--> Fragmen Ilmiah : arab | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Fragmen Ilmiah: kumpulan bahan makalah serta konten evergreen yang mudah dipahami.

Total Tayangan Halaman

Tampilkan postingan dengan label arab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label arab. Tampilkan semua postingan

22/05/25

Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali: Antara Tradisi dan Rasionalitas

Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali: Antara Tradisi dan Rasionalitas

Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali: 

Antara Tradisi dan Rasionalitas


Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya menawarkan pendekatan segar dalam memahami hadis, tanpa melepaskan pijakan pada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam.

gudangmakalah165.blogspot.com - Dalam dunia keilmuan Islam, pemahaman terhadap hadis selalu menjadi medan dialektika antara otoritas teks dan nalar kritis. 

Dua nama besar yang cukup mencolok dalam medan ini adalah Syekh Mahmud Syaltut dan Muhammad al-Ghazali. 

Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya menawarkan pendekatan segar dalam memahami hadis, tanpa melepaskan pijakan pada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam. 

Lalu, bagaimana sebenarnya metode pemahaman hadis menurut mereka berdua? Mari kita telusuri bersama dalam tulisan komparatif ini.



Syekh Mahmud Syaltut: Rasionalitas dalam Bingkai Mazhab Al-Azhar

Syekh Mahmud Syaltut lahir pada 23 April 1893 di Minyat Bani Manshur, Mesir. Ia menapaki dunia keilmuan sejak usia belia dan berhasil meraih prestasi gemilang di Universitas Al-Azhar.

Kariernya melesat hingga menjadi Syekh Al-Azhar pada tahun 1958, posisi tertinggi di lembaga itu. 

Syaltut dikenal sebagai reformis keilmuan Islam, yang tidak hanya aktif di bidang pendidikan dan fatwa, tapi juga mendorong persatuan antar mazhab dengan mendirikan *Jamaah al-Taqrib baina al-Mazahib.

Dalam memahami hadis, Syaltut memegang prinsip bahwa akidah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan nash yang qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. 

Ia sangat menekankan pentingnya otentisitas dan makna yang tegas (qath’iyyah al-dilalah) dalam menetapkan keyakinan. 

Maka, hadis-hadis ahad—yang diriwayatkan oleh sedikit perawi—tidak dapat dijadikan dasar dalam hal-hal yang menyangkut akidah, karena tidak memberi kepastian secara epistemologis.

Syaltut juga membagi sunnah Nabi menjadi dua:

1. Sunnah non-syariat (ghairu tasyri’iyah) tindakan Nabi sebagai manusia biasa, seperti kebiasaan makan, berpakaian, dan strategi perang. Ini tidak mengikat umat secara syariat.
2. Sunnah tasyri’iyah ucapan dan tindakan Nabi yang merupakan bagian dari risalah dan syariat, baik sebagai nabi, hakim, atau pemimpin masyarakat. Hanya kategori ini yang wajib diikuti umat.

Syaltut juga menyoroti kelangkaan hadis mutawatir (hadis dengan banyak jalur periwayatan yang tidak mungkin disepakati untuk berbohong) dalam kitab-kitab hadis.

Ia menegaskan bahwa mayoritas hadis dalam kitab-kitab sahih adalah hadis ahad, sehingga harus dikritisi sebelum dijadikan dasar ajaran, terutama dalam perkara yang sangat prinsipil.

Muhammad Al-Ghazali: Membaca Hadis dengan Mata Al-Qur’an dan Akal

Lahir di Bukhaira, Mesir pada 22 September 1917, Muhammad al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif, da’i berpengaruh, serta intelektual yang berpijak pada semangat rasionalitas dalam Islam. 

Sebagai mantan aktivis Ikhwanul Muslimin dan seorang cendekiawan Salafi moderat, ia banyak berbicara mengenai relevansi Islam dengan konteks modern.

Dalam menilai hadis, al-Ghazali menetapkan lima kriteria keabsahan hadis: tiga terkait sanad (keadilan dan kecermatan perawi serta keberlangsungan sanad) dan dua terkait matan (tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih atau dengan fakta sejarah serta tidak mengandung cacat tersembunyi). 

Namun, yang menonjol dalam metode al-Ghazali adalah penekanan pada kritik matan.

Menurutnya, hadis tidak bisa dilepaskan dari pengujian terhadap Al-Qur’an. Jika sebuah hadis sahih secara sanad namun bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an, maka hadis tersebut harus ditinjau ulang. 

Bahkan, ia berani menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, hadis yang lemah sanadnya bisa lebih bisa diterima bila maknanya sejalan dengan Al-Qur’an, ketimbang hadis sahih yang bertentangan dengannya.

Al-Ghazali juga menambahkan tiga pendekatan penting dalam memahami hadis:

Uji historis: Apakah hadis tersebut selaras dengan fakta sejarah? Jika tidak, maka keabsahannya perlu dipertanyakan.
Uji ilmiah: Kandungan hadis tidak boleh bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern atau prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Uji koherensi antar-hadis: Hadis harus dibandingkan dengan hadis lain untuk memastikan tidak ada pertentangan.

Menyilangkan Pandangan: Titik Temu dan Perbedaan

Baik Syaltut maupun al-Ghazali sepakat bahwa hadis bukan sumber yang berdiri sendiri, dan perlu dikaji dalam terang Al-Qur’an dan akal sehat. Keduanya kritis terhadap hadis ahad, serta tidak menerimanya begitu saja sebagai dasar ajaran fundamental.

Namun ada perbedaan menarik:

Syaltut lebih fokus pada validitas hadis dari sisi epistemologis dan teologis, dengan membedakan fungsi sunnah Nabi secara jelas antara yang bersifat pribadi dan syariat.
Al-Ghazali, di sisi lain, mengusung pendekatan yang lebih kontekstual dan humanis, dengan keberanian menguji hadis lewat ilmu pengetahuan, sejarah, bahkan nilai-nilai kemanusiaan modern.

Jika Syaltut berpijak pada fondasi ortodoksi yang diperkuat rasionalitas, maka al-Ghazali membangun jembatan antara nash dan realitas kekinian. Keduanya sama-sama menghadirkan wajah Islam yang tidak kaku, tetapi tetap bertanggung jawab terhadap teks dan akal.


Penutup: Merawat Tradisi, Merajut Konteks

Syekh Mahmud Syaltut dan Muhammad al-Ghazali adalah dua tokoh yang telah meletakkan batu penjuru penting dalam studi hadis modern. Keduanya mengajarkan kita untuk **tidak hanya bertaklid kepada teks, tetapi juga membacanya dengan cermat, adil, dan kontekstual**.

Di tengah dunia yang terus berubah, pendekatan mereka memberi inspirasi bahwa memahami hadis bukan sekadar menghafal riwayat, tetapi menyalakan nalar, menyelami makna, dan menyatukan nilai-nilai Islam dengan kemanusiaan.

> “Ilmu hadis akan terus hidup selama ia bersanding dengan Al-Qur’an dan akal.” — Semangat ini seakan menjadi pesan tak langsung dari keduanya.

10/12/18

Sejarah Sastra Arab Sejak dari Zaman Jahiliyyah hingga Zaman Bani Umayyah, Serta Tokoh-tokohnya

Sejarah Sastra Arab Sejak dari Zaman Jahiliyyah hingga Zaman Bani Umayyah, Serta Tokoh-tokohnya

Sejarah Sastra Arab

SASTRA ARAB: Dalam kaitannya disini kami akan mengkaji bahasa asing dalam lingkup bahasa dan sastra arab.


Sejarah Sastra Arab Sejak dari Zaman Jahiliyyah hingga Zaman Bani Umayyah, Serta Tokoh-tokohnya

GUDANGMAKALAH165.BLOGSPOT.COM - Dewasa ini kita ketahui ranah kebahasaan semakin meluas di dunia Internasional.

BAB I, PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kita dituntut tidak hanya sebatas mempelajari bahasa dalam negeri saja.

Oleh sebab itu berbagai pengembangan bahasa asingpun banyak bermunculan di tengah-tengah kita.

Sebagai wujud dari antusias pemerintah dan masyarakat, kemudian banyak inovasi yang diwujudkan pemerintah yakni berupa muatan lokal bahasa asing dalam lingkup lembaga pendidikan maupun yang lainnya.

BACA JUGA: 5 Objek Kajian Filsafat Hukum Islam, Ini Penjelasan Lengkap Filsafat Hukum Islam serta Ruang Lingkupnya

BACA JUGA: Kesetaraan Manusia Sebagai Makhluk Multikultural dalam Pendidikan Islam

Tak lepas dari lembaga kependidikan, Universitas mempunyai andil yang cukup besar dalam pengembangan bahasa asing. 

Seperti halnya dengan adanya berbagai jurusan yang berkaitan dengan bahasa asing, baik itu berupa ilmu murni ataupun ilmu kependidikan tentang bahasa asing.

Dalam kaitannya disini kami akan mengkaji bahasa asing dalam lingkup bahasa dan sastra arab.

Sebelum menjuru terhadap sastra arab, kita cerna lebih dulu apa kaitannya bahasa dengan sastra sendiri?

BACA JUGA: Mutasi Buatan yang Menguntungkan Pada Pemuliaan Tanaman, Berikut Penjelasannya

BACA JUGA: Modernisasi, Ciri-ciri, dampaknya pada teknologi modernisasi

Seperti yang kita ketahui sastra merupakan suatu karya indah yang dapat diungkapkan melalui bahasa. 

Di sini kita sebagai mahasiswa bahasa dan sastra arab menyadari bahwa dalam mempelajari  bahasa dan sastra asing, yang dalam lingkup ini di khususkan pada bahasa arab kita perlu mengkaji sejarah perkembangan bahasa dan sastra arab itu sendiri.

Mengapa demikian??? Karna bahasa merupakan suatu corak atau kebudayaan dari suatu bangsa atau negara yang strukturnya atau jenisnya berubah dari zaman ke zaman.

Dan untuk itu kami menganggap sangat penting untuk mengetahui perkembangan tersebut dengan mengkaji sejarah perkembangan bahasa dan sastra arab dalam makalah ini.

BACA JUGA: Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

BACA JUGA: 7 Tokoh Filsafat Alam atau Pra-Socratic, serta Penjelasan Gnoti Seauton dan Maieutica-technic

BAB II, PEMBAHASAN

A.  Pengertian sejarah sastra arab

1. Sejarah

Peristiwa masa lampau yang murujuk pada sebuah perubahan besar yang memiliki pengaruh yang besar pula.

2. Sastra

Pertama : Sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.

Kedua : Sastra dibatasi hanya pada “mahakarya”(great books), yaitu buku-buku yang di anggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastranya.

Ketiga : Sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif.

Keempat : Sastra adalah sebuah nama dengan alasan tertentu diberikan sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan.

3. Arab

Arab merupakan nama dari suatu bangsa atau negara, yang bahasanya merupakan cabang dari bahasa semit, yaitu bahasa arab purba yang terkenal dan mendiami jazirah arab sendiri.

Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan pengertian dari “Sejarah Sastra Arab” yaitu suatu ilmu yang membahas tentang keadaan-keadaan bahasa arab serta puisi atau prosa indah yang diciptakan oleh anak-anak pengguna bahasa arab dalam berbagai masa.

Dan sebab-sebab kemajuan dan kemunduran dan kehancuran yang mengancam kedua produk sastra itu, serta mengalihkan perhatiannya terhadap para tokoh trkemuka dari kalangan para penulis dan ahli bahasa.

B. Pembabakan Sastra Arab
Terdapat lima pembabakan dalam sastra arab yaitu:

1. Periode Jahiliyyah

Masa ini terjadi pada 2 periode yakni masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke-5 sampai dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M).

Periode jahiliyyah ini dimulai pada sekitar satu setengah abad sebelum kedatangan islam dan berakhir sampai datangnya islam.

2. Periode Islam

Perkembangan kesusastraan Arab  ini berlangsung sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M) dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M). 

Periode ini juga dapat disebut dengan periode permulan islam (shadrul Islam).

Dimulai sejak datangnya islam dan berakhir ketika runtuhnya bani Umayyah pada tahun 132 H.

3. Periode Abbasiyah

Terjadi pada tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M. pada masa ini dibagi menjadi dua bagian yaitu :
Abbasiyah 1, dimulai sejak berdirinya Daulah Abbasiyah tahun 132 H dan berakhir sampai  berdirinya negara-negara bagian pada tahun 334 H.

Abbasiyah 2, dimulai sejak berdirinya Negara-negara bagian  dalam pemerintahan Abbasiyah dan berakhir dengan jatuhnya Baghdad di tangan bangsa Tartar atau Mongol pada tahun 656 H.

4. Periode Kemunduran Kesusastraan Arab

Pada tahun (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M).

5. Periode Kebangkitan Kembali Kesusastraan Arab (Modern)

Periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang.

Dimulai sejak terjadinya perkembangan modern sampai saat ini.

6. Perkembangan Sastra Arab Jahili sampai Modern

Perkembangan pada periode jahiliyah
Pada abad ini merupakan awal pembentukan dasar-dasar bahasa arab. 

Terdapat banyak kegiatan pada masa ini yang dapat berpengaruh pada perkembangan bahasa arab.

Seperti halnya kegiatan di suq Ukas, Zu al-Majaz dan Majannah, merupakan festival dan berbagai lomba bahasa Arab yang diadakan di Mekkah dan yang mengikutinya adalah berbagai kalangan masyarakat antara suku Quraiys dan suku-suku lainnya.

Bahasa arab yang kita kenal sehari-sehari merupakan pencapuran antara bahasa arab dari suku yang berbeda-beda.

Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

- Hijrahnya bani Khathan ke semenanjung arab, percampuran mereka dengan arab Baidah di Yaman lalu kemudian berpencar ke seluruh penjuru jazirah akibat pecahnya bendungan ma’rib.

- Hijrahnya Isma’il ke jazirah arab dengan percampuran keturunannya dengan Qahthan dengan adanya perkawinan, peperangan dan perdagangan.

7. Periode Bani Umayyah

Periode ini ditandai dengan intensifikasi percampuran oran-orang arab islam dengan penduduk asli pada masa pemerintahan pada bani umayyah. 

Orang arab merupakan kelompok orang yang mempunyai dorongan yang sangat besar untuk mengembangkan kebudayaan mereka dengan cara menjadikan bahasa arab sebagai bahasa negara. 

Oleh karena itu penduduk asli pada masa itu mencoba untuk mempelajari bahasa arab sebagai bahasa pergaulan atau bahasa komunikasi sehari-hari dan bahasa agama. 

Sejak sepertiga akhir abad pertama Hijriah bahasa Arab telah mencapai kedudukan tertinggi,dan terhormat dalam islam.

Periode umayyah merupakan periode gencar dengan sastranya. 

Pada masa ini terdapat banyak golongan yang bermunculan dalam islam diantaranya Syiah dan Khowarij dan lain-lain.

Keadaan seperti ini menyebabkan posisi syair justru sebagai penyambung lidah atau alat untuk komunikasi sesuai dengan misi dari tiap-tiap golongan islam tersebut.

Dan pada zaman bani Umayyah ini penyair diberi kebebasan untuk mengekspresikan karyanya.
Fasilitas yang diberikan kepada penyair pada masa ini sangat memadai demi untuk memperkuat politik mereka. 

Para khalifah pada masa itu sengaja memecah belah antara penyair dengan memberikan iming-iming tertentu antara yang satu dengan yang lainnya bagi mereka yang pro kontra terhadap pemerintahan.

Jenis sya’ir pada masa bani umayah :

- Puisi Politik (Syiir al-Siyasi)

Seiring dengan munculnya golongan atau partai politik, maka munculah para penyair yang mendukung golongan atau partai politik tersebut.

Sehingga melahirkan puisi yang bernuansa politik seperti: Kasidah al-Kumait yang mendukung ahlu bait, Al-Qithry ibn Al-Fajaah pendukung Khawarij dan Al-Akhthal pendukung bani umayah.

- Puisi Polemik (Syiir al-Naqoid)

Puisi Al-Naqoid yakni  jenis puisi yang menggabungkan antara kebanggaan (fakhr), pujian(madh) dan satire (haja’).

- Puisi cinta (Syiir al-Ghazal)

Merupakan puisi yang  berkembang menjadi seni bebas/independent yang mengkhususkan pada kasidah-kasidah.

Tujuan sya’ir pada masa bani umayah:

- Al-Hija’ (celaan atau ejekan) adalah sya’ir yang bertujuan untuk mencela penya’ir lainnya.

Sehingga pada saat itu sering terjadi perang sya’ir antara satu penya’ir dngan penya’ir yang lainnya. 

Salah satu contoh dibawah ini adalah sya’ir hija’ yang dilontarkan oleh al-Farazdaq kepada Jarir:

ولو ترمى بلؤم بنى كليب
لدنّس لؤمهم وضح النهار
ليطلب حاجة إلا بحار         نجوم الليل وما وضحت لسار
ولو يرمى بلؤمهم نهار
وما يغو عزيز بنى كليب
“Walaupun gemintang malam dilempar dengan kehinaan bani kulaib, tidaklah bintang itu menjadi gelap sementara kehinaan mereka tetap berlalu. 

Walaupun siang dilempar dengan kehinaan mereka, siang tetaplah terang sedang kehinaan mereka semakin terjadi. Dan tidaklah ketua bani Kulaib bepergian kecuali untuk meminta kebutuhannya pada tetangga.”

Al-Madah (pujian)
Para penyair arab dimasa bani Umayyah sering menggunakan syair Al-Madah sebagai alat untuk mendapatkan uang dari penguasa, sehingga memuji penguasa menjadi sebuah pekerjaan bagi seorang penyair. 

Akan tetapi tidak semua penyair memuji tujuannya hanya untuk  mendapatkan uang akan tetapi ada juga yang hanya sebatas membanggakan kelompoknya. 

Berikut adalah contoh sya’ir madah :

لله دار عصابة نادمتهم
يمشون فيالحلل المضاف سجها          يوما بجلق فى الزمان الأوّل
مشى الجمال إلى الجمال البزل
          
“Allah adalah rumah setiap golongan yang menemani mereka Selama satu hari di dzillaq (tempat dekat damaskus) pada permulaan zaman. 

Mereka berjalan-jalan disela-sela kebingungan yang memintal seperti unta yang memasuki umur unta bujjal (unta umur delapan tahun yang menginjak umur Sembilan/ unta dewasa)”       

- Al-Fakhru (membangga-banggakan)

Dalam syair fakhru, penyair arab sering membangga-banggakan dirinya atau kelompoknya  lewat syair-syairnya. 

Adapun yang mereka banggakan adalah seperti bangga dengan kekayaan, kedudukan dan istri yang cantik.

لنا حاضر فعم، وباد كأنّه
لنا الجننات الغرّ يلمعن بالضحى         شماريع رضوى عزّة وتكرّما
وأسيافنا يقطر من نجدة دمأ

“Kita adalah orang yang ada di fa’mun (puncak), dengan menikung bagai batang yang dijalari keagungan dan kemulyaan. 

Kita adalah pembela kebenaran tyang bersinar terang di waktu dluha (pagi menjelang siang).

Dan pedang-pedang kita siap mengucurkan darah

Periode Zaman Modern
Pada akhir abad XVIII pada saat bangsa Arab dibawah kepemerintahan Daulah Usmaniyah keaadaannya sangat lemah. 

Bangsa Eropa yang telah melihat keadaan ini akhirnya kembali mengulangi ekspansi ke timur tengah. 

Mereka datang tidak dengan menggunakan cara kekerasan, melainkan mereka datang dengan dalih untuk menyebarkan ilmu pengetahuan serta memperluas roda perdagangan.

Pemerintahan berikutnya yang jatuh kepada Muhammad ali yang diangkat oleh Sultan Usmani menjadi gubernur mesir.

Beliau berusaha untuk menerima kebudayaan barat dan hasil ilmu pengetahuan.

Ali tidak lagi mementingkan pemerintah dan pembangunan, dan semenjak itu perkembangan dibidang sastra berkurang lalu dua abad kemudian munculah lagi karya sastra arab yang baru, dan para penyair menyesuaikan diri dengan zaman modern, lalu mereka mulai melepaskan diri dari cirri klasik, namun keterikatannya masih ada.

 
Keistimewaan syair modern ini lebih mementingkan isi dari sampiran, dan bahasanya mudah serta sesuai dengan keadaan.

 
Kemudian munculah penulisan prosa berupa cerita pendek modern dalam bahasa arab.

 
Seperti halnya dengan novel dan drama, yang baru dimulai pada akhir abad lalu.

 
Dan pada abad ini bentuk puisi juga mengalami perubahan yang cukup besar. 

Dan banyak puisi-puisi arab modern yang sudah tidak terikat lagi pada gaya lama yang biasa dikenal ‘’ilm al-Arud”.
Meskipun demikian sebagai penyair
Meskipun sebagian penyair dewasa ini senang juga menciptakan puisi bebas, tetapi masih banyak juga yang bertahan dengan gaya lama kendati tidak lagi terikat pada persyaratan tertentu, seperti penyair Mahmud Ali Taha (w.1949).  

Puisi-puisinya sangat halus, romantis, tetapi sangat religius.

Beberapa pengamat menganggapnya banyak terpengaruh oleh romantisme Perancis abad ke-19, terutama Lamartine. 

Mungkin sudah terdapat jarak antara penyair ini dan penyair-penyair modern semi-klasik sebelumnya, seperti Ahmad Syauqi atau Hafidz Ibrahim (1872-1932) yang dipandang sebagai penyair-penyair besar.

Dalam sastra arab modern, mesir merupakan pembuka jalan meskipun para sastrawan itu banyak yang dari Libanon dan Suriah. 

Mereka pindah ke mesir untuk menyalurkan bakatnya.

Dan terlebih lagi di Mesir mempunyai Universitas yang terkenal yakni Universitas Al-Azhar Cairo yang dibangun pada masa Dinasti Fatimiyah.  

Beberapa Penyair pada masa itu umumnya berimigrasi ke Amerika Selatan. 

Perkembangan bahasa dan sastra pun mengalami perubahan dari gaya tradisional, kalimat yang panjang, dan berlebihan akibat pengaruh pleonasme dan penggunaan kosa kata klasik berganti dengan gaya yang sejalan dengan waktu, serba singkat.

Ciri khas perkembangan bahasa dalam sastra arab modern ini ialah menggunakan bahasa percakapan dalam dialog.

Sebagian kalangan cenderung ingin merubahhuruf arab sedemikian rupa supaya dapat dibaca dalam huruf latin, bahkan di Libanon ada sekelompok sastrawan yang mencoba mengganti huruf arab dengan huruf latin. 

Novel pun sekarang terbitdalam bahasa arab kini menggunakan huruf latin.

Faktor Penyebab Berkembangnya Sastra Arab
Kebangkitan Sastra di Mesir pada abad modern diawali dengan berkembangnya aliran sastra yang kemudian dikenal dengan aliran konservatif (Tayyaral Muhafidzin) yaitu aliran yang merekonstruksi ruang lingkup sastra dengan tetap merevivalisasi sastra klasik serta mengembangkan tema sastra sesuai dengan kondisi kekinian. 

Pelopor aliran ini adalah Mahmud Samial-Barudi(1838-1904).

Pembaharuan yang dilakukan Barudi bukan melakukan sweeping atau menyapu bersih kaidah-kaidah sastraklasik, seperti qowafi (rhyme) dan wazan(ritme).

Oleh karena itu aliran ini disebut muhafidziin karena mereka tetap menjaga parameter sastra yang diwariskan secara turun-temurun dari sastrawan-sastrawan klasik.

Namun demikian, pembaharuan Barudi hanya sebatas pembaharuan pada diksi tema yang dikaitkan dengan kondisi pada zamannya atau hasil dari interaksi langsung dengan sosial budaya masyarakat pada waktu itu.

Terlepas dari Barudi, kebangkitan sastra arab diawali dengan beberapa faktor.

Berikut ini kami akan sampaikan secara singkat faktor-faktor yang menyebabkan bangkitnya kembali kesusastraan arab:

Bersatunya antara kebudayaan barat dengan kebudayaan timur. 

Pada awal kurun yang lampau yang diusung pertama kali oleh Napoleon Bonaparte dan pengambilan kekuasaan dari tangan para komunis, dan lain dari pada itu negara bagian timur menjadi tempat bekerja bagi mereka, dan mereka menjadikan bahasa arab sebagai bahasa yang resmi untuk menyebar luaskan beberapa ajaran dan sastra.

Adapun beberapa pekerjaan mereka yang ada di Suriah tidak terlepas dari beberapa peninggalan yang ada di Mesir, maka dibangunlah beberapa sekolah dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang Syam Nasrani, maka keluarlah beberapa kelompok dari mereka yang mempunyai kelebihan berbahasa Arab dan kemudian mengembangkan keilmuwan dan kesusastraan arab.

Bertambahnya jumlah orientalis di Eropa bagian timur dan usaha mereka terus berlanjut hingga mendapatkan beberapa publikasi Arab dan dicetaklah beberapa buku berbahasa Arab, dan beberapa tulisan perserikatan Asuyah yang membahas tentang berbagai ilmu dan masalah-masalah ketimuran, sehingga bertambahlah tempat mutiara-mutiara ilmu dan sastra.

Dibangunnya sekolah yang bermacam-macam yang didirikan Muhammad Ali Basya dengan bantuan para pengajar dari Eropa dan beberapa ulama Mesir.

Dan dibangun pula -sekolah yang didirikan oleh Khudhowi Ismail, yang merupakan sekolah bahasa Arab yang sangat besar, sedangkan sekolah sastra yaitu sekolah Darul Ulum.

Maka tercetaklah dari sekolah-sekolah ini ratusan guru, hakim, dan para penulis kitab.

Adanya utusan kaderisasi ilmu pengetahuan, yaitu Muhammad Ali Basya dan Ismail Basya kepada sejumlah kerajaan yang ada di Eropa untuk menyampaikan bermacam-macam ilmu pengetahuan dan pengutusan tersebut berjalan selama 12 tahun.

Adanya propaganda dalam pembelajaran bahasa asing, sehingga sistem pengajaran pada saat itu dengan cara paksa seperti yang ada di Mesir dan Syam dan sekolah-sekolah negeri, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah pusat da’wah.

Dari sanalah banyak di nukil kalimat-kalimat yang berbahasa Perancis kedalam bahasa Arab.

Maka dengan adanya Atsar dari bahasa tersebut, beberapa hasil pemikiran orang-orang pada waktu itu dapat terbukukan dan menyebar luas hingga mereka mampu menerjemahkan ribuan kitab dan riwayat, makalah-makalah politik ilmiah kedalam bahasa Arab. 

Maka hal tersebut juga dimanfaatkan bagi orang yang tidak paham dengan bahasa asing sehingga menjadi tahu dengan jelas sastra yang yang mendalam.

Didirikannya percetakan berbahasa Arab di Mesir, Syam dan konstantinopel. kemudian dicetaklah beberapa mushaf-mushaf dan beberapa kitab ilmu sastra.

Dan diantara kitab-kitab yang terpenting yang tercetak untuk menghidupkan kembali bahasa Arab dan kesusastraanya, yaitu kitab-kitab yang berbentuk kamus seperti kamus istilah dan beberapa penjelasan, Lisanul Arab yang sifat khusus membahas tentang kalamul Arab, dan beberapa kitab sastra seperti: kitab Al-Aghani Wal Aqdul Farid karangan Al Hariri, Al-Badi’, Amalil Qali dan Shahi A’syaa.

Dan beberapa kitab-kitab syair yang sangat banyak jumlahnya. Adapun kitab-kitab sejarah seperti: karangan At-thabari dan Ibnul Atsir, kitab Muqoddimah karangan Ibnu Khaldun, dan beberapa kitab-kitab modern yang lainnya yang tersebar di Eropa.

Diterbitkannya surat kabar Arab yang ada di Mesir Syam dan Konstantinopel. Dan koran pertama di Arab yaitu Al-Waqoi’Al-Misriyah yang terbit pada tahun 1828. 

Awalnya sebagian teks berbahasa Turki, yang kemudian dirancang kembali oleh Syek Hasan Al-Ithari dan Syek Syihabuddin, sehingga kemudian terpisah antara yang berbahasa Arab dan Berbahasa Turki dan kemudian pada akhirnya hanya berbahasa Arab saja kemudian dicetak dengan tulisan Arab Nashi dan Arab Farisi dan terbit selama tiga kali dalam satu minggu hingga sekarang.

Sedangkan koran yang berbahasa Arab pertama kali terbit di Suriah yaitu Hadiqatul Akbar yang terbit pada tahun 1808, sedangkan di Konstantinopel pada tahun 1860, yang mana redakturnya adalah Ahmad Faris. 

Kemudian terbit juga setelah itu koran Suriah resmi pada tahun 1865. Adapun koran yang pertama kali terbit di Mesir setelah Al-Waqai’adalah Wadi Annaily (koran lama) dan terbit pula koran-koran yang lain seperti Al-Iskandariyah, Azzaman, Al-Ibtidal, Al-Fallak Wal Ahram, Al-Muqtim, Wal Muayyad, Wal-Lukluk, Wal-Ilmu, Wal Jaridah dan Syuad.

- Adanya kelompok-kelompok ilmuwan dan sastrawan, dan yang paling terkenal pada saat itu Syek Jamaluddin Al-Afghari.

- Adanya kreasi seni berbahasa Arab, pertama kemunculannya di Syam kemudian menyebar ke Mesir, yang bertujuan untuk memberantas budaya buta seni, dan kelemahan dalam berbahasa Arab yang pasih dan lancar.

- Adanya peraturan baru di Al-Azhar dan sekolah-sekolah dasar, yang memasukkan materi-materi baru dari berbagai macam ilmu, atas ide Syekh Muhammad Abduh.

08/09/17

Mengenal Mudharabah: Cara Cerdas Berbisnis ala Syariah

Mengenal Mudharabah: Cara Cerdas Berbisnis ala Syariah

Mengenal Mudharabah: 

Cara Cerdas Berbisnis ala Syariah

Al-Qur’an bahkan mendorong kita untuk berbisnis dengan cara yang halal dan jujur.


gudangmakalah165.blogspot.com - Pernahkah kamu berpikir, bagaimana caranya berbisnis yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga adil dan sesuai dengan nilai-nilai keimanan?

Dalam Islam, ada sebuah konsep yang disebut mudharabah, sebuah cara berbisnis yang menyeimbangkan keuntungan dan keadilan sosial. 

Yuk, kita jelajahi lebih dalam tentang mudharabah, mulai dari apa itu, dasar hukumnya, hingga cara kerjanya!

Mengapa Mudharabah Penting?

Bayangkan kamu punya modal, tapi nggak punya waktu atau keahlian untuk mengelolanya. Di sisi lain, ada orang yang jago berbisnis tapi nggak punya cukup dana.

Nah, mudharabah hadir sebagai jembatan untuk menyatukan keduanya. Dalam Islam, semua aktivitas kita—baik duniawi maupun ukhrawi—selalu punya tujuan (maqasyid).


Tapi, kadang manusia terjebak pada kepentingan pribadi, mengabaikan hak orang lain. Islam, sebagai agama rahmatan lil alamin, punya solusi untuk ini: aturan yang menjamin keadilan dan kejujuran.

Al-Qur’an bahkan mendorong kita untuk berbisnis dengan cara yang halal dan jujur. Misalnya, dalam Surah Al-Jumu’ah (62:10), Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah.” Ini seperti undangan terbuka untuk berusaha, tapi dengan cara yang benar, tanpa menghalangi orang lain untuk mendapatkan rezeki.

Apa Itu Mudharabah?

Secara sederhana, mudharabah adalah kerja sama antara dua pihak: pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola (mudharib). 

Pemilik modal menyerahkan dananya, sementara pengelola mengelola dana itu untuk bisnis, dan keuntungannya dibagi sesuai kesepakatan. 

Kalau rugi? Pemilik modal yang menanggung, tapi pengelola nggak boleh lalai. Keren, bukan? Ini seperti simbiosis mutualisme dalam dunia bisnis!


Kata “mudharabah” sendiri berasal dari bahasa Arab, dharaba, yang artinya “memukul” atau “berjalan di muka bumi”. Dalam konteks bisnis, ini merujuk pada usaha bersama untuk mencari rezeki. 

Di Irak, istilah ini populer, tapi di Hijaz, orang lebih suka pakai istilah qiradh, yang artinya “memotong” sebagian harta untuk dikelola dan dibagi keuntungannya.

Dasar Hukum Mudharabah
Mudharabah bukan sekadar tradisi, tapi punya landasan kuat dalam syariat Islam. Apa saja?

Al-Qur’an: Selain ayat tadi, ada juga Surah Al-Baqarah (2:198) yang bilang, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan).” Jelas, Islam mendukung bisnis yang halal!

As-Sunnah: Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur aduk dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).

Ijma: Para sahabat Rasulullah juga menggunakan mudharabah, misalnya untuk mengelola harta anak yatim, dan ini nggak ditentang.

Qiyas: Mudharabah mirip dengan konsep musyarakah (kerja sama kebun), di mana ada yang punya modal dan ada yang punya tenaga. Keren, kan, betapa Islam punya solusi untuk semua!

Rukun dan Jenis Mudharabah

Supaya mudharabah sah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, atau yang disebut rukun. Menurut ulama Hanafiyah, rukunnya cuma dua: ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan). 

Tapi, menurut jumhur ulama, ada tiga: dua pihak yang berakad, modal, dan kesepakatan. Ulama Syafi’iyah bahkan lebih detail, menyebut lima rukun: modal, pekerjaan, laba, kesepakatan, dan dua pihak.

Mudharabah juga punya tiga jenis, yaitu:

1. Mudharabah Muthalaqah: Pemilik modal kasih kebebasan penuh ke pengelola untuk mengelola dana. Ini kayak investasi tanpa ikatan!

2. Mudharabah Muqayyadah: Pemilik modal kasih batasan, misalnya soal jenis usaha, lokasi, atau cara pengelolaan.

3. Mudharabah Musytarakah: Pengelola juga nyumbang modal, jadi kayak kemitraan penuh.

Syarat Sah Mudharabah

Buat bikin mudharabah sah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

Pihak yang Berakad: Pemilik modal dan pengelola harus punya kapasitas untuk mewakili atau diwakili. Pengelola bertindak sebagai “agen” yang mengelola dana dengan amanah.

Modal: Harus berupa uang (bukan barang atau utang), jumlahnya jelas, dan diserahkan ke pengelola. Kalau modalnya ada di pihak ketiga, boleh, asal jelas instruksinya.
Laba: Pembagian laba harus jelas, misalnya 50:50, dan nggak boleh ditetapkan dalam jumlah fix (misalnya Rp1.000 untuk pemilik modal).

Hukum Mudharabah: Sahih atau Fasid?
Mudharabah bisa sah (sahih) atau batal (fasid). Kalau fasid, biasanya karena ada syarat yang nggak sesuai, misalnya pemilik modal ngatur-ngatur terlalu detail soal bisnis, atau minta pengelola nyampur modal dengan pihak lain. Kalau sahih, tanggung jawab pengelola jelas: kalau rugi karena kelalaian, dia yang nanggung, tapi kalau rugi tanpa sengaja, pemilik modal yang menanggung.


Apa yang Membatalkan Mudharabah?
Mudharabah bisa batal karena beberapa hal, seperti:

Pembatalan akad atau larangan berusaha oleh salah satu pihak.
Salah satu pihak meninggal dunia (meski ulama Malikiyah bilang bisa dilanjutkan ahli waris).

Salah satu pihak jadi gila (karena kehilangan kapasitas).
Pemilik modal murtad atau bergabung dengan musuh.
Modal rusak sebelum diusahakan.

Prinsip Bagi Hasil dalam Mudharabah

Di mudharabah, istilah “profit and loss sharing” kurang tepat, karena kerugian ditanggung pemilik modal, bukan dibagi. Jadi, yang dibagi cuma keuntungannya, sesuai nisbah (persentase) yang disepakati. Laporan keuntungan berdasarkan realisasi, bukan proyeksi, biar adil dan transparan.

Akuntansi dalam Mudharabah

Bagaimana cara mencatat transaksi mudharabah? Yuk, kita lihat dari dua sisi:

1. Pemilik Dana

Modal yang disalurkan dicatat sebagai investasi mudharabah, baik dalam bentuk kas (sesuai jumlah) atau aset nonkas (sesuai nilai wajar).
Kalau modal turun nilainya sebelum bisnis mulai (bukan karena kelalaian pengelola), itu dicatat sebagai kerugian.
Keuntungan atau kerugian dihitung saat akad selesai, berdasarkan selisih investasi dan pengembalian.
Laporan keuangan harus jelas, termasuk detail kesepakatan, jumlah investasi, dan penyisihan kerugian.

2. Pengelola Dana

Dana yang diterima dicatat sebagai dana syirkah temporer, sesuai jumlah kas atau nilai wajar aset nonkas.
Kalau dana disalurkan lagi, dicatat sebagai aset. Kalau dikelola sendiri, pendapatan dan beban dicatat seperti akuntansi biasa.
Kerugian karena kelalaian pengelola jadi beban pengelola.
Laporan keuangan harus mencantumkan detail dana, pembagian hasil, dan aktivitas usaha.

Kesimpulan

Mudharabah adalah cara cerdas untuk berbisnis sesuai syariat. Dengan mengutamakan keadilan, transparansi, dan kerja sama, mudharabah nggak cuma bikin untung, tapi juga membawa berkah. Jadi, kalau kamu punya modal atau keahlian, kenapa nggak coba mudharabah? Yuk, wujudkan bisnis yang halal dan penuh keberkahan!