Maqashid al-Syari’ah:
Kunci Memahami Tujuan Hukum Islam
![]() |
Maqashid al-Syari’ah: Konsep Maqashid al-Syari’ah ini adalah jembatan antara teks syariat (Al-Qur’an dan Hadis) dengan realitas kehidupan. |
gudangmakalah165.blogspot.com - Pernahkah kamu bertanya, apa sih tujuan sebenarnya dari hukum Islam? Mengapa ada aturan-aturan tertentu, seperti larangan minum khamar atau kewajiban menjaga harta?
Jawabannya ada pada Maqashid al-Syari’ah, konsep yang jadi kompas untuk memahami maksud di balik hukum syariat.
Yuk, kita jelajahi apa itu Maqashid al-Syari’ah, peranannya dalam pengembangan hukum Islam, dan bagaimana ia terhubung dengan metode ijtihad lainnya!
Mengapa Hukum Islam Punya Tujuan?
Hukum Islam bukan sekadar daftar larangan dan perintah. Setiap aturan punya tujuan besar: menjaga kebaikan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah) bagi manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Misalnya, larangan minum khamar bukan cuma soal minuman, tapi untuk melindungi akal manusia, yang jadi salah satu aset terpenting.
Menurut para ulama ushul fiqih, ada lima hal pokok yang harus dijaga: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kalau kelima hal ini terjaga, hidup kita akan penuh kebaikan. Kalau nggak? Bisa kacau!
Konsep Maqashid al-Syari’ah ini adalah jembatan antara teks syariat (Al-Qur’an dan Hadis) dengan realitas kehidupan.
Dengan memahami tujuan hukum, kita bisa menangkap esensi syariat dan menerapkannya secara relevan. Makalah ini akan menjawab tiga pertanyaan besar: Apa itu Maqashid al-Syari’ah? Bagaimana peranannya dalam hukum Islam? Dan bagaimana hubungannya dengan metode ijtihad lain?
Apa Itu Maqashid al-Syari’ah?
Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata: maqashid (tujuan-tujuan) dan syari’ah (jalan menuju sumber keadilan atau kehidupan).
Secara sederhana, ini adalah tujuan atau maksud di balik hukum-hukum Islam.
Konsep ini mulai dirintis oleh Al-Juwaini (Imam Haramain) dan disusun secara sistematis oleh Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam.
Menurut al-Syatibi, “Syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.”
Al-Syatibi membagi Maqashid al-Syari’ah menjadi tiga tingkatan:
1. Dharuriyyat (Kebutuhan Primer): Hal-hal yang wajib ada, seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Tanpa ini, kehidupan manusia bisa rusak. Contoh: kewajiban shalat untuk menjaga agama, atau larangan membunuh untuk menjaga jiwa.
BACA JUGA: 7 Tokoh Filsafat Alam atau Pra-Socratic, Serta Penjelasan Gnoti Seauton dan Maieutica-technic
2. Hajiyyat (Kebutuhan Sekunder): Hal-hal yang mempermudah hidup, seperti keringanan tidak berpuasa saat sakit. Tanpa ini, hidup nggak hancur, tapi jadi sulit.
3. Tahsiniyyat (Kebutuhan Tersier): Hal-hal yang bikin hidup lebih indah dan sesuai norma, seperti akhlak mulia atau desain masjid yang estetis sesuai budaya lokal.
Meski al-Syatibi nggak mendefinisikan Maqashid al-Syari’ah secara eksplisit, ia menegaskan bahwa inti syariat adalah maslahah—kebaikan dan kesejahteraan umat. Ulama lain, seperti Wahbah al-Zuhaili, bilang Maqashid al-Syari’ah adalah nilai-nilai dan tujuan syariat yang tersirat dalam hukum-hukumnya, yang jadi rahasia di balik setiap aturan.
BACA JUGA: Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam
Peran Maqashid al-Syari’ah dalam Hukum Islam
Maqashid al-Syari’ah adalah alat penting dalam ijtihad, yaitu usaha menemukan hukum untuk masalah yang nggak disebut eksplisit di Al-Qur’an atau Hadis.
Dalam ushul fiqih, ada tiga metode utama ijtihad: al-bayani (penafsiran kebahasaan), at-taufiqi (menyelesaikan pertentangan dalil), dan at-ta’lili (penalaran berdasarkan illat), di mana Maqashid al-Syari’ah masuk. Tujuannya? Pastinya untuk mencapai maslahah umat!
Contohnya, untuk menjaga akal (hifz al-aql), Islam melarang khamar karena sifatnya yang memabukkan. Dengan logika Maqashid, larangan ini bisa diperluas ke zat-zat lain yang punya efek serupa, seperti narkoba, meski nggak disebut langsung di Al-Qur’an.
Begitu juga dengan harta: Islam mendorong transaksi yang adil dan melarang pencurian untuk menjaga hifz al-mal. Dengan Maqashid, hukum Islam tetap relevan di zaman modern!
Hubungan Maqashid al-Syari’ah dengan Metode Ijtihad Lain
Maqashid al-Syari’ah nggak berdiri sendiri—ia terhubung erat dengan metode ijtihad lain, seperti qiyas dan maslahah al-mursalah.
Dalam qiyas, misalnya, kita harus tahu illat (alasan hukum) dulu, dan Maqashid membantu menemukan illat itu. Contoh: khamar dilarang karena memabukkan, jadi zat lain yang memabukkan juga haram. Ini menunjukkan betapa Maqashid jadi fondasi logis untuk ijtihad.
Maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang nggak disebut eksplisit di nash) juga terkait erat. Imam al-Ghazali bilang, kalau maslahah itu selaras dengan tujuan syariat, itu sah sebagai dasar hukum. Al-Syatibi, dalam al-I’tisham, kasih contoh: kodifikasi Al-Qur’an di masa Abu Bakar nggak ada perintah langsung, tapi sesuai dengan Maqashid untuk menjaga agama (hifz al-din).
Begitu juga dengan kesaksian anak-anak dalam kasus tertentu, yang dianggap sah demi kemaslahatan meski nggak ada nash eksplisit.
Maqashid al-Syari’ah membantu menyatukan perbedaan pendapat antar ulama dan mempertajam analisis hukum.
Dengan fokus pada kemaslahatan, metode ini bikin hukum Islam tetap dinamis dan relevan untuk menjawab tantangan zaman.
Kesimpulan
Maqashid al-Syari’ah adalah kunci untuk memahami mengapa hukum Islam ada: untuk kebaikan umat di dunia dan akhirat. Dari menjaga agama hingga harta, konsep ini memastikan setiap hukum punya tujuan mulia.
Dengan tiga tingkatan—dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat—Maqashid membantu para mujtahid menemukan solusi hukum untuk masalah baru yang nggak ada di Al-Qur’an atau Hadis.
Terhubung dengan metode ijtihad seperti qiyas dan maslahah al-mursalah, Maqashid bikin hukum Islam tetap hidup dan relevan. Yuk, dalami Maqashid untuk memahami syariat dengan lebih bijak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar