--> Fragmen Ilmiah : Hasil penelusuran untuk Arab | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Nyaris Informasi, Hampir Fakta

Total Tayangan Halaman

Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Arab. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut tanggal untuk kueri Arab. Urutkan menurut relevansi Tampilkan semua postingan

04/06/25

Hari Tarwiyah: Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Keberkahan

Hari Tarwiyah: Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Keberkahan

Hari Tarwiyah

Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Keberkahan

"Ilustrasi digital seorang Muslim berdoa khusyuk di bawah langit pagi yang cerah pada Hari Tarwiyah, dengan latar belakang pemandangan Mina dan tenda-tenda haji sederhana."


fragmenilmiah.com - Hari Tarwiyah, yang jatuh pada tanggal 8 Dzulhijjah, menandai salah satu momen istimewa dalam sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah yang penuh keutamaan. 

Pada tahun 2025, seluruh organisasi Islam di Indonesia sepakat bahwa Idul Adha akan diperingati pada hari Jumat, 6 Juni 2025, sehingga Hari Tarwiyah akan diperingati sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 5 Juni 2025.

Hari Tarwiyah menjadi waktu yang sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan shaleh, terutama puasa sunnah, sebagai wujud ketaatan dan upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Artikel ini akan membahas makna dan keutamaan Hari Tarwiyah secara semi-ilmiah, dengan merujuk pada hadis serta panduan praktis untuk mengoptimalkan ibadah.

Makna Hari Tarwiyah dalam Tradisi Islam

Hari Tarwiyah secara etimologis berasal dari kata Arab “tarwiyah,” yang berarti “menyediakan air” atau “berpikir dan merenung.” 



Dalam konteks haji, hari ini adalah saat jamaah haji mempersiapkan diri untuk wukuf di Arafah, termasuk menyediakan air untuk perjalanan mereka. 

Secara spiritual, Hari Tarwiyah mengajak umat Islam untuk merenungkan tujuan hidup mereka dan memperkuat hubungan dengan Allah. 

Dalam perspektif teologis, hari ini menjadi simbol persiapan batin untuk menyambut puncak ibadah haji, sekaligus kesempatan bagi umat Islam non-haji untuk memperbanyak amalan shaleh.

Keutamaan Sepuluh Hari Awal Dzulhijjah

Hari Tarwiyah termasuk dalam sepuluh hari awal Dzulhijjah, yang memiliki keistimewaan luar biasa. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Ahmad (no. 1867):



“Tidak ada satu hari pun yang amalan shaleh di dalamnya lebih disukai Allah Azza Wa Jalla daripada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah...”

Hadis ini menegaskan bahwa amalan shaleh di Hari Tarwiyah dan hari-hari awal Dzulhijjah memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Allah. 

Bahkan, keutamaan amalan ini melebihi jihad fi sabilillah, kecuali jihad yang dilakukan dengan pengorbanan jiwa dan harta secara total. 

Dalam kajian ilmiah, konsep ini dapat dipahami sebagai penekanan pada pentingnya memanfaatkan waktu-waktu tertentu untuk memperkuat komitmen spiritual, yang selaras dengan teori psikologi tentang pentingnya momen reflektif untuk pembentukan kebiasaan positif.

Puasa Sunnah Hari Tarwiyah

Salah satu amalan utama yang dianjurkan pada Hari Tarwiyah adalah puasa sunnah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, disebutkan:

“Puasa hari Tarwiyah menghapus dosa satu tahun, dan puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun.”

Meskipun hadis ini dikategorikan sebagai dhaif (lemah) oleh sebagian ulama, para ulama memperbolehkan pengamalan hadis dhaif dalam konteks fadha’ilul a’mal (keutamaan amalan), selama tidak berkaitan dengan aqidah atau hukum syariat. 



Oleh karena itu, puasa di Hari Tarwiyah tetap dianjurkan sebagai bentuk ibadah yang mendatangkan kebaikan.

Puasa ini bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih pengendalian diri dan keikhlasan, yang memiliki manfaat psikologis seperti peningkatan kesadaran diri dan ketenangan batin, sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian neurosains tentang praktik puasa.

Keutamaan Puasa dalam Hadis Shahih

Selain hadis dhaif di atas, keutamaan puasa secara umum diperkuat oleh hadis shahih riwayat Bukhari (no. 2628), yang menyatakan:

“Barang siapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh musim.”

Hadis ini menegaskan bahwa puasa, termasuk pada Hari Tarwiyah, memiliki dampak spiritual yang luar biasa, yaitu menjauhkan pelakunya dari siksa neraka. 

Dalam konteks ilmiah, puasa dapat dianggap sebagai praktik yang meningkatkan disiplin diri dan kesehatan mental, yang mendukung tujuan spiritual untuk mencapai ridha Allah. 

Penting untuk menjaga niat puasa agar tetap ikhlas, semata-mata untuk mengharap ridha Allah, bukan untuk tujuan duniawi seperti kesehatan fisik semata.

Amalan Lain di Hari Tarwiyah

Selain puasa, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak amalan shaleh lainnya di Hari Tarwiyah, seperti dzikir, doa, membaca Al-Qur’an, dan sedekah. 

Dzikir, misalnya, dapat berupa pengulangan kalimat thayyibah seperti “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar”, yang membantu menenangkan pikiran dan memperkuat hubungan spiritual dengan Allah. 

Dalam perspektif psikologi positif, praktik dzikir memiliki efek serupa dengan meditasi, yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional. 

Membaca Al-Qur’an juga menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, sekaligus memperdalam pemahaman tentang nilai-nilai Islam.

Panduan Praktis Menyambut Hari Tarwiyah

Untuk memaksimalkan keutamaan Hari Tarwiyah, berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan:

Niat Puasa yang Ikhlas: Niat puasa sunnah Tarwiyah adalah:  

“Nawaitu shauma Tarwiyah sunnatan lillahi ta’ala.”(Artinya: Saya niat puasa Tarwiyah, sunnah karena Allah Ta’ala.)Pastikan niat dilakukan dengan tulus untuk mencari ridha Allah.

Persiapan Fisik dan Mental: Pastikan tubuh terhidrasi dengan baik sebelum puasa, dan siapkan hati dengan membaca literatur keagamaan atau mendengarkan tausiyah.

Memperbanyak Dzikir dan Doa: Luangkan waktu untuk berdzikir, terutama setelah shalat, dan berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat.

Membaca Al-Qur’an: Sisihkan waktu untuk membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an, terutama yang berkaitan dengan keutamaan Dzulhijjah.

Refleksi Diri: Gunakan Hari Tarwiyah sebagai momen untuk mengevaluasi diri dan memperbaiki hubungan dengan Allah serta sesama manusia.

Makna Lebih Dalam Hari Tarwiyah

Hari Tarwiyah bukan hanya tentang ritual ibadah, tetapi juga tentang persiapan batin untuk menyambut Hari Arafah dan Idul Adha. 

Dalam konteks sosiologis, amalan kolektif seperti puasa dan dzikir di hari ini memperkuat solidaritas umat Islam, menciptakan rasa kebersamaan dalam menjalani nilai-nilai keagamaan. 

Dari perspektif ilmiah, praktik seperti puasa dan dzikir memiliki manfaat psikologis, seperti meningkatkan ketenangan batin dan fokus mental, yang mendukung tujuan spiritual untuk mencapai kedekatan dengan Allah.

Hari Tarwiyah adalah kesempatan emas untuk memperbanyak amalan shaleh dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Dengan melaksanakan puasa sunnah, dzikir, doa, dan membaca Al-Qur’an, umat Islam dapat meraih keutamaan yang dijanjikan dalam hadis. 

Mari sambut Hari Tarwiyah pada 5 Juni 2025 dengan hati yang penuh syukur dan niat yang ikhlas. 

Referensi:
Hadis riwayat Ahmad, no. 1867.
Hadis riwayat Bukhari, no. 2628.
Al-Qur’an dan literatur terkait keutamaan Dzulhijjah.


Hari Arafah: Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Ampunan

Hari Arafah: Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Ampunan

Hari Arafah

Makna dan Amalan Mulia untuk Meraih Ampunan

"Ilustrasi digital seorang Muslim berdoa khusyuk di bawah langit senja dengan latar belakang Padang Arafah yang luas, menampilkan tenda-tenda haji dan bukit Jabal Rahmah. Simbol keagamaan seperti Al-Qur’an, tasbih, dan kaligrafi Arab 'Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalahu' menghiasi gambar."


fragmenilmiah.com - Hari Arafah, yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, adalah salah satu momen paling istimewa dalam kalender Islam. 

Hari ini memiliki makna spiritual yang mendalam, terutama karena dianggap sebagai puncak ibadah haji, di mana jamaah haji melaksanakan wukuf di Padang Arafah. 

Namun, bagi umat Islam yang tidak sedang menunaikan haji, Hari Arafah tetap menjadi kesempatan emas untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui amalan-amalan mulia seperti puasa, doa, dan dzikir. 

Artikel ini akan membahas keutamaan Hari Arafah secara semi-ilmiah, mengacu pada hadis-hadis sahih, serta memberikan panduan praktis untuk mengoptimalkan ibadah di hari yang penuh berkah ini.

Makna Spiritual Hari Arafah

Hari Arafah memiliki keistimewaan yang luar biasa dalam tradisi Islam. Dalam konteks haji, wukuf di Arafah merupakan rukun utama yang menentukan sahnya ibadah haji. 



Rasulullah SAW bersabda, “Haji itu adalah Arafah” (HR. Tirmidzi). 

Namun, keutamaan hari ini tidak terbatas pada jamaah haji. Bagi seluruh umat Islam, Hari Arafah adalah waktu di mana pintu ampunan Allah terbuka lebar, dan doa-doa dikabulkan dengan cara yang istimewa.

Secara teologis, Hari Arafah menjadi simbol perenungan dan taubat. 

Padang Arafah, tempat wukuf dilaksanakan, mengingatkan umat Islam pada momen ketika Nabi Adam AS dan Siti Hawa diturunkan ke bumi dan bertemu kembali setelah berpisah. 

Kisah ini mencerminkan tema pengampunan dan kembalinya manusia kepada Allah. 

Dalam perspektif semi-ilmiah, Hari Arafah dapat dilihat sebagai waktu untuk merefleksikan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, memperkuat dimensi spiritual, dan memperbaiki akhlak melalui introspeksi.

Keutamaan Puasa Arafah

Salah satu amalan utama yang dianjurkan pada Hari Arafah adalah puasa sunnah. Dalam hadis riwayat Muslim (no. 1162), Rasulullah SAW bersabda:



“Puasa pada hari Arafah, aku memohon kepada Allah, agar puasa itu bisa menghapus dosa setahun penuh sebelumnya dan setahun sesudahnya.”

Hadis ini menegaskan bahwa puasa Arafah memiliki keutamaan luar biasa, yakni menghapus dosa-dosa kecil selama dua tahun. 

Dalam kajian ilmiah, konsep pengampunan ini dapat dipahami sebagai bentuk rahmat Allah yang memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk memperbarui komitmen spiritual mereka. 

Puasa Arafah bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih kesabaran, pengendalian diri, dan keikhlasan dalam beribadah.

Namun, penting untuk memahami bahwa puasa ini harus dilakukan dengan niat yang tulus, semata-mata untuk mencari ridha Allah. 

Sebagaimana diingatkan dalam bahan referensi, puasa tidak boleh diarahkan untuk tujuan duniawi seperti ingin tubuh langsing atau mengharapkan rezeki materi. 



Niat yang benar akan memperkuat dimensi spiritual puasa dan memastikan bahwa amalan tersebut diterima oleh Allah SWT. Niat puasa Arafah adalah sebagai berikut:

“Nawaitu shauma Arafah sunnatan lillahi ta’ala.”(Artinya: Saya niat puasa Arafah, sunnah karena Allah Ta’ala.)

Doa dan Dzikir di Hari Arafah

Selain puasa, Hari Arafah adalah waktu yang sangat mustajab untuk berdoa. Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Tirmidzi (no. 3509):

“Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah, dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku katakan adalah: Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syarikalahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘alaa kulli syai’in qadiir.”

(Artinya: Tiada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya segala kerajaan dan pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.)

Kalimat ini, yang dikenal sebagai kalimat thayyibah, adalah dzikir yang sangat dianjurkan untuk diamalkan sepanjang Hari Arafah. 

Dalam perspektif psikologis, pengulangan dzikir ini dapat membantu menenangkan pikiran, meningkatkan fokus spiritual, dan memperkuat koneksi emosional dengan Allah. 

Penelitian dalam psikologi positif menunjukkan bahwa praktik seperti dzikir dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan mental, yang selaras dengan tujuan spiritual Hari Arafah.



Selain dzikir, umat Islam juga dianjurkan untuk memperbanyak doa yang berfokus pada kebaikan akhirat, seperti memohon ampunan, kemampuan untuk menunaikan ibadah haji, dan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah. 

Doa-doa ini sebaiknya dilakukan dengan penuh kekhusyukan, terutama pada waktu-waktu mustajab seperti setelah shalat atau menjelang petang di Hari Arafah.

Takbir dan Tasbih: Mengagungkan Allah

Hari Arafah juga menjadi waktu untuk memperbanyak takbir, tasbih, dan tahmid. 

Setelah shalat Subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga waktu Ashar pada hari ketiga tasyrik (13 Dzulhijjah), umat Islam dianjurkan untuk mengumandangkan:

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil hamdu.”

Tradisi ini tidak hanya memperkuat kesadaran akan kebesaran Allah, tetapi juga menciptakan suasana kebersamaan spiritual di antara umat Islam. 

Dalam konteks sosiologis, takbir kolektif ini dapat dilihat sebagai bentuk solidaritas umat, yang memperkuat identitas keagamaan dan rasa persatuan.

Persiapan Menyambut Hari Arafah

Untuk memaksimalkan ibadah di Hari Arafah, berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan:

Menjaga Niat yang Ikhlas: Pastikan puasa dan doa dilakukan semata-mata untuk mencari ridha Allah.

Hindari motivasi duniawi agar ibadah tetap murni.
Mempersiapkan Fisik dan Mental: Puasa membutuhkan stamina, jadi pastikan tubuh terhidrasi dengan baik sebelum memulai puasa. 

Persiapkan juga hati dengan membaca Al-Qur’an atau mendengarkan ceramah keagamaan.
Memperbanyak Dzikir dan Doa: Luangkan waktu untuk berdoa, terutama di waktu mustajab seperti sore hari. Gunakan kalimat thayyibah yang diajarkan Rasulullah SAW.

Mengikuti Sunnah Takbir: Ucapkan takbir setelah setiap shalat fardhu untuk mengagungkan Allah dan mengisi hari dengan keberkahan.

Refleksi dan Taubat: Gunakan Hari Arafah sebagai momen untuk merenungkan kesalahan di masa lalu dan bertekad untuk menjadi lebih baik di masa depan.

Makna Lebih Dalam: Mengapa Hari Arafah Begitu Istimewa?

Dari perspektif semi-ilmiah, Hari Arafah mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara ibadah ritual dan transformasi batin. 

Puasa, doa, dan dzikir bukan hanya amalan fisik, tetapi juga sarana untuk melatih kesabaran, keikhlasan, dan ketundukan kepada Allah. 

Dalam kajian neurosains, praktik seperti puasa dan meditasi (termasuk dzikir) diketahui dapat meningkatkan aktivitas di area otak yang terkait dengan ketenangan dan kebahagiaan, seperti korteks prefrontal.

Selain itu, Hari Arafah mengingatkan kita akan konsep rahmat dan pengampunan dalam Islam. 

Hadis tentang pengampunan dosa selama dua tahun menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. 

Ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus berusaha memperbaiki diri tanpa merasa putus asa dari rahmat-Nya.

Hari Arafah adalah anugerah besar bagi umat Islam untuk mendekatkan diri kepada Allah, memohon ampunan, dan memperbarui komitmen spiritual. 

Dengan melaksanakan puasa sunnah, memperbanyak doa, dan mengumandangkan takbir, kita dapat meraih keutamaan yang dijanjikan Rasulullah SAW. Mari sambut Hari Arafah 1446 Hijriah dengan hati yang penuh syukur dan niat yang tulus. 

Referensi:
Hadis riwayat Muslim, no. 1162.
Hadis riwayat Tirmidzi, no. 3509.
Al-Qur’an dan tafsir terkait keutamaan Hari Arafah.

20/06/24

Minuman Anggur Tanpa Alkohol, Begini Proses Fermentasi Anggur Tanpa Alkohol Beserta Jenis-jenisnya

Minuman Anggur Tanpa Alkohol, Begini Proses Fermentasi Anggur Tanpa Alkohol Beserta Jenis-jenisnya

Minuman Anggur Tanpa Alkohol 

MINUMAN ANGGUR: Proses ini biasanya melibatkan fermentasi anggur untuk menghasilkan anggur seperti biasa, kemudian alkohol dihilangkan melalui berbagai metode.

Minuman Anggur Tanpa Alkohol, Begini Proses Fermentasi Anggur Tanpa Alkohol Beserta Jenis-jenisnya 

Gudangmakalah165.blogspot.com - Minuman anggur tanpa alkohol adalah jenis minuman yang dibuat dari anggur, seperti anggur biasa, tetapi melalui proses tertentu alkoholnya dihilangkan. 

Proses ini biasanya melibatkan fermentasi anggur untuk menghasilkan anggur seperti biasa, kemudian alkohol dihilangkan melalui berbagai metode seperti distilasi vakum, reverse osmosis, atau filtrasi membran. 

Hasil akhirnya adalah minuman yang memiliki rasa dan aroma mirip dengan anggur beralkohol, tetapi tanpa kandungan alkohol.

Minuman anggur tanpa alkohol sering dipilih oleh mereka yang ingin menikmati rasa anggur tanpa efek samping dari alkohol.

BACA JUGA : 5 Objek Kajian Filsafat Hukum Islam, Ini Penjelasan Lengkap Filsafat Hukum Islam serta Ruang Lingkupnya

BACA JUGA : Kesetaraan Manusia Sebagai Makhluk Multikultural dalam Pendidikan Islam

Ini bisa menjadi pilihan yang baik untuk orang yang harus menghindari alkohol karena alasan kesehatan, kehamilan, atau kepercayaan agama. 

Selain itu, minuman ini juga cocok untuk acara-acara di mana konsumsi alkohol mungkin tidak sesuai.

Produk minuman anggur tanpa alkohol hadir dalam berbagai jenis, seperti anggur merah, anggur putih, dan anggur bersoda, sehingga konsumen memiliki banyak pilihan sesuai dengan preferensi mereka. 

Minuman ini biasanya dikemas dalam botol yang mirip dengan botol anggur biasa, sehingga tetap memberikan pengalaman yang elegan dan istimewa saat dinikmati.

BACA JUGA : Mutasi Buatan yang Menguntungkan Pada Pemuliaan Tanaman, Berikut Penjelasannya

BACA JUGA : Modernisasi, Ciri-ciri, dampaknya pada teknologi modernisasi

Ada beberapa jenis minuman fermentasi anggur tanpa alkohol yang tersedia di pasaran.

Berikut ini beberapa di antaranya:

Anggur Merah Tanpa Alkohol:

Dibuat dari varietas anggur merah, minuman ini memiliki rasa dan aroma khas anggur merah. 

Biasanya memiliki warna yang kaya dan kompleksitas rasa yang mirip dengan anggur merah beralkohol.

BACA JUGA : Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

BACA JUGA : 7 Tokoh Filsafat Alam atau Pra-Socratic, serta Penjelasan Gnoti Seauton dan Maieutica-technic

Anggur Putih Tanpa Alkohol:

Dibuat dari varietas anggur putih, minuman ini cenderung lebih ringan dan segar dibandingkan anggur merah.

Rasanya sering kali lebih buah dan asam, mirip dengan anggur putih beralkohol.

Anggur Bersoda Tanpa Alkohol:

Minuman ini adalah versi tanpa alkohol dari anggur bersoda atau sparkling wine.

Biasanya memiliki gelembung-gelembung yang menyegarkan dan sering digunakan untuk perayaan atau acara khusus.

Rosé Tanpa Alkohol:

BACA JUGA : Sejarah Sastra Arab Sejak dari Zaman Jahiliyyah hingga Zaman Bani Umayyah, Serta Tokoh-tokohnya

BACA JUGA : Ini Pengaruh Ekonomi Internasional Terhadap Keseimbangan Ekonomi Antarbangsa

Dibuat dari campuran anggur merah dan putih atau dari anggur rosé tertentu, minuman ini memiliki warna merah muda dan rasa yang ringan serta buah.

Sari Anggur Tanpa Alkohol:

Ini adalah minuman yang lebih manis dan biasanya memiliki kandungan gula yang lebih tinggi dibandingkan anggur tanpa alkohol lainnya. 

Rasanya mirip dengan jus anggur tetapi dengan kompleksitas rasa tambahan dari proses fermentasi.

Anggur Desert Tanpa Alkohol:

Versi tanpa alkohol dari anggur dessert yang biasanya lebih manis dan sering disajikan setelah makan.

 Memiliki rasa yang kaya dan manis, mirip dengan port atau sherry tanpa alkohol.

Minuman-minuman ini dibuat melalui proses fermentasi yang sama dengan anggur beralkohol, tetapi kemudian alkoholnya dihilangkan. 

Ini memungkinkan mereka mempertahankan profil rasa yang kaya dan kompleks, meskipun tanpa kandungan alkohol.


12/12/20

Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

Makalah Ijma' dan Qiyas dalam Islam

Makalah Ijma' dan Qiyas Dalam Islam

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits)

Pengertian Ijma' dan Qiyas, Contoh hingga Macam-macamnya

Ijma’ dan qiyas adalah salah satu sumber hukum islam yang memiliki tingkat kekuatan argumentasi di bawah dalil-dalil Nash (Al-Qur’an dan Hadits).

Ia merupakan dalil pertama setelah Al-Qur’an dan Hadits yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum islam.

Namun ada komunitas umat islam tidak mengakui dengan adanya ijma’ dan qiyas itu sendiri yang mana mereka hanya berpedoman pada Al-Qur’an dan Al Hadits.

Mereka berijtihat dengan sendirinya itupun tidak lepas dari dua teks itu sendiri (Al-Qur’an dan Hadits).


Ijma’ dan qiyas muncul setelah Rasulullah wafat, para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi. 

Khalifah Umar Ibnu Khattab RA. misalnya selalu mengumpulkan para sahabat untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum.

Jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ijma’ dan qiyas
2. Macam-macam ijma’ dan qiyas
3. Kedudukan ijma’ dan qiyas dalam agama Islam
4. Pentingnya ijma’ dan qiyas dalam agama Islam

C. Tujuan        
Dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan agar kita para mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara untuk lebih memahami sumber hukum islam seperti ijma’ dan qiyas.


Yang telah disepakati oleh para mujtahid yang dijadikan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur’an dan Hadits.

BAB II, Pembahasan 
A. Pengertian Ijma' dan Qiyas.

Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau sependapat. 

Sedangkan menurut istilah; kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. 

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dalam menetapkan suatu hukum, kerena segala persoalan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Pengertian qiyas. Secara Etimologi (bahasa) Qiyas menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran, menyamakan sesuatu dengan yang lain.


Secara Terminologi (istilah) menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.

Imam Syafi’i mendefinisikan qiyas sebagai upaya pencarian (ketetapanhukum) dengan berdasarkan dalil-dalil terhadap sesuatu yang pernah diinformasikan dalam al-Qur’an dan hadis.

Dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i juga berkata, “Qiyas adalah suatu yang dipecahkan berdasarkan dalil-dalil yang disesuaikan dengan informasi yang tersirat dalam al-Qur’an atau hadis, karena keduanya adalah kebenaran hakiki yang wajib dijadikan sumber

C. Macam-macam Ijma' dan Qiyas
Ijma’ ditinjau dari cara penetapannya ada dua:

Ijma’ Sharih Yaitu semua para mujtahid (pejuang islam) mengemukakan pendapat mereka masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa atau qadha (memberi keputusan). 


Artinya setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang mengungkapkan secara jelas tentang pendapatnya,dan kemudian menyepakati salah satunya.

Ijma’ Sukuti (diam). Yaitu pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati atau pun menolak pendapat tersebut secara jelas. 

Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila telah memenuhi beberapa kriteria berikut :

Diamnya mujtahid itu betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan. 

Bila terdapat tanda-tanda yang menunjukan adanya kesepakatan, yang dilakukan oleh sebagian mujtahid. Maka tidak dikatakan ijma’sukuti, melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid, itupun bukan ijma’sukuti.

Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk mengemukaka hasil pendapatnya.

Permasalahan yag difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil dzani (dugaan). 

Sedangkan permasalahan yang tidak boleh di-ijtihadi atau yang bersumber dari dalil-dalil tidak qath’I (pasti), jika seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat, sedangkan yang lainnya diam. Hal itu tidak bisa disebut ijma’.

Contoh ijma’ sukuti. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. 

Pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.

Selain macam-macam ijma’ diatas, terdapat pula beberapa macam ijma’ yang dihubungkan dengan masa terjadinya, tempat terjadinya atau orang-orang yang melaksanakannya. Ijma’-ijma’ itu adalah :

Ijma’ sahabat, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW.

Contoh ijma’ sahabat Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat Rasulullah.

Ijma’ khulafaur rasyidin, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bun Abi Thalib. 

Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa keempat orang itu hidup.

Contoh ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. 

Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat.

Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.

Ijma’ syaikhan, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dab Umar bin Kattab.

Ijma’ ahli madinah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama madinah.

Madzhab Maliki menjadikan ijma’ ahli madinah ini sebagai salah satu sumber hukum islam. Menurut pendapat Imam Malik yang menyatakan bahwa ijma’ mujthahid Madinah saja sudah merupakan kesimpulan ijma’.

Ijma’ ulama kuffah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh ulama-ulama kuffah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma’ ulama kuffah sebagai salah satu sumber hukum islam.

Ijma’ dipandang tidak sah, kecuali bila mempunyai sandaran, sebab ijma’ bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Selain itu fatwa dalam masalah agama tanpa sandaran adalah tidak sah.

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:

ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i (pasti) diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

ljma`Zhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu Zhanni (dugaan), masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

Macam-macam Qiyas, Qiyas mempunyai tingkatan yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena adanya illat yang ada pada asal dan furu’, adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :

Qiyas Awlawi, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). 

Misalnya mengqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua kepada hukum haram mengatakan “ah” yang terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 23.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. 

Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. “(Q.S. Al Isra’ : 23).

Karena alasan (‘illat) sama-sama menyakiti orang tua. Namun, tindakan memukul dalam hal ini cabang (far’u) lebih menyakiti orang tua sehingga hukumnya lebih berat dibandingkan dengan haram mengatakan “ah” pada ashl.

Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana illat yang terdapat pada cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok). 

Contohnya keharaman memakan harta anak yatim berdasarkan firman Allah surah An-nisa’ : 10.

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (10)

Yang artinya : Sebenarnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). 

Dari ayat diatas kita dapat mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.

Qiyas al-Adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada furu’ (cabang) lebih rendah bobotnya dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl (pokok).

Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadhal (riba yang terjadi karena adanya kelebihan dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). 

Dalam masalah kasus ini, illah hukumnya adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan yang bisa dimakan dan ditakar. 

Namun ada segi yang lain dari illah gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu? Apel tidak makanan pokok. Oleh karenanya, illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illah yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok.

Apabila dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya ‘illat yang menjadi landasan hukum, maka qiyas dapat dibagi menjadi dua macam :

Qiyas Jali, yaitu qiyas yang dinyatakan ‘illatnya secara tegas dalam Al Quran dan Sunnah atau tidak dinyatakan secara tegas dalam kedua sumber tersebut.

Tetapi berdasarkan penelitian kuat dugaan bahwa tidak ada perbedaan antara ashl dan cabang dari segi kesamaan ‘illatnya. 

Misalnya, mengqiyaskan memukul kedua orang tua dengan larangan mengucapkan “ah” sebagaimana dalam contoh qiyas awla di atas. Menurut Wahbah al-Zuhaili, qiyas jali ini meliputi apa yang disebut dengan qiyas awla dan qiyas musawi.

Qiyas Khafi, yaitu qiyas yang illatnya di istinbatkan atau ditarik dari hukum ashl. 

Misalnya, mengqiyaskan pembunuhan dengan memakai benda tajam karena ada kesamaan ‘illat antara keduanya, yaitu kesengajaan dan permusuhan pada pembunuhan dengan benda tumpul sebagaimana terdapat pada pembunuhan dengan menggunakan benda tajam.

C. Kedudukan Ijma' dan Qiyas

Kebanyakan ulama’ mengetahui bahwa ijma’ merupakan sumber hukum yang kuat dalam menetapkan hukum islam dan menduduki tingkatan ketiga dalam sumber hukum islam. 

Kekuatan ijma’ sebagai sumber hukum islam ditunjukkan dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadist, diantaranya ialah: QS. An-Nisa: 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu”

Dengan demikian, pada dasarnya ijma’ dapat dijadikan alternative dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak ada atau kurang jelas hukumnya.

Kedudukan Qiyas. Dalam peranannya pada agama islam, qiyas sebagai hujjah (sumber hukum) islam yang keempat setelah al-Qur’an, al-hadist, dan ijma’. 

Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa qiyas merupakan salah satu proses ijtihad, maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. 

Oleh sebab itu, mujtahid harus mengetahui tentang qiyas dengan benar serta memungkinkan mujtahid untuk memilih hukum asal yang lebih dekat dengan objek. Mereka berpendapat demikian dengan berpegang kepada

Firman Allah SWT:

فَـاعْــتَــبِــيْــرُوْا يَـآ اُوْ لىِ اْلاَ بــْـصَارِ

"Hendaklah kamu mengambil I’tibar (contoh / ibarat / pelajaran). Hai orang-orang yang berfikiran". (Q.S. Al-Hasyr : 2)

Karena i’itibar artinya adalah "Qiyash-Syai’i-bisy-Syai’ (Membanding sesuatu dengan sesuatu yang lain).

D. Pentingnya Ijma' dan Qiyas dalam Agama Islam

Apabila kita tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, maka kita tinjau apakah para ulama’ kaum muslimin telah ijma’. Apabila ternyata demikian, maka ijma’ mereka kita ambil dan kita laksanakan.

Para ulama bersepakat bahwa yang dijadikan landasan oleh ijma’ hanyalah Al-Qur’an dan Sunnah. 

Sementara itu untuk qiyas masih terdapat perbedaan pendapat. Dalam hal ini para fuqaha terbagi menjadi tiga pendapat:

Qiyas tidak dapat dijadikan landasan bagi ijma’, karena qiyas mempunyai beberapa segi yang bermacam-macam. 

Di segi lain kehujjahan qiyas bukanlah sesuatu yang disepakati, sehingga tidak mungkin qiyas dapat dijadikan landasan bagi ijma’.

Qiyas dengan segala bentuknya dapat dijadikan sandaran ijma’, karena qiyas adalah hujjah syar’iyyah yang didasarkan pada dalil-dalil nash. 

Apabila illat suatu qiyas disebutkan dalam nash atau sudah jelas sehingga tidak memerlukan pembahasan yang mendalam yang dapat menimbulkan perbedaan persepsi, maka qiyas dapat dijadikan landasan oleh ijma’.

Sebaliknya jika illat suatu qiyas tidak jelas atau tidak disebutkan dalam nash, maka qiyas tersebut tidak dapat dijadikan landasan ijma

BAB III, Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ijma’ dan qiyas adalah suatu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan argumentatif di bawah dalil-dalil nas (Al Quran dan hadits). Ia merupakan dalil-dalil setelah Al Quran dan hadits. Yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.

Pada masa Rasulullah masih hidup, tidak pernah dikatakan ijma’ dan qiyas dalam menetapkan suatu hukum, karena segala permasalahan dikembalikan kepada beliau, apabila ada hal-hal yang belum jelas atau belum diketahui hukumnya.

Adapun dari ijma’ dan qiyas itu sendiri harus memenuhi syarat-syarat tertentu, agar dalam kesepakatan para mujtahid dapat diterima dan dijadikan sebagai hujjah/ sumber hukum.

Serta dari ijma’ dan qiyas itu sendiri terdapat beberapa macam. Dari beberapa versi itu lahirlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan ulama’ mengenai ijma’ dan qiyas itu sendiri.

B. Saran dan Kritikan

Jadikanlah makalah ini sebagai media untuk memahami diantara sumber-sumber Islam (ijma’ dan qiyas) demi terwujudnya dan terciptanya tatanan umat (masyarakat) adil dan makmur. Kami sadar, dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dan konstruktif demi kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Daftar Pusaka:
- M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2007.
- Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT. Alma’arif 1973.
- Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Usul Fiqih. Pustaka Amani, Jakarta 2003.
- Prof. Abdul Wahab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. Dina Utama, Semarang 1994m
- Prof. Dr. Rachmat Syafi’i. MA. Ilmu Usul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia 2007.
- Prof. Muhamad Abu Zahrah. Usul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, Cetakan Pertama 1994., Cetakan Kesembilan 2005.
- Drs. H. A. Syafi’i Karim. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, Cetakan Pertama 1997., Cetakan Kedua 2001
- Drs. Chaerul Uman Dkk. Ushul Fiqih 1. Pustaka Setia, Bandung 1998.


 Mengenal Islam: Makna, Karakteristik, dan Sejarah Masuknya di Indonesia

Mengenal Islam: Makna, Karakteristik, dan Sejarah Masuknya di Indonesia

Mengenal Islam: Makna, Karakteristik, dan Sejarah Masuknya di Indonesia




gudangmakalah165.blogspot.com - Islam adalah agama universal yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada para Rasul-Nya untuk menjadi pedoman hidup umat manusia. 

Sejak pertama kali diturunkan hingga hari ini, Islam terus menyebar dari satu generasi ke generasi berikutnya, menjadi petunjuk hidup yang tak lekang oleh waktu. 

Islam bukan hanya sekadar agama, tetapi juga rahmat dan hidayah bagi seluruh alam semesta, sebagaimana tercermin dari sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Saat ini, umat Islam menjadi komunitas keagamaan terbesar di dunia setelah Kristen. Bahkan, banyak orang yang kemudian memutuskan untuk memeluk Islam (mualaf) setelah mengenal lebih dalam ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki daya tarik spiritual dan intelektual yang kuat. 
Namun di balik jumlah yang besar itu, muncul tantangan tersendiri: banyak yang mengaku Muslim tetapi belum memahami makna sejati dari keislaman. 



Ada yang sekadar menjadikan identitas Islam sebagai pelengkap administratif di KTP, tanpa menghayati nilai-nilainya.

Fenomena ini menjadi pengingat bagi kita semua akan pentingnya memahami Islam tidak hanya secara ritual, tetapi juga secara esensial. 

Maka dari itu, tulisan ini hadir untuk mengupas lebih dalam tentang makna Islam dari sisi bahasa, istilah, dan syariat. 

Tak hanya itu, kita juga akan membahas karakteristik unik Islam serta sejarah panjang bagaimana agama ini masuk dan berkembang di bumi Indonesia.

Apa Itu Islam?

1. Pengertian Agama dari Berbagai Bahasa

Sebelum memahami Islam secara khusus, mari kita lihat terlebih dahulu makna agama secara umum dari beberapa perspektif bahasa:

Bahasa Sanskerta: Kata "agama" berasal dari gabungan ‘a’ (tidak) dan ‘gama’ (kacau), yang berarti "tidak kacau". Dalam arti lain, agama adalah jalan yang menuntun manusia menuju keteraturan dan keridhaan Tuhan.



Bahasa Inggris: Kata “religion” berasal dari bahasa Latin “relegere” yang berarti mengumpulkan atau membaca. Dalam konteks agama, ini merujuk pada kumpulan ajaran suci yang menjadi panduan hidup umat manusia.

Bahasa Arab: Agama dikenal dengan istilah “din” yang memiliki berbagai makna seperti balasan, perhitungan, peraturan, dan kepatuhan. Din mengandung unsur hukum ilahi yang mengatur perilaku manusia dan membedakan pahala serta dosa.

2. Definisi Islam secara Etimologis

Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab "salima" yang berarti selamat atau damai. Dari akar kata ini terbentuk kata aslama yang berarti berserah diri, tunduk, dan patuh kepada kehendak Allah. Maka, seorang Muslim adalah mereka yang menyerahkan dirinya kepada Allah secara total, baik dalam keyakinan maupun perbuatan.

3. Definisi Islam secara Terminologi

Secara terminologis, Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir. Islam adalah sistem hidup yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia—mulai dari ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan hingga pemerintahan.



Islam membawa ajaran yang sempurna dan paripurna untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Ajaran-ajarannya bersumber dari Al-Qur’an sebagai kitab suci, serta hadits Rasulullah SAW sebagai penjelas sekaligus teladan pelaksanaannya.

4. Islam dalam Perspektif Syar’i

Secara syar’i, Islam didefinisikan sebagaimana dijelaskan dalam firman-firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Beberapa ayat penting antara lain:

"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam." (QS Ali Imran: 19)

"Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (QS Ali Imran: 85)

"Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu." (QS Al-Maidah: 3)

“Barang siapa yang Allah kehendaki untuk diberi petunjuk, niscaya Dia lapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam." (QS Al-An'am: 125)

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam." (QS Ali Imran: 102)

Dari ayat-ayat ini, jelas bahwa Islam bukan hanya sekadar identitas, tetapi sebuah jalan hidup yang harus dijalani dengan penuh kesadaran dan keimanan.

Karakteristik Unik Agama Islam

Islam bukanlah agama yang stagnan atau kaku. Justru sebaliknya, Islam hadir sebagai agama yang menyatu dengan fitrah manusia. Berikut adalah enam karakteristik utama yang menjadikan Islam unik dan membedakannya dari agama-agama lainnya:

1. Agama Fitrah
   Islam sesuai dengan naluri manusia, membawa ajaran yang alami dan mudah diterima oleh akal dan hati nurani.

2. Agama Rasional
   Ajaran Islam sangat logis dan mengajak umatnya untuk berpikir, menalar, serta menggunakan akal dalam memahami kebenaran.

3. Agama Moderat
   Islam menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara hak dan kewajiban, serta antara spiritualitas dan sosialitas.

4. Agama yang Mudah
   Ajaran Islam tidak memberatkan umatnya. Dalam kondisi tertentu, Islam memberikan keringanan (rukhshah) seperti menjamak salat saat safar.

5. Agama Tauhid
   Pondasi utama Islam adalah tauhid, yakni pengesaan kepada Allah. Segala aspek dalam Islam berorientasi pada keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

6. Agama yang Sempurna
   Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia—ibadah, muamalah, akhlak, hukum, hingga urusan kenegaraan.

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia

Perjalanan Awal

Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai agama dan kepercayaan seperti animisme, dinamisme, Hindu, dan Buddha. 
Bukti sejarah berupa candi dan prasasti menunjukkan bahwa budaya spiritual telah lama berkembang di nusantara. Namun, kedatangan Islam membawa semangat baru dalam kehidupan masyarakat.

Para sejarawan memiliki beberapa teori mengenai asal mula masuknya Islam ke Indonesia:

1. Teori Gujarat
   Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk melalui pedagang dari Gujarat, India, sekitar abad ke-13. Pendukung teori ini adalah Snouck Hurgronje.

2. Teori Persia
   Menurut teori ini, Islam masuk dari Persia. Bukti kesamaan budaya dan tradisi menjadi dasar pendapat ini, seperti peringatan 10 Muharram (Asyura).

3. Teori Arab
   Beberapa ulama seperti Hamka dan Alwi Shihab meyakini bahwa Islam masuk langsung dari Mekkah dan Madinah, sejak abad ke-7, dibawa oleh para pedagang Arab.

Cara Islam Menyebar di Indonesia

Penyebaran Islam di Indonesia tidak terjadi secara agresif atau melalui penaklukan, tetapi melalui pendekatan damai dan budaya yang sangat efektif. Berikut beberapa jalur penyebaran Islam di Indonesia:

1. Melalui Perdagangan
   Interaksi antara pedagang Arab dan masyarakat lokal sangat intens. Hubungan ekonomi yang baik memudahkan para pedagang menyampaikan ajaran Islam. Mereka tidak hanya berdagang, tapi juga berdakwah. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya kerajaan Islam seperti Samudra Pasai dan Malaka.

2. Melalui Budaya (Kultural)
   Para wali songo memainkan peran penting dalam metode dakwah kultural. Sunan Kalijaga, misalnya, menyisipkan nilai-nilai Islam dalam pertunjukan wayang. Sunan Giri menciptakan permainan anak-anak bernuansa Islam seperti cublak-cublak suweng. Islam disebarkan melalui seni dan budaya yang telah melekat di hati masyarakat.

3. Melalui Pendidikan
   Pesantren menjadi pusat penyebaran Islam yang sangat efektif. Banyak tokoh dakwah berasal dari pesantren, seperti Datuk Ribandang yang mengislamkan kerajaan Gowa-Tallo. Para santri juga berperan aktif menyebarkan Islam ke berbagai wilayah Indonesia.

4. Melalui Kekuasaan Politik
   Peran para Sultan sangat penting dalam memperkuat posisi Islam. Kesultanan Demak di Jawa dan kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi menjadi pusat dakwah dan pelindung bagi para mubaligh. Dukungan politik ini menjadikan Islam berkembang lebih luas dan mapan.

Penutup

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh, mengatur setiap aspek kehidupan umat manusia. Bukan hanya sebagai sistem keyakinan, tetapi juga sebagai sistem sosial, politik, budaya, dan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kedamaian, dan kasih sayang.

Pemahaman terhadap Islam secara etimologis, terminologis, dan syar’i sangat penting agar kita tidak hanya menjadi Muslim dalam dokumen, tetapi juga dalam hati, pikiran, dan tindakan. Dengan mengetahui karakteristik Islam serta sejarah masuknya di Indonesia, kita bisa lebih menghargai dan menghayati ajaran Islam sebagai rahmat yang tak ternilai.


11/11/19

Islam dan Budaya: Kisah Harmoni yang Panjang di Indonesia

Islam dan Budaya: Kisah Harmoni yang Panjang di Indonesia

Islam dan Budaya: 

Kisah Harmoni yang Panjang di Indonesia


Wajah Islam di Indonesia tampil unik dibanding negara-negara mayoritas Muslim lainnya.


gudangmakalah165.blogspot.com - Indonesia adalah rumah bagi umat Islam terbesar di dunia. 

Namun menariknya, wajah Islam di Indonesia tampil unik dibanding negara-negara mayoritas Muslim lainnya. 

Di sini, Islam dan budaya lokal hidup berdampingan, bahkan saling memperkaya. Tapi bagaimana awalnya? Apa yang membuat Islam begitu bisa berbaur dengan budaya Nusantara?

Islam: Agama yang Luwes dan Terbuka

Islam adalah agama yang diturunkan untuk seluruh umat manusia. Ia tidak eksklusif pada satu ras, suku, atau bangsa. 


Prinsip ini membuat Islam mudah diterima di berbagai tempat dan zaman—termasuk di Indonesia. Alih-alih memaksakan budaya Arab, Islam di Nusantara sering kali menyesuaikan diri dengan kearifan lokal.

Proses Islamisasi di Indonesia juga berjalan damai. Islam tidak datang lewat peperangan, melainkan melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan, dan kesenian. Tak heran, nilai-nilai Islam pun menyusup perlahan ke dalam budaya setempat, membentuk sebuah proses akulturasi yang panjang dan menarik.

Budaya: Warisan Hidup yang Terus Bertumbuh

Budaya adalah cara hidup yang diwariskan dan dipelajari oleh manusia. Ia mencakup segala hal: mulai dari cara berpakaian, bertani, berbicara, hingga cara berpikir dan memandang dunia.

Budaya bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus beradaptasi dengan kondisi zaman dan interaksi lintas budaya.


Ketika Islam masuk ke Nusantara, ia bertemu dengan budaya Hindu-Buddha yang sudah lebih dulu berkembang. Pertemuan inilah yang menjadi titik awal akulturasi antara Islam dan budaya lokal.

Bentuk-Bentuk Akulturasi Islam dan Budaya Lokal

1. Sastra Jawa
   Karya sastra Jawa sebelum Islam cenderung mistis. Namun setelah pengaruh Islam masuk, karya-karya tersebut mulai sarat dengan nilai moral dan tauhid. Contohnya adalah tembang macapat yang kini penuh pesan keislaman.

2. Pewayangan
   Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media dakwah. Cerita Mahabharata dan Ramayana disisipkan ajaran-ajaran Islam. Wayang pun berubah menjadi media moral sekaligus spiritual.

3. Arsitektur
   Lihatlah Masjid Demak. Atapnya yang bertingkat sembilan mencerminkan konsep Meru dari Hindu-Buddha. Gapura masjid pun diambil dari istilah Arab “ghofura” (ampunan). Ini contoh jelas bagaimana Islam tidak memusnahkan budaya, tapi justru mengisinya dengan makna baru.

4. Shalawatan
   Tradisi shalawat seperti Rodat, Maulud, dan Shalawat Jawi adalah bentuk kesenian yang menggabungkan musik lokal dengan pujian kepada Nabi Muhammad. Ini menunjukkan spiritualitas Islam menyatu dengan rasa seni masyarakat Jawa.

5. Instrument Musik
   Alat-alat musik seperti rebana, gamelan, dan gong dulu digunakan dalam ritual lokal. Setelah Islam masuk, alat-alat ini diberi makna baru dan digunakan dalam pengajian, peringatan Maulid, atau pentas seni Islami.

6. Seni Lukis dan Kaligrafi
   Jika dulu ukiran Hindu-Buddha mendominasi candi, kini seni Islam menampilkan kaligrafi indah di dinding masjid. Seni pun mengalami transformasi tanpa menghilangkan nilai keindahan.

Islam, Budaya, dan Tantangan Masa Kini

Masuknya Islam ke Indonesia tidak mematikan budaya lokal. Sebaliknya, Islam memberi napas baru pada budaya. Namun tantangan saat ini adalah menjaga keseimbangan itu.

Sebagai Muslim, penting untuk:

Memahami Islam secara utuh.
Menggali kebudayaan lokal dengan sikap terbuka.
Menggabungkan keduanya secara selektif dan bijak.

Sikap kritis dan moderat akan membantu kita menjaga warisan akulturasi yang berharga ini. Kita tidak harus menjadi Arab untuk menjadi Muslim. Kita bisa tetap menjadi orang Jawa, Sunda, Bugis, Batak, atau Papua—tanpa kehilangan nilai-nilai Islam yang universal.