia banyak berbicara mengenai relevansi Islam dengan konteks modern.
Dalam menilai hadis, al-Ghazali menetapkan lima kriteria keabsahan hadis: tiga terkait sanad (keadilan dan kecermatan perawi serta keberlangsungan sanad) dan dua terkait matan (tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih atau dengan fakta sejarah serta tidak mengandung cacat tersembunyi).
Namun, yang menonjol dalam metode al-Ghazali adalah penekanan pada kritik matan.
Menurutnya, hadis tidak bisa dilepaskan dari pengujian terhadap Al-Qur’an. Jika sebuah hadis sahih secara sanad namun bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an, maka hadis tersebut harus ditinjau ulang.
Bahkan, ia berani menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, hadis yang lemah sanadnya bisa lebih bisa diterima bila maknanya sejalan dengan Al-Qur’an, ketimbang hadis sahih yang bertentangan dengannya.
Al-Ghazali juga menambahkan tiga pendekatan penting dalam memahami hadis:
Uji historis: Apakah hadis tersebut selaras dengan fakta sejarah? Jika tidak, maka keabsahannya perlu dipertanyakan.
Uji ilmiah: Kandungan hadis tidak boleh bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern atau prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Uji koherensi antar-hadis: Hadis harus dibandingkan dengan hadis lain untuk memastikan tidak ada pertentangan.
Menyilangkan Pandangan: Titik Temu dan Perbedaan
Baik Syaltut maupun al-Ghazali sepakat bahwa hadis bukan sumber yang berdiri sendiri, dan perlu dikaji dalam terang Al-Qur’an dan akal sehat. Keduanya kritis terhadap hadis ahad, serta tidak menerimanya begitu saja sebagai dasar ajaran fundamental.
Namun ada perbedaan menarik:
Syaltut lebih fokus pada validitas hadis dari sisi epistemologis dan teologis, dengan membedakan fungsi sunnah Nabi secara jelas antara yang bersifat pribadi dan syariat.
Al-Ghazali, di sisi lain, mengusung pendekatan yang lebih kontekstual dan humanis, dengan keberanian menguji hadis lewat ilmu pengetahuan, sejarah, bahkan nilai-nilai kemanusiaan modern.
Jika Syaltut berpijak pada fondasi ortodoksi yang diperkuat rasionalitas, maka al-Ghazali membangun jembatan antara nash dan realitas kekinian. Keduanya sama-sama menghadirkan wajah Islam yang tidak kaku, tetapi tetap bertanggung jawab terhadap teks dan akal.
Penutup: Merawat Tradisi, Merajut Konteks
Syekh Mahmud Syaltut dan Muhammad al-Ghazali adalah dua tokoh yang telah meletakkan batu penjuru penting dalam studi hadis modern. Keduanya mengajarkan kita untuk **tidak hanya bertaklid kepada teks, tetapi juga membacanya dengan cermat, adil, dan kontekstual**.
Di tengah dunia yang terus berubah, pendekatan mereka memberi inspirasi bahwa memahami hadis bukan sekadar menghafal riwayat, tetapi menyalakan nalar, menyelami makna, dan menyatukan nilai-nilai Islam dengan kemanusiaan.
> “Ilmu hadis akan terus hidup selama ia bersanding dengan Al-Qur’an dan akal.” — Semangat ini seakan menjadi pesan tak langsung dari keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar