Hadis Maudhu di Era Digital:
Ketika Hoaks Agama Berkedok Sabda Nabi
![]() |
| "Setiap hari, media sosial dibanjiri kutipan hadis yang diklaim berasal dari Nabi Muhammad SAW, lengkap dengan janji pahala besar atau ancaman siksa bagi yang melanggar." fragmenilmiah.com - Di era digital seperti sekarang, informasi agama menyebar begitu cepat. Setiap hari, media sosial dibanjiri kutipan hadis yang diklaim berasal dari Nabi Muhammad SAW, lengkap dengan janji pahala besar atau ancaman siksa bagi yang melanggar. Namun, tak semua yang beredar itu benar. Sebagian di antaranya ternyata hanyalah hadis maudhu hadis palsu yang dibuat manusia dan dinisbatkan kepada Nabi. Fenomena ini bukan hal baru. Sejak masa awal Islam, hadis palsu sudah pernah dijadikan alat untuk kepentingan politik, mazhab, hingga ambisi pribadi. BACA JUGA: Ketika Urusan Kredit jadi Teror Jalanan: Celah Hukum yang Dimanfaatkan Debt Collector Ilegal Bedanya, kalau dulu penyebarannya terbatas lewat lisan, kini hadis palsu menjelma menjadi hoaks agama yang tersebar cepat lewat gawai dan media sosial. Apa Itu Hadis Maudhu? Secara bahasa, kata maudhu berarti dibuat-buat atau dilekatkan. Dalam istilah hadis, hadis maudhu adalah hadis yang sengaja diciptakan lalu dikaitkan dengan Nabi Muhammad SAW, padahal beliau tidak pernah mengucapkannya. Ulama hadis menilai hadis maudhu sebagai bentuk kebohongan paling berbahaya, karena menggunakan nama Nabi untuk membenarkan sesuatu yang salah. Nabi sendiri pernah memperingatkan dengan sabda yang terkenal: “Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari sini terlihat betapa seriusnya ancaman bagi siapa pun yang memalsukan hadis atau menyebarkannya tanpa memastikan kebenarannya. Jejak Sejarah Hadis Maudhu Hadis palsu pertama kali muncul setelah wafatnya Nabi, ketika umat Islam mulai terpecah karena konflik politik. Pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, muncul kelompok-kelompok yang menggunakan hadis palsu untuk membenarkan posisi mereka. Ada hadis yang dibuat seolah-olah Nabi sudah menunjuk seseorang sebagai penerus, padahal tidak. Selain faktor politik, hadis palsu juga dibuat karena fanatisme mazhab, upaya mencari simpati masyarakat, bahkan sekadar untuk menyenangkan penguasa. Seorang perawi bernama Giyats bin Ibrahim pernah menambahkan kalimat “atau mengadu burung” dalam hadis tentang lomba, hanya karena khalifah yang berkuasa kala itu gemar mengadu burung. Hadis palsu semacam ini terus berkembang, menyesuaikan dengan kepentingan zamannya. Dari Politik ke Media Sosial Kini, sejarah seperti terulang dalam bentuk baru. Jika dahulu hadis palsu lahir dari perebutan kekuasaan, kini ia muncul dari ketidaktahuan dan sensasi digital. Banyak akun media sosial yang membagikan hadis tanpa sumber, sekadar karena “terdengar islami” atau mendapat banyak like dan share. Hoaks agama ini sering beredar dalam bentuk pesan WhatsApp atau unggahan dengan nada emosional, misalnya: “Barang siapa tidak membagikan hadis ini ke sepuluh orang, maka akan ditimpa kesialan.” Padahal tidak ada satu pun dasar hadis seperti itu dalam literatur Islam. Motifnya kini bukan lagi politik, melainkan popularitas dan klik digital. Mengapa Hadis Maudhu Mudah Menyebar? Ada beberapa sebab mengapa hadis palsu mudah menyebar di era digital. Pertama, rendahnya literasi keagamaan dan kurangnya kebiasaan memeriksa sumber. Banyak orang mengira semua teks yang mengandung kata “Rasulullah bersabda” pasti benar. Kedua, sifat media sosial yang cepat dan instan membuat orang cenderung membagikan sebelum memverifikasi. Ketiga, beberapa pihak sengaja menyebarkan hadis palsu untuk menggiring opini politik atau ekonomi dengan kedok agama. Ciri-Ciri Hadis Palsu Para ulama hadis telah memberi panduan untuk mengenali hadis maudhu. Beberapa cirinya antara lain: 1. Tidak ditemukan dalam kitab hadis sahih seperti Bukhari, Muslim, atau Sunan lain. 2. Isi atau maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an atau akal sehat. 3. Redaksinya berlebihan, menjanjikan pahala luar biasa untuk amalan kecil. 4. Tidak ada sanad atau rantai perawi yang jelas. Contohnya, hadis palsu seperti: “Terong adalah obat untuk segala penyakit.” atau “Anak zina tidak masuk surga hingga tujuh turunan.” Kedua hadis ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam dan tidak memiliki dasar yang sahih. Menangkal Hoaks Agama di Era Modern Para ulama klasik sudah menempuh jalan panjang untuk meneliti ribuan hadis dengan sangat hati-hati. Kini, tantangan umat Islam adalah melanjutkan semangat itu dalam dunia digital. BACA JUGA: 7 Tokoh Filsafat Alam atau Pra-Socratic, Serta Penjelasan Gnoti Seauton dan Maieutica-technic Setiap muslim perlu belajar memilah informasi, memeriksa sumber, dan tidak langsung menyebarkan sesuatu hanya karena terlihat religius. Beberapa langkah sederhana yang bisa dilakukan antara lain: * Periksa apakah hadis tersebut tercantum dalam kitab hadis yang diakui. * Gunakan situs resmi atau aplikasi terpercaya untuk verifikasi hadis. * Jangan sebarkan pesan keagamaan tanpa sumber jelas. * Jadikan ulama dan ahli hadis sebagai rujukan utama, bukan konten viral di media sosial. Hadis Palsu dan Tanggung Jawab Kita Hadis maudhu bukan hanya masalah masa lalu, tapi juga tantangan masa kini. Jika dulu hadis palsu digunakan untuk kepentingan politik, kini ia menjadi alat penyebar hoaks agama. Dampaknya sama-sama berbahaya: menyesatkan umat dan merusak kepercayaan pada ajaran Islam yang murni. Menyebarkan kebenaran bukan sekadar amal, tetapi juga tanggung jawab moral. Karena itu, setiap kali kita membaca hadis di internet, sebaiknya kita berhenti sejenak dan bertanya: benar dari Nabi, atau hanya karangan manusia? Di tengah arus informasi yang tak terbendung, kehati-hatian menjadi bentuk cinta sejati kepada Rasulullah SAW. |

0 Komentar