--> Fragmen Ilmiah | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Fragmen Ilmiah

Nyaris Informasi, Hampir Fakta

Total Tayangan Halaman

04/06/25

Adab dan Tata Cara Menyambut Hari Raya Idul Adha: Panduan Spiritual dan Praktis

Adab dan Tata Cara Menyambut Hari Raya Idul Adha: Panduan Spiritual dan Praktis

Adab dan Tata Cara Menyambut Hari Raya Idul Adha: 

Panduan Spiritual dan Praktis

"Ilustrasi digital suasana Hari Raya Idul Adha, menampilkan umat Islam menuju shalat Ied di tanah lapang dengan latar belakang fajar cerah."


fragmenilmiah.com - Hari Raya Idul Adha, yang diperingati pada 10 Dzulhijjah, adalah momen penuh makna spiritual yang mengenang ketaatan Nabi Ibrahim AS dalam melaksanakan perintah Allah untuk berkurban. 

Selain menjadi puncak ibadah haji, Idul Adha juga merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk memperkuat keimanan melalui adab-adab mulia dan amalan sunnah. 

Artikel ini menguraikan adab-adab menyambut Idul Adha secara semi-ilmiah, merujuk pada hadis dan ajaran syariat, serta memberikan panduan praktis untuk menjalani hari raya dengan penuh keberkahan.

Mandi dan Berpakaian Terbaik di Hari Idul Adha
Salah satu adab utama menyambut Idul Adha adalah mandi sebelum berangkat ke tempat shalat Ied. 

Mandi ini mencerminkan kesucian fisik dan batin, sebagaimana dianjurkan dalam tradisi Rasulullah SAW. 



Selain itu, umat Islam disunnahkan memakai pakaian terbaik dan minyak wangi bagi laki-laki untuk menunjukkan syukur dan kebahagiaan. 

Namun, wanita dilarang menggunakan wewangian di tempat umum, kecuali untuk suami mereka, guna menjaga kesopanan. 

Dalam perspektif sosiologis, adab ini memperkuat identitas keagamaan dan semangat kebersamaan di hari Idul Adha.

Memperbanyak Takbir: Syiar Idul Adha

Memperbanyak takbir adalah adab penting di Idul Adha, yang terbagi menjadi dua bentuk: muthlaq (umum) dan muqayyad (terikat waktu). 

Takbir muthlaq dilakukan kapan saja mulai 1 Dzulhijjah hingga akhir Hari Tasyrik (13 Dzulhijjah), kecuali di tempat terlarang seperti kamar mandi. 



Takbir muqayyad dilakukan setelah shalat lima waktu, mulai ba’da Subuh Hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga ba’da Ashar akhir Hari Tasyrik. 

Laki-laki disunnahkan mengeraskan takbir, sementara wanita memelankannya. Takbir di perjalanan menuju shalat Ied juga dianjurkan, mencerminkan syiar Idul Adha yang mengagungkan Allah.

Tidak Makan Sebelum Shalat Idul Adha

Berbeda dengan Idul Fitri, pada Idul Adha, orang yang berkurban disunnahkan untuk tidak makan sebelum kembali dari shalat Ied. 

Hal ini bertujuan agar daging kurban menjadi makanan pertama, melambangkan keikhlasan dalam berkurban. 

Namun, bagi yang tidak berkurban, tidak ada larangan untuk makan sebelum shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Mughni (2:228). 



Dalam konteks psikologis, menahan makan hingga selesai shalat dapat melatih kesabaran dan fokus spiritual, yang selaras dengan semangat Idul Adha sebagai hari pengorbanan.

Salat Ied di Tanah Lapang

Salat Ied pada Idul Adha lebih utama dilaksanakan di tanah lapang daripada di masjid, mengikuti sunnah Rasulullah SAW yang hanya melaksanakan shalat Ied di masjid saat hujan. 

Tradisi ini mencerminkan syiar Islam dan kebersamaan umat. Jika tidak ada tanah lapang, shalat di masjid diperbolehkan. 

Wanita dan anak-anak juga dianjurkan hadir tanpa tabarruj (menampakkan kecantikan) atau wewangian, menunjukkan inklusivitas Idul Adha dalam memperkuat solidaritas komunitas.

Adab Perjalanan dan Khutbah Idul Adha

Umat Islam disunnahkan berjalan kaki menuju tempat shalat Idul Adha kecuali ada kebutuhan khusus, serta mengambil jalan berbeda saat berangkat dan pulang untuk menampakkan syiar Islam. 



Setelah shalat, mendengarkan khutbah Ied adalah sunnah, memberikan pelajaran spiritual dan sosial. 

Tidak ada shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat Ied, kecuali tahiyyatul masjid jika shalat dilakukan di masjid. 

Bagi yang tertinggal shalat Ied berjamaah, disunnahkan menggantinya dengan dua rakaat, menjaga nilai ibadah Idul Adha.

Ucapan Selamat dan Silaturahmi di Idul Adha

Mengucapkan selamat hari raya dengan kalimat “Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima amal kita dan amalmu) adalah adab yang dianjurkan pada Idul Adha. 

Ucapan ini dijawab dengan kalimat serupa, mencerminkan doa saling mendoakan kebaikan. Silaturahmi dan bersenang-senang dengan cara halal, seperti pesta atau permainan yang sesuai syariat, juga diperbolehkan. 

Anak perempuan yang belum baligh boleh menyanyi dengan rebana, satu-satunya alat musik yang dibolehkan, untuk menambah kegembiraan Idul Adha.

Menjaga Batas Syariat di Hari Idul Adha

Penting untuk menjaga adab dengan menghindari ikhtilat (bercampur baur) atau berjabat tangan dengan non-mahram, sebagaimana hadis riwayat Ar-Ruyany (no. 1282) dan dishahihkan Al-Albani: “Andaikata kepala seseorang ditusuk jarum besi, itu lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” 

Adab ini menegaskan pentingnya menjaga kesucian interaksi sosial di hari Idul Adha, memastikan perayaan tetap sesuai syariat dan penuh keberkahan.

Makna Lebih Dalam Idul Adha

Dari perspektif semi-ilmiah, adab-adab Idul Adha tidak hanya ritual, tetapi juga memiliki dampak psikologis dan sosiologis. 

Takbir dan silaturahmi memperkuat rasa kebersamaan dan identitas keagamaan, sementara menahan makan atau menjaga batas interaksi melatih pengendalian diri. 

Penelitian psikologi positif menunjukkan bahwa praktik seperti dzikir dan silaturahmi dapat meningkatkan kesejahteraan emosional, selaras dengan tujuan spiritual Idul Adha untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mempererat ukhuwah.

Panduan Praktis Menyambut Idul Adha

Untuk menyambut Idul Adha dengan penuh keberkahan, lakukan langkah-langkah berikut:

Mandi dan Berpakaian Terbaik: Mandi sebelum shalat Ied dan pakai pakaian terbaik tanpa melanggar syariat.

Perbanyak Takbir: Ucapkan takbir muthlaq dan muqayyad sesuai waktu yang ditentukan.

Puasa Sebelum Kurban: Jika berkurban, tunda makan hingga setelah shalat Ied.

Salat dan Khutbah: Hadiri shalat Ied di tanah lapang, dengarkan khutbah, dan ambil jalan berbeda saat pulang.
Silaturahmi dan Ucapan Selamat: Ucapkan “Taqabbalallahu minna wa minka” dan pererat silaturahmi dengan cara halal.
Jaga Batas Syariat: Hindari ikhtilat dan perbuatan yang tidak sesuai syariat.

Hari Raya Idul Adha adalah momen untuk mengenang ketaatan Nabi Ibrahim AS dan memperkuat keimanan melalui adab-adab mulia. 

Dengan menjalankan takbir, shalat Ied, kurban, dan silaturahmi sesuai syariat, umat Islam dapat meraih keberkahan spiritual dan sosial. 

Referensi:
Hadis riwayat Ar-Ruyany no. 1282, Ath-Thabrani 20/no. 486-487, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 4544.
Al-Mughni 2:228.
Al-Qur’an dan sunnah terkait adab Idul Adha.

Peristiwa-Peristiwa Istimewa di 10 Hari Awal Dzulhijjah: Makna dan Amalan

Peristiwa-Peristiwa Istimewa di 10 Hari Awal Dzulhijjah: Makna dan Amalan

Peristiwa-Peristiwa Istimewa di 10 Hari Awal Dzulhijjah

Makna dan Amalan

"Ilustrasi digital suasana spiritual 10 hari awal Dzulhijjah, menampilkan Padang Arafah dan Mina di bawah langit senja yang hangat."

fragmenilmiah.com - Sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah periode yang sangat istimewa dalam Islam, ditandai oleh peristiwa-peristiwa profetik yang penuh makna spiritual dan keutamaan ibadah yang luar biasa. 

Dari taubat Nabi Adam AS hingga pengorbanan Nabi Ibrahim AS, Dzulhijjah menjadi momen refleksi, ketaatan, dan kedekatan dengan Allah SWT. 

Artikel ini mengulas peristiwa-peristiwa penting di awal Dzulhijjah secara semi-ilmiah, merujuk pada Al-Qur’an dan hadis, serta memberikan panduan praktis untuk mengoptimalkan ibadah di periode ini.

Taubat Nabi Adam AS di Awal Dzulhijjah

Pada tanggal 1 Dzulhijjah, Allah SWT menerima taubat Nabi Adam AS setelah ia diturunkan ke bumi. 

Peristiwa ini menandai rahmat Allah yang luas, memberikan harapan kepada umat manusia untuk kembali kepada-Nya melalui taubat. 



Dalam konteks teologis, peristiwa ini mengajarkan bahwa Dzulhijjah adalah waktu yang tepat untuk introspeksi dan memohon ampunan. 

Secara psikologis, taubat dapat dipahami sebagai proses katarsis yang membantu meredakan beban emosional, meningkatkan kesejahteraan mental sebagaimana diteliti dalam psikologi positif.

Keselamatan Nabi Yunus AS pada 2 Dzulhijjah

Tanggal 2 Dzulhijjah menjadi momen ketika Nabi Yunus AS diselamatkan dari perut ikan setelah berdoa dengan penuh penyesalan (Yunus: 10:87). 

Peristiwa ini menegaskan kekuatan doa dan ketergantungan kepada Allah dalam menghadapi kesulitan. 

Dalam Dzulhijjah, peristiwa ini menginspirasi umat Islam untuk memperbanyak doa, terutama untuk kebaikan dunia dan akhirat. 



Penelitian neurosains menunjukkan bahwa doa dan dzikir dapat mengaktifkan area otak yang terkait dengan ketenangan, mendukung makna spiritual dari peristiwa ini.

Doa Nabi Zakaria AS pada 3 Dzulhijjah
Pada 3 Dzulhijjah, doa Nabi Zakaria AS untuk mendapatkan keturunan dikabulkan oleh Allah, yang kemudian menghadiahkannya Nabi Yahya AS (Ali Imran: 3:38-39). 

Peristiwa ini mencerminkan keajaiban doa yang tulus di waktu-waktu mustajab. 

Dalam konteks Dzulhijjah, umat Islam diajak untuk memanfaatkan periode ini untuk berdoa dengan keyakinan penuh, sebagaimana Nabi Zakaria menunjukkan ketabahan dan harapan. 

Doa di periode ini memiliki nilai spiritual tinggi, sekaligus manfaat psikologis dalam membangun optimisme.

Kelahiran Nabi Isa AS pada 4 Dzulhijjah

Tanggal 4 Dzulhijjah diperingati sebagai hari kelahiran Nabi Isa AS, sebuah peristiwa yang menandakan rahmat Allah melalui kelahiran seorang nabi besar (Maryam: 19:16-21). 



Kelahiran ini mengingatkan umat Islam akan keajaiban kuasa Allah dan pentingnya bersyukur. 

Dalam Dzulhijjah, peristiwa ini mendorong umat untuk memperbanyak tahmid (Alhamdulillah) sebagai bentuk syukur. 

Secara sosiologis, perayaan kelahiran nabi memperkuat identitas keagamaan dan solidaritas umat.

Kelahiran Nabi Musa AS pada 5 Dzulhijjah

Pada 5 Dzulhijjah, Nabi Musa AS dilahirkan, menandai anugerah Allah kepada Bani Israil melalui seorang nabi yang menjadi penyelamat (Al-Qasas: 28:7-13). 

Peristiwa ini menegaskan bahwa Dzulhijjah adalah waktu penuh keberkahan, di mana Allah menunjukkan kasih sayang-Nya melalui kelahiran para nabi. 

Umat Islam diajak untuk merenungkan kisah Nabi Musa, yang penuh dengan pelajaran tentang ketabahan dan keimanan, serta memperbanyak dzikir untuk mengagungkan Allah.

Hari Tarwiyah: Refleksi Nabi Ibrahim AS pada 8 Dzulhijjah

Pada 8 Dzulhijjah, dikenal sebagai Hari Tarwiyah, Nabi Ibrahim AS menerima perintah melalui mimpi untuk mengorbankan putranya. 

Ia merenung (tarawwa) apakah mimpi itu dari Allah atau setan, yang menjadi asal usul nama "Tarwiyah" (hari perenungan). 

Peristiwa ini mengajarkan pentingnya refleksi spiritual dan ketaatan penuh. 

Dalam Dzulhijjah, Hari Tarwiyah menjadi waktu untuk puasa sunnah dan dzikir, seperti “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar”, yang membantu menenangkan pikiran dan memperkuat hubungan dengan Allah.

Hari Arafah dan Hari Nahr: Puncak Pengorbanan di Dzulhijjah

Pada 9 Dzulhijjah (Hari Arafah), Nabi Ibrahim AS memastikan (‘arafa) bahwa perintah dalam mimpinya berasal dari Allah, menegaskan ketaatannya. 

Hari ini adalah puncak ibadah haji dengan wukuf di Arafah, di mana doa sangat mustajab. 

Pada 10 Dzulhijjah (Hari Nahr), Ibrahim melaksanakan nadzarnya untuk menyembelih Ismail AS, tetapi Allah menggantikannya dengan domba melalui Malaikat Jibril, yang mengumandangkan “Allahu Akbar” tiga kali. Ibrahim menyahut, “La Ilaha Illallah, Wallahu Akbar,” dan Ismail menyahut, “Allahu Akbar, Wa Lillahilhamd.” 

Dzikir ini diabadikan hingga kini, terutama selama Hari Tasyrik. Allah berfirman dalam Surah Al-Kautsar ayat 2: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkorbanlah.”

Keutamaan Amalan di Dzulhijjah

Keistimewaan sepuluh hari awal Dzulhijjah ditegaskan dalam hadis riwayat Tirmidzi: “Tidak ada hari-hari yang lebih disukai Allah untuk beribadah kepadanya selain sepuluh hari Dzulhijjah.” 

Hadis ini dilanjutkan bahwa puasa setiap hari setara dengan puasa setahun, dan shalat malam setara dengan ibadah Lailatul Qadar (I’anatut Thalibin 2/266). 

Dalam perspektif ilmiah, amalan seperti puasa dan dzikir memiliki manfaat psikologis, seperti meningkatkan ketenangan dan fokus mental, sebagaimana diteliti dalam studi neurosains tentang meditasi.

Panduan Praktis Menyambut Dzulhijjah

Untuk memaksimalkan keutamaan Dzulhijjah, berikut adalah panduan praktis:

Puasa Sunnah: Lakukan puasa pada Hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah) dan Hari Arafah (9 Dzulhijjah) dengan niat:  
Tarwiyah: “Nawaitu shauma Tarwiyah sunnatan lillahi ta’ala.”  
Arafah: “Nawaitu shauma Arafah sunnatan lillahi ta’ala.”

Dzikir dan Takbir: Ucapkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Wa Lillahilhamd” setelah shalat fardhu hingga Hari Tasyrik.  
Doa dan Taubat: Berdoa dengan tulus, mengambil inspirasi dari doa Nabi Zakaria dan taubat Nabi Adam.  

Salat dan Qurban: Dirikan shalat dengan khusyuk dan laksanakan qurban pada Hari Nahr sebagai wujud pengorbanan.  

Refleksi Spiritual: Renungkan kisah-kisah para nabi untuk memperkuat iman dan ketaatan.

Makna Lebih Dalam Dzulhijjah

Peristiwa-peristiwa di Dzulhijjah menunjukkan tema rahmat, pengorbanan, dan ketaatan. 

Kisah Nabi Ibrahim AS mengajarkan keikhlasan, sementara peristiwa profetik lainnya menegaskan kasih sayang Allah. 

Dalam konteks psikologi, amalan seperti puasa dan dzikir dapat meningkatkan kesejahteraan emosional, sementara secara sosiologis, tradisi takbir dan qurban memperkuat solidaritas umat. 

Periode ini menjadi waktu untuk memperbarui komitmen spiritual dan memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama.

Sepuluh hari awal Dzulhijjah adalah anugerah besar, ditandai oleh peristiwa-peristiwa profetik yang menginspirasi, dari taubat Nabi Adam hingga pengorbanan Nabi Ibrahim. 

Dengan puasa, dzikir, doa, dan qurban, umat Islam dapat meraih keberkahan periode ini. 

Referensi:
Al-Qur’an: Surah Al-Kautsar: 2, Yunus: 10:87, Ali Imran: 3:38-39, Maryam: 19:16-21, Al-Qasas: 28:7-13.
Hadis riwayat Tirmidzi tentang keutamaan Dzulhijjah.
I’anatut Thalibin 2/266.



Hari Tarwiyah: Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Keberkahan

Hari Tarwiyah: Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Keberkahan

Hari Tarwiyah

Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Keberkahan

"Ilustrasi digital seorang Muslim berdoa khusyuk di bawah langit pagi yang cerah pada Hari Tarwiyah, dengan latar belakang pemandangan Mina dan tenda-tenda haji sederhana."

fragmenilmiah.com - Hari Tarwiyah, yang jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah, menandai salah satu momen istimewa dalam sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah yang penuh keutamaan. 

Pada tahun 2025, seluruh organisasi Islam di Indonesia sepakat bahwa Idul Adha akan diperingati pada hari Jumat, 6 Juni 2025, sehingga Hari Tarwiyah akan diperingati sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 5 Juni 2025.

Hari Tarwiyah menjadi waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan shaleh, terutama puasa sunnah, sebagai wujud ketaatan dan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Artikel ini akan membahas makna dan keutamaan Hari Tarwiyah secara semi-ilmiah, dengan merujuk pada hadis serta panduan praktis untuk mengoptimalkan ibadah.

Makna Hari Tarwiyah dalam Tradisi Islam

Hari Tarwiyah secara etimologis berasal dari kata Arab “tarwiyah,” yang berarti “menyediakan air” atau “berpikir dan merenung.” 



Dalam konteks haji, hari ini adalah saat jamaah haji mempersiapkan diri untuk wukuf di Arafah, termasuk menyediakan air untuk perjalanan mereka. 

Secara spiritual, Hari Tarwiyah mengajak umat Islam untuk merenungkan tujuan hidup mereka dan memperkuat hubungan dengan Allah. 

Dalam perspektif teologis, hari ini menjadi simbol persiapan batin untuk menyambut puncak ibadah haji, sekaligus kesempatan bagi umat Islam non-haji untuk memperbanyak amalan shaleh.

Keutamaan Sepuluh Hari Awal Dzulhijjah

Hari Tarwiyah termasuk dalam sepuluh hari awal Dzulhijjah, yang memiliki keistimewaan luar biasa. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Ahmad (no. 1867):



“Tidak ada satu hari pun yang amalan shaleh di dalamnya lebih disukai Allah Azza Wa Jalla daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah...”

Hadis ini menegaskan bahwa amalan shaleh di Hari Tarwiyah dan hari-hari awal Dzulhijjah memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Allah. 

Bahkan, keutamaan amalan ini melebihi jihad fi sabilillah, kecuali jihad yang dilakukan dengan pengorbanan jiwa dan harta secara total. 

Dalam kajian ilmiah, konsep ini dapat dipahami sebagai penekanan pada pentingnya memanfaatkan waktu-waktu tertentu untuk memperkuat komitmen spiritual, yang selaras dengan teori psikologi tentang pentingnya momen reflektif untuk pembentukan kebiasaan positif.

Puasa Sunnah Hari Tarwiyah

Salah satu amalan utama yang dianjurkan pada Hari Tarwiyah adalah puasa sunnah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, disebutkan:

“Puasa hari Tarwiyah menghapus dosa satu tahun, dan puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”

Meskipun hadis ini dikategorikan sebagai dhaif (lemah) oleh sebagian ulama, para ulama memperbolehkan pengamalan hadis dhaif dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amalan), selama tidak berkaitan dengan aqidah atau hukum syariat. 



Oleh karena itu, puasa di Hari Tarwiyah tetap dianjurkan sebagai bentuk ibadah yang mendatangkan kebaikan.

Puasa ini bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih pengendalian diri dan keikhlasan, yang memiliki manfaat psikologis seperti peningkatan kesadaran diri dan ketenangan batin, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian neurosains tentang praktik puasa.

Keutamaan Puasa dalam Hadis Shahih

Selain hadis dhaif di atas, keutamaan puasa secara umum diperkuat oleh hadis shahih riwayat Bukhari (no. 2628), yang menyatakan:

“Barang siapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh musim.”

Hadis ini menegaskan bahwa puasa, termasuk pada Hari Tarwiyah, memiliki dampak spiritual yang luar biasa, yaitu menjauhkan pelakunya dari siksa neraka. 

Dalam konteks ilmiah, puasa dapat dianggap sebagai praktik yang meningkatkan disiplin diri dan kesehatan mental, yang mendukung tujuan spiritual untuk mencapai ridha Allah. 

Penting untuk menjaga niat puasa agar tetap ikhlas, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan untuk tujuan duniawi seperti kesehatan fisik semata.

Amalan Lain di Hari Tarwiyah

Selain puasa, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amalan shaleh lainnya di Hari Tarwiyah, seperti dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, dan sedekah. 

Dzikir, misalnya, dapat berupa pengulangan kalimat thayyibah seperti “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar”, yang membantu menenangkan pikiran dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. 

Dalam perspektif psikologi positif, praktik dzikir memiliki efek serupa dengan meditasi, yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. 

Membaca Al-Qur’an juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, sekaligus memperdalam pemahaman tentang nilai-nilai Islam.

Panduan Praktis Menyambut Hari Tarwiyah

Untuk memaksimalkan keutamaan Hari Tarwiyah, berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan:

Niat Puasa yang Ikhlas: Niat puasa sunnah Tarwiyah adalah:  

“Nawaitu shauma Tarwiyah sunnatan lillahi ta’ala.”(Artinya: Saya niat puasa Tarwiyah, sunnah karena Allah Ta’ala.)Pastikan niat dilakukan dengan tulus untuk mencari ridha Allah.

Persiapan Fisik dan Mental: Pastikan tubuh terhidrasi dengan baik sebelum puasa, dan siapkan hati dengan membaca literatur keagamaan atau mendengarkan tausiyah.

Memperbanyak Dzikir dan Doa: Luangkan waktu untuk berdzikir, terutama setelah shalat, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Membaca Al-Qur’an: Sisihkan waktu untuk membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan keutamaan Dzulhijjah.

Refleksi Diri: Gunakan Hari Tarwiyah sebagai momen untuk mengevaluasi diri dan memperbaiki hubungan dengan Allah serta sesama manusia.

Makna Lebih Dalam Hari Tarwiyah

Hari Tarwiyah bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang persiapan batin untuk menyambut Hari Arafah dan Idul Adha. 

Dalam konteks sosiologis, amalan kolektif seperti puasa dan dzikir di hari ini memperkuat solidaritas umat Islam, menciptakan rasa kebersamaan dalam menjalani nilai-nilai keagamaan. 

Dari perspektif ilmiah, praktik seperti puasa dan dzikir memiliki manfaat psikologis, seperti meningkatkan ketenangan batin dan fokus mental, yang mendukung tujuan spiritual untuk mencapai kedekatan dengan Allah.

Hari Tarwiyah adalah kesempatan emas untuk memperbanyak amalan shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Dengan melaksanakan puasa sunnah, dzikir, doa, dan membaca Al-Qur’an, umat Islam dapat meraih keutamaan yang dijanjikan dalam hadis. 

Mari sambut Hari Tarwiyah pada 5 Juni 2025 dengan hati yang penuh syukur dan niat yang ikhlas. 

Referensi:
Hadis riwayat Ahmad, no. 1867.
Hadis riwayat Bukhari, no. 2628.
Al-Qur’an dan literatur terkait keutamaan Dzulhijjah.