--> Fragmen Ilmiah | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Fragmen Ilmiah: kumpulan bahan makalah serta konten evergreen yang mudah dipahami.

Total Tayangan Halaman

22/05/25

Ijazah: Dari Tradisi Ilmu Islam hingga Polemik Politik Modern

Ijazah: Dari Tradisi Ilmu Islam hingga Polemik Politik Modern

 Ijazah

Dari Tradisi Ilmu Islam hingga Polemik Politik Modern

IJAZAH: Dalam setiap jenjang kehidupan, ada satu lembar kertas yang tampak sederhana namun punya kekuatan besar: ijazah. 

gudangmakalah165.blogspot.com - Dalam setiap jenjang kehidupan, ada satu lembar kertas yang tampak sederhana namun punya kekuatan besar: ijazah. 

Ia bisa membuka pintu pendidikan lebih tinggi, pekerjaan, bahkan kepercayaan publik. Tapi sebenarnya, apa itu ijazah? 

Apakah ia sekadar dokumen administratif, atau ada makna yang lebih dalam dari sekadar stempel dan tanda tangan?

Apa Itu Ijazah?

Secara umum, ijazah adalah sertifikat atau surat tanda lulus yang diberikan oleh lembaga pendidikan kepada seseorang setelah menyelesaikan suatu program belajar. 

Ijazah ini bisa berupa ijazah SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Fungsinya jelas: membuktikan bahwa seseorang telah memenuhi standar akademik tertentu.**

Namun jika kita menyelami sejarahnya, istilah “ijazah” memiliki akar yang lebih dalam, khususnya dalam tradisi keilmuan Islam klasik.

Ijazah dalam Tradisi Islam: Lebih dari Sekadar Sertifikat

Dalam dunia keilmuan Islam klasik, ijazah bukan sekadar tanda kelulusan. Ia adalah izin ilmiah yang diberikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk mengajarkan atau meriwayatkan sebuah kitab atau ilmu tertentu. 

Biasanya diberikan dalam bidang tafsir, hadis, tasawuf, atau fikih, ijazah ini bersifat sangat personal dan spiritual.

Ijazah ini mencerminkan tiga hal penting:

1. Penguasaan ilmu – Murid tidak akan diberi ijazah sebelum menguasai isinya.
2. Sanad keilmuan – Ijazah menyambungkan murid dengan silsilah guru-guru sebelumnya, hingga sampai ke sumber utama (misalnya Nabi Muhammad SAW dalam hadis).
3. Tanggung jawab moral – Penerima ijazah memikul amanah untuk menjaga dan menyebarkan ilmu dengan benar.

Contohnya, seorang santri yang belajar Shahih Bukhari di pesantren bisa menerima ijazah dari kiai, yang sanadnya menyambung sampai ke Imam Bukhari sendiri. Ini bukan sekadar bukti pernah belajar—ini adalah otorisasi keilmuan yang terverifikasi secara spiritual dan historis.

Ketika Ijazah Dipertanyakan: Kasus Jokowi dan Sensasi Publik

Di era modern, ijazah tetap menjadi instrumen penting, terutama dalam dunia pendidikan dan pemerintahan. Maka tidak heran, ketika muncul isu dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo, media sosial dan ruang publik langsung ramai.

Sebagian pihak mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), sementara pihak kampus dan pemerintah menegaskan keasliannya. Isu ini bahkan sempat masuk ke ranah hukum, meski tidak terbukti adanya pemalsuan.

Menariknya, kasus ini menunjukkan betapa besar pengaruh satu lembar ijazah di mata masyarakat modern. 


Ia bukan sekadar dokumen, tapi simbol validasi sosial dan kepercayaan publik. Bahkan ketika seseorang sudah memiliki rekam jejak yang jelas, publik tetap ingin melihat "bukti tertulis"-nya.

Pelajaran dari 2 Dunia Ijazah

Baik dalam tradisi klasik Islam maupun dunia pendidikan modern, ijazah adalah bukti bahwa ilmu bukan sekadar dihafal, tapi juga diakui. 

Perbedaannya, ijazah klasik bersifat personal dan spiritual, sedangkan ijazah modern bersifat administratif dan legal.

Namun dalam dua-duanya, ijazah tetap mengandung tanggung jawab moral: untuk mengamalkan dan menyebarkan ilmu dengan benar.

Penutup: Lebih dari Sekadar Lembar Kertas

Ijazah sejatinya adalah simbol kepercayaan. Dalam tradisi Islam, ia mewakili sanad keilmuan dan akhlak seorang murid. Dalam dunia modern, ia menjadi bukti kompetensi dan legalitas.

Dan ketika keabsahan sebuah ijazah dipertanyakan, seperti dalam kasus Jokowi, kita belajar bahwa kepercayaan publik tidak hanya dibangun oleh tanda tangan, tetapi juga oleh rekam jejak, integritas, dan kejelasan narasi.

Maka, baik di ruang kelas, pesantren, atau istana negara—ijazah tetap menjadi lembar penting dalam perjalanan hidup seseorang. Tapi jangan lupa: yang lebih penting dari ijazah adalah apa yang kita lakukan dengan ilmu yang kita miliki.


Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali: Antara Tradisi dan Rasionalitas

Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali: Antara Tradisi dan Rasionalitas

Menimbang Metode Pemahaman Hadis ala Syaltut dan Al-Ghazali: 

Antara Tradisi dan Rasionalitas


Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya menawarkan pendekatan segar dalam memahami hadis, tanpa melepaskan pijakan pada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam.

gudangmakalah165.blogspot.com - Dalam dunia keilmuan Islam, pemahaman terhadap hadis selalu menjadi medan dialektika antara otoritas teks dan nalar kritis. 

Dua nama besar yang cukup mencolok dalam medan ini adalah Syekh Mahmud Syaltut dan Muhammad al-Ghazali. 

Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, keduanya menawarkan pendekatan segar dalam memahami hadis, tanpa melepaskan pijakan pada Al-Qur’an sebagai sumber utama Islam. 

Lalu, bagaimana sebenarnya metode pemahaman hadis menurut mereka berdua? Mari kita telusuri bersama dalam tulisan komparatif ini.



Syekh Mahmud Syaltut: Rasionalitas dalam Bingkai Mazhab Al-Azhar

Syekh Mahmud Syaltut lahir pada 23 April 1893 di Minyat Bani Manshur, Mesir. Ia menapaki dunia keilmuan sejak usia belia dan berhasil meraih prestasi gemilang di Universitas Al-Azhar.

Kariernya melesat hingga menjadi Syekh Al-Azhar pada tahun 1958, posisi tertinggi di lembaga itu. 

Syaltut dikenal sebagai reformis keilmuan Islam, yang tidak hanya aktif di bidang pendidikan dan fatwa, tapi juga mendorong persatuan antar mazhab dengan mendirikan *Jamaah al-Taqrib baina al-Mazahib.

Dalam memahami hadis, Syaltut memegang prinsip bahwa akidah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan nash yang qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. 

Ia sangat menekankan pentingnya otentisitas dan makna yang tegas (qath’iyyah al-dilalah) dalam menetapkan keyakinan. 

Maka, hadis-hadis ahad—yang diriwayatkan oleh sedikit perawi—tidak dapat dijadikan dasar dalam hal-hal yang menyangkut akidah, karena tidak memberi kepastian secara epistemologis.

Syaltut juga membagi sunnah Nabi menjadi dua:

1. Sunnah non-syariat (ghairu tasyri’iyah) tindakan Nabi sebagai manusia biasa, seperti kebiasaan makan, berpakaian, dan strategi perang. Ini tidak mengikat umat secara syariat.
2. Sunnah tasyri’iyah ucapan dan tindakan Nabi yang merupakan bagian dari risalah dan syariat, baik sebagai nabi, hakim, atau pemimpin masyarakat. Hanya kategori ini yang wajib diikuti umat.

Syaltut juga menyoroti kelangkaan hadis mutawatir (hadis dengan banyak jalur periwayatan yang tidak mungkin disepakati untuk berbohong) dalam kitab-kitab hadis.

Ia menegaskan bahwa mayoritas hadis dalam kitab-kitab sahih adalah hadis ahad, sehingga harus dikritisi sebelum dijadikan dasar ajaran, terutama dalam perkara yang sangat prinsipil.

Muhammad Al-Ghazali: Membaca Hadis dengan Mata Al-Qur’an dan Akal

Lahir di Bukhaira, Mesir pada 22 September 1917, Muhammad al-Ghazali dikenal sebagai penulis produktif, da’i berpengaruh, serta intelektual yang berpijak pada semangat rasionalitas dalam Islam. 

Sebagai mantan aktivis Ikhwanul Muslimin dan seorang cendekiawan Salafi moderat, ia banyak berbicara mengenai relevansi Islam dengan konteks modern.

Dalam menilai hadis, al-Ghazali menetapkan lima kriteria keabsahan hadis: tiga terkait sanad (keadilan dan kecermatan perawi serta keberlangsungan sanad) dan dua terkait matan (tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih atau dengan fakta sejarah serta tidak mengandung cacat tersembunyi). 

Namun, yang menonjol dalam metode al-Ghazali adalah penekanan pada kritik matan.

Menurutnya, hadis tidak bisa dilepaskan dari pengujian terhadap Al-Qur’an. Jika sebuah hadis sahih secara sanad namun bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an, maka hadis tersebut harus ditinjau ulang. 

Bahkan, ia berani menyatakan bahwa dalam kondisi tertentu, hadis yang lemah sanadnya bisa lebih bisa diterima bila maknanya sejalan dengan Al-Qur’an, ketimbang hadis sahih yang bertentangan dengannya.

Al-Ghazali juga menambahkan tiga pendekatan penting dalam memahami hadis:

Uji historis: Apakah hadis tersebut selaras dengan fakta sejarah? Jika tidak, maka keabsahannya perlu dipertanyakan.
Uji ilmiah: Kandungan hadis tidak boleh bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern atau prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Uji koherensi antar-hadis: Hadis harus dibandingkan dengan hadis lain untuk memastikan tidak ada pertentangan.

Menyilangkan Pandangan: Titik Temu dan Perbedaan

Baik Syaltut maupun al-Ghazali sepakat bahwa hadis bukan sumber yang berdiri sendiri, dan perlu dikaji dalam terang Al-Qur’an dan akal sehat. Keduanya kritis terhadap hadis ahad, serta tidak menerimanya begitu saja sebagai dasar ajaran fundamental.

Namun ada perbedaan menarik:

Syaltut lebih fokus pada validitas hadis dari sisi epistemologis dan teologis, dengan membedakan fungsi sunnah Nabi secara jelas antara yang bersifat pribadi dan syariat.
Al-Ghazali, di sisi lain, mengusung pendekatan yang lebih kontekstual dan humanis, dengan keberanian menguji hadis lewat ilmu pengetahuan, sejarah, bahkan nilai-nilai kemanusiaan modern.

Jika Syaltut berpijak pada fondasi ortodoksi yang diperkuat rasionalitas, maka al-Ghazali membangun jembatan antara nash dan realitas kekinian. Keduanya sama-sama menghadirkan wajah Islam yang tidak kaku, tetapi tetap bertanggung jawab terhadap teks dan akal.


Penutup: Merawat Tradisi, Merajut Konteks

Syekh Mahmud Syaltut dan Muhammad al-Ghazali adalah dua tokoh yang telah meletakkan batu penjuru penting dalam studi hadis modern. Keduanya mengajarkan kita untuk **tidak hanya bertaklid kepada teks, tetapi juga membacanya dengan cermat, adil, dan kontekstual**.

Di tengah dunia yang terus berubah, pendekatan mereka memberi inspirasi bahwa memahami hadis bukan sekadar menghafal riwayat, tetapi menyalakan nalar, menyelami makna, dan menyatukan nilai-nilai Islam dengan kemanusiaan.

> “Ilmu hadis akan terus hidup selama ia bersanding dengan Al-Qur’an dan akal.” — Semangat ini seakan menjadi pesan tak langsung dari keduanya.

Mengenal Sejarah dan Perkembangan PPPK, Solusi ASN Modern di Tahun 2025

Mengenal Sejarah dan Perkembangan PPPK, Solusi ASN Modern di Tahun 2025

 Mengenal Sejarah dan Perkembangan PPPK

Solusi ASN Modern di Tahun 2025

PPPK: Kehadiran PPPK bukan hanya menjadi solusi bagi tenaga honorer yang menanti kejelasan status, tetapi juga merupakan bagian penting dari reformasi birokrasi nasional.



gudangmakalah165.blogspot.com - Dalam beberapa tahun terakhir, istilah PPPK atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja semakin sering terdengar, terutama di kalangan tenaga pendidik dan tenaga kesehatan. 

Kehadiran PPPK bukan hanya menjadi solusi bagi tenaga honorer yang menanti kejelasan status, tetapi juga merupakan bagian penting dari reformasi birokrasi nasional. 

Di tahun 2025, sistem PPPK bahkan menjadi tumpuan utama pemerintah dalam memenuhi kebutuhan aparatur sipil negara yang profesional dan kompeten.

Apa Itu PPPK?

PPPK adalah aparatur sipil negara yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu. 



Berbeda dengan PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang memiliki status kepegawaian tetap, PPPK bekerja berdasarkan kontrak dengan pemerintah, namun tetap mendapatkan hak dan kewajiban yang hampir setara, seperti gaji, tunjangan, dan jaminan kerja sesuai peraturan perundang-undangan.

Sejarah Singkat PPPK di Indonesia

1. Muncul dalam UU ASN Tahun 2014

Awal mula keberadaan PPPK ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Dalam undang-undang ini, sistem ASN diklasifikasikan menjadi dua jenis:

PNS (Pegawai Negeri Sipil)
PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja)



Tujuan utamanya adalah menciptakan sistem birokrasi yang lebih fleksibel, akuntabel, dan berbasis kompetensi, serta membuka kesempatan bagi tenaga profesional non-PNS untuk turut membangun pelayanan publik.

2. Implementasi Bertahap Mulai 2019

Meski UU ASN disahkan pada 2014, pelaksanaan rekrutmen PPPK baru benar-benar dimulai pada tahun 2019. Fokus awal adalah untuk mengangkat tenaga honorer, terutama dari kalangan:

Guru
Tenaga kesehatan
Penyuluh pertanian

Langkah ini merupakan respons terhadap kebutuhan pegawai di berbagai daerah, sekaligus solusi bagi persoalan klasik tenaga honorer yang mengabdi bertahun-tahun tanpa kejelasan status.

3. Perluasan Skema dan Peraturan Teknis

Untuk memperkuat pelaksanaannya, pemerintah menerbitkan PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK, disusul peraturan teknis dari Kemenpan-RB dan BKN. 



Di antaranya mengatur proses rekrutmen, penilaian kinerja, perpanjangan kontrak, dan hak-hak PPPK.

Kondisi PPPK Tahun 2025: Fokus Penyelesaian Honorer dan Kebutuhan Nasional

Memasuki tahun 2025, kebijakan terkait PPPK semakin mengerucut sebagai strategi utama pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan tenaga honorer K2 dan memenuhi kebutuhan aparatur negara tanpa menambah beban anggaran pensiun.

Beberapa Hal Menonjol di Tahun 2025:

Prioritas Penyelesaian Tenaga Honorer: Pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah mempercepat pengangkatan honorer, khususnya guru dan tenaga medis, menjadi PPPK.

Rekrutmen Nasional Terintegrasi: Rekrutmen PPPK dilakukan secara nasional berbasis kebutuhan riil, dengan seleksi berbasis CAT (Computer Assisted Test).



Digitalisasi Manajemen ASN: Pengelolaan PPPK mulai terintegrasi dengan sistem digital ASN nasional, sehingga lebih efisien dan transparan.

Evaluasi Perpanjangan Kontrak Lebih Ketat: Kontrak PPPK tetap bisa diperpanjang, tetapi berbasis kinerja dan kebutuhan instansi.

Apa Saja Keuntungan Menjadi PPPK?

Bagi banyak tenaga honorer dan profesional, menjadi PPPK memiliki beberapa kelebihan, di antaranya:

Status yang Jelas sebagai ASN meskipun bukan PNS
Gaji dan tunjangan sesuai standar pemerintah
Peluang karier terbuka selama memenuhi kinerja
Proses seleksi transparan dan nasional
Tidak terikat usia maksimal seperti CPNS pada beberapa formasi

Namun, penting juga untuk dipahami bahwa hingga saat ini PPPK belum mendapatkan hak pensiun seperti PNS, meskipun sudah ada wacana dan kajian kebijakan untuk mengatasi hal ini di masa depan.

Kesimpulan: PPPK adalah Solusi Masa Kini ASN

PPPK adalah jawaban atas kebutuhan tenaga kerja profesional dalam pemerintahan yang cepat, efisien, dan berbasis kompetensi. 

Di tahun 2025, sistem PPPK menjadi tumpuan penting dalam reformasi birokrasi sekaligus solusi konkret atas tumpukan persoalan tenaga honorer di Indonesia.

Dengan terus berkembangnya sistem digital dan regulasi ASN, PPPK diharapkan tidak lagi dipandang sebagai status "kedua" setelah PNS, tetapi sebagai mitra profesional sejajar yang berkontribusi besar dalam pelayanan publik.