--> Fragmen Ilmiah | Deskripsi Singkat Blog di Sini

Nyaris Informasi, Hampir Fakta

Total Tayangan Halaman

02/06/25

Superbug di Mulut: Ancaman Resistensi Klindamisin pada Pasien Kanker Mulut

Superbug di Mulut: Ancaman Resistensi Klindamisin pada Pasien Kanker Mulut

Superbug di Mulut: 

Ancaman Resistensi Klindamisin pada Pasien Kanker Mulut

Penelitian terbaru dari Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials (2025) di Hungaria mengungkap fakta mencengangkan: bakteri Enterobacterales mendominasi.

fragmenilmiah.com - Pernahkah kamu membayangkan bahwa bakteri di mulut bisa jadi ancaman besar, terutama bagi pasien kanker mulut? 

Penelitian terbaru dari Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials (2025) di Hungaria mengungkap fakta mencengangkan: bakteri Enterobacterales mendominasi infeksi kepala dan leher pada pasien kanker, sementara resistensi terhadap antibiotik klindamisin melonjak tinggi. 

Studi ini dilakukan di rumah sakit tersier Semmelweis University, Budapest, dan menyoroti tantangan besar dalam pengobatan infeksi di mulut. 

Yuk, kita jelajahi apa yang membuat bakteri ini begitu sulit dilawan dan apa artinya bagi kesehatan kita!

Apa Itu Enterobacterales dan Klindamisin?

Enterobacterales adalah kelompok bakteri gram-negatif, seperti Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae, yang sering ditemukan di usus, tapi bisa menyebabkan infeksi serius jika masuk ke area lain, seperti mulut. 


Klindamisin adalah antibiotik yang biasa digunakan untuk mengobati infeksi kepala dan leher, terutama untuk pasien yang alergi penisilin. 

Sayangnya, penelitian ini menemukan bahwa banyak bakteri di mulut pasien kanker mulut dan infeksi kepala-leher kebal terhadap klindamisin, membuat pengobatan semakin rumit.
Fakta Penting:

Dari 5.185 isolat bakteri yang dianalisis dari 1.978 pasien antara 2018-2023, Streptococcus (18,8%), Prevotella (13,5%), dan Staphylococcus (13,2%) adalah bakteri paling umum.

Pasien kanker mulut memiliki jumlah Enterobacterales yang jauh lebih tinggi (18,3%) dibandingkan pasien dengan abses atau nekrosis.

Resistensi klindamisin sangat tinggi pada Prevotella (40,9%), Streptococcus (34,8%), dan Staphylococcus (32,3%).

Temuan Utama Penelitian

Penelitian ini menganalisis spektrum patogen dan tingkat resistensi antimikroba (AMR) dari infeksi kepala dan leher, dengan fokus pada tiga kelompok pasien: abses (kebanyakan infeksi odontogenik), nekrosis (terutama osteonekrosis), dan infeksi luka operasi pada pasien kanker mulut. Berikut poin-poin pentingnya:

1. Kelimpahan Enterobacterales pada Pasien Kanker

Pasien Kanker Mulut: Enterobacterales (termasuk Enterobacter, Escherichia, dan Klebsiella spp.) adalah patogen kedua paling umum (18,3%) setelah Staphylococcus (21,3%). Ini jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok abses (4,3%) dan nekrosis (9,6%).

Implikasi: Bakteri ini sering kebal terhadap antibiotik lini pertama seperti amoksisilin-klavulanat, yang umum digunakan di pengaturan gigi. 

Hal ini meningkatkan risiko infeksi serius, terutama pada pasien kanker yang sudah rentan karena pengobatan kemo atau radioterapi.

Penyebab Potensial: Perubahan mikrobiota mulut akibat pengobatan kanker, imunosupresi, atau infeksi nosokomial (dari rumah sakit) bisa memicu dominasi Enterobacterales.

2. Tingkat Resistensi Klindamisin yang Mengkhawatirkan

Tingkat Resistensi: Prevotella spp. menunjukkan resistensi klindamisin sebesar 40,9%, jauh lebih tinggi dibandingkan laporan global (maksimum 22,5%). Streptococcus (34,8%) dan Staphylococcus (32,3%) juga menunjukkan resistensi signifikan.


Mekanisme Resistensi: Resistensi klindamisin terutama disebabkan oleh metilasi ribosom oleh gen erm, yang mengubah rRNA 23S sehingga klindamisin tidak bisa mengikat bakteri. Pompa efluks dan transfer gen resistensi melalui plasmid juga memperburuk situasi.

Dampak Klinis: Tingginya resistensi ini mempertanyakan penggunaan klindamisin sebagai antibiotik lini kedua, terutama untuk pasien dengan alergi penisilin.

3. Perbedaan Spektrum Patogen Antar Kelompok

Abses: Didominasi oleh Streptococcus (27%) dan Staphylococcus (21,4%), dengan Enterobacterales lebih jarang (4,3%).

Nekrosis: Memiliki lebih banyak Actinomyces (7,6%) dan Enterobacterales (9,6%), dengan Streptococcus lebih sedikit (18,4%).

Kanker Mulut: Selain Enterobacterales, pasien kanker memiliki lebih banyak Pseudomonas (5,9%), Enterococcus (6,1%), dan Streptococcus beta-hemolitik (2%). 

Menariknya, Fusobacterium lebih jarang (5,1%) dibandingkan kelompok lain, bertentangan dengan studi lain yang mengaitkannya dengan kanker mulut.



Statistik: Perbedaan ini signifikan secara statistik (p<0,05, uji chi-square Pearson), menunjukkan bahwa kondisi klinis memengaruhi komposisi mikrobiota.

4. Resistensi Antibiotik Lain

MRSA: Staphylococcus aureus resisten metisilin (MRSA) mencapai 13,8%, dengan fluktuasi tahunan (6,9%-20%). S. epidermidis resisten metisilin (MRSE) lebih tinggi, yaitu 29,7%.
VRE: Enterococcus resisten vankomisin (VRE) rendah, hanya 2,8%.

ESBL: E. coli dan Klebsiella penghasil beta-laktamase spektrum luas (ESBL) masing-masing 1% dan 2,6%, menunjukkan resistensi rendah terhadap sefalosporin generasi ketiga.

Amoksisilin-Klavulanat: Resistensi tinggi pada Staphylococcus (26,6%) dan Escherichia (23,5%), tetapi rendah pada Streptococcus (3,1%).

5. Implikasi untuk Kesehatan Masyarakat

Krisis AMR: Tingginya resistensi klindamisin menunjukkan perlunya program pengelolaan antibiotik (antibiotic stewardship) yang lebih ketat, terutama di Hungaria, di mana kebersihan mulut masyarakat umumnya buruk.

Surveilans Mikroba: Pemantauan rutin patogen dan resistensi di rumah sakit diperlukan untuk mencegah penyebaran bakteri seperti Enterobacterales.

Pendekatan Personalisasi: Pengobatan berbasis sensitivitas bakteri, bukan antibiotik empiris, sangat penting untuk meningkatkan hasil pengobatan dan mengurangi AMR.

Kanker dan Mikrobiota: Kelimpahan Enterobacterales pada pasien kanker mulut menimbulkan pertanyaan apakah bakteri ini berperan dalam infeksi luka operasi atau bahkan karsinogenesis, yang perlu diteliti lebih lanjut.

Mengapa Ini Penting?

Infeksi kepala dan leher, terutama pada pasien kanker mulut, bukan hanya masalah lokal, tetapi ancaman global karena resistensi antibiotik. 

Di Indonesia, di mana kesadaran tentang kebersihan mulut dan penggunaan antibiotik masih perlu ditingkatkan, temuan ini relevan untuk mendorong tindakan pencegahan. 

Enterobacterales yang resisten dapat memperburuk hasil pengobatan kanker, meningkatkan biaya perawatan, dan risiko kematian. 

Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kebersihan mulut untuk mencegah infeksi oportunistik.

Penelitian ini mengungkap dominasi Enterobacterales pada pasien kanker mulut dan tingkat resistensi klindamisin yang tinggi pada Prevotella, Streptococcus, dan Staphylococcus. 

Temuan ini menyerukan perubahan dalam penggunaan antibiotik empiris dan peningkatan surveilans mikroba. 

Mari kita dukung upaya untuk mengurangi resistensi antibiotik dengan menggunakan obat hanya sesuai resep dokter dan menjaga kebersihan mulut!
Apa yang bisa kamu lakukan?

Jangan gunakan antibiotik tanpa rekomendasi dokter.

Jaga kebersihan mulut dengan sikat gigi dua kali sehari dan kunjungi dokter gigi secara rutin.
Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya resistensi antibiotik.

Referensi: Kiss et al. (2025). Enterobacterales abundance in oral cancer patients and elevated clindamycin resistance rates in head and neck infections at a Hungarian Tertiary Hospital. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials, 24:33.

Ancaman Resistensi Antibiotik: Mengapa CZA Tidak Lagi Ampuh?

Ancaman Resistensi Antibiotik: Mengapa CZA Tidak Lagi Ampuh?

Ancaman Resistensi Antibiotik: 

Mengapa CZA Tidak Lagi Ampuh?

Salah satu antibiotik canggih, ceftazidime/avibactam (CZA), yang biasa digunakan untuk melawan infeksi berat di rumah sakit, kini mulai kehilangan kekuatannya. 

fragmenilmiah.com - Pernahkah kamu mendengar tentang superbug? Bakteri yang kebal terhadap antibiotik ini kini jadi ancaman serius di dunia kesehatan. 

Salah satu antibiotik canggih, ceftazidime/avibactam (CZA), yang biasa digunakan untuk melawan infeksi berat di rumah sakit, kini mulai kehilangan kekuatannya. 

Penelitian terbaru yang diterbitkan di Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials (2025) mengungkap bagaimana bakteri Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa yang tahan karbapenem (CRKP dan CRPA) mengembangkan resistensi terhadap CZA di sebuah unit perawatan intensif (ICU) di Tiongkok. 

Yuk, kita kupas apa yang membuat bakteri ini begitu sulit dilawan dan apa artinya bagi kita semua!

Apa Itu CZA dan Mengapa Penting?

CZA adalah kombinasi antibiotik generasi baru yang digunakan untuk mengobati infeksi berat, seperti pneumonia rumah sakit atau infeksi saluran kemih, yang disebabkan oleh bakteri tahan obat. 

CZA bekerja dengan cara menghambat enzim beta-lactamase yang diproduksi bakteri untuk menetralkan antibiotik. Namun, penelitian ini menemukan bahwa bakteri CRKP dan CRPA di ICU Jiangsu, Tiongkok, dari Agustus 2020 hingga Februari 2021, telah menemukan cara untuk "mengakali" CZA, membuat pengobatan semakin sulit.
Fakta Penting:

Sebanyak 32 isolat bakteri tahan CZA ditemukan, termasuk 20 CRKP dan 12 CRPA.
Resistensi ini menyebar di antara pasien di ICU dan bahkan ke rumah sakit lain melalui rujukan pasien.

Hanya sedikit antibiotik lain, seperti colistin dan fosfomycin, yang masih efektif melawan bakteri ini.

Temuan Utama Penelitian

Penelitian ini menganalisis mekanisme resistensi dan pola penyebaran bakteri tahan CZA dengan menggunakan teknologi sekuensing genom dan eksperimen laboratorium. 

Berikut adalah poin-poin penting yang perlu kamu tahu:

1. Mekanisme Resistensi yang Beragam
Bakteri CRKP dan CRPA menggunakan berbagai trik untuk melawan CZA:

CRKP: Resistensi terutama disebabkan oleh enzim NDM-5 (metallo-beta-lactamase) yang tidak terpengaruh oleh avibactam. Hampir semua CRKP menghasilkan KPC-2 dan NDM-5, membuat mereka kebal terhadap banyak antibiotik, termasuk CZA.

CRPA: Resistensi didorong oleh enzim seperti AFM-2 (juga metallo-beta-lactamase), KPC-87 (varian baru dari KPC-2), dan PER-1 (beta-lactamase tahan inhibitor). KPC-87 unik karena memiliki kemampuan 1,5 kali lebih kuat menghidrolisis ceftazidime dan 7,5 kali lebih tahan terhadap avibactam, meski kehilangan kemampuan melawan karbapenem.

Promotor Tambahan: Pada KPC-87, ada fragmen ΔblaTEM-1 yang bertindak sebagai promotor tambahan, meningkatkan ekspresi enzim hingga dua kali lipat, sehingga memperkuat resistensi terhadap CZA.

Pompa Eflluks: Beberapa CRPA menggunakan pompa eflluks (seperti MexAB-OprM) untuk mengeluarkan antibiotik dari sel, meskipun efeknya lebih kecil dibandingkan enzim.

2. Penyebaran di ICU dan Antar-Regional
Bakteri tahan CZA ini tidak hanya bertahan, tapi juga menyebar:

CRKP: Dua klon utama (ST11-KL47) menyebar di antara pasien di ICU, membentuk tiga kelompok (cluster) dengan perbedaan genetik kecil (0-52 SNP). Pasien tertentu (P14) kemungkinan menjadi perantara penyebaran antar kelompok.

CRPA: Klon ST270 (penghasil KPC-87) menyebar di antara pasien di ICU, sementara klon ST275 (penghasil AFM-2) menunjukkan evolusi kompleks dengan variasi genetik besar. Yang lebih mengkhawatirkan, ST270 menyebar ke rumah sakit lain di Zhejiang melalui rujukan pasien, menunjukkan risiko penyebaran lintas-regional.

3. Tantangan Pengobatan
Resistensi terhadap CZA membatasi pilihan pengobatan:

Bakteri CRKP dan CRPA kebal terhadap banyak kombinasi antibiotik lain, seperti meropenem/vaborbactam dan imipenem/relebactam.

Mutasi pada gen oprD di CRPA menyebabkan resistensi terhadap imipenem, meskipun KPC-87 tidak lagi menghidrolisis karbapenem.

Antibiotik cadangan seperti colistin dan fosfomycin masih efektif, tetapi penggunaannya terbatas karena efek samping dan ketersediaan.


4. Implikasi untuk Kesehatan Masyarakat
Penyebaran bakteri tahan CZA di ICU menunjukkan kelemahan dalam pengendalian infeksi rumah sakit. Faktor seperti kepadatan pasien, prosedur invasif, dan penggunaan antibiotik yang intens mempercepat penyebaran. Penelitian ini menyerukan:

Pengawasan ketat: Pemantauan gen resistensi, termasuk wilayah promotor, untuk mendeteksi varian baru seperti KPC-87.

Protokol desinfeksi: Peningkatan kebersihan lingkungan untuk mencegah penyebaran bakteri dari permukaan atau peralatan medis.

Jaringan surveilans genomik: Kolaborasi antar-rumah sakit untuk melacak penyebaran lintas-regional.

Mengapa Ini Penting?

Resistensi antibiotik adalah krisis global yang bisa membuat infeksi sederhana menjadi mematikan. 

Di Indonesia, di mana akses ke antibiotik canggih sering terbatas, ancaman seperti CRKP dan CRPA bisa memperburuk situasi. 

Penyebaran bakteri tahan obat di rumah sakit juga meningkatkan biaya perawatan dan risiko kematian. 

Penelitian ini mengingatkan kita bahwa penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan kurangnya pengendalian infeksi bisa mempercepat munculnya superbug.
Kesimpulan

Penelitian ini mengungkap betapa cerdiknya bakteri CRKP dan CRPA dalam melawan CZA melalui enzim seperti NDM-5, AFM-2, dan KPC-87, serta penyebarannya yang cepat di ICU dan antar-regional. 

Ini adalah panggilan untuk bertindak bagi tenaga kesehatan, peneliti, dan masyarakat untuk mencegah krisis resistensi antibiotik yang lebih besar. Mari kita dukung upaya pengawasan dan penggunaan antibiotik yang bertanggung jawab!

Apa yang bisa kamu lakukan?

Jangan gunakan antibiotik tanpa resep dokter.

Dukung kebijakan pengendalian infeksi di rumah sakit, seperti kebersihan tangan dan desinfeksi peralatan.

Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran tentang ancaman resistensi antibiotik.

Referensi: Zhou et al. (2025). Diverse modes of ceftazidime/avibactam resistance acquisition in carbapenem-resistant Klebsiella pneumoniae and Pseudomonas aeruginosa from a Chinese intensive care unit. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials, 24:35.


Mengenal Long COVID: Temuan Terbaru dan Dampaknya untuk Masa Depan

Mengenal Long COVID: Temuan Terbaru dan Dampaknya untuk Masa Depan

Mengenal Long COVID: 

Temuan Terbaru dan Dampaknya untuk Masa Depan

"Ilustrasi digital seorang individu duduk di meja dengan ekspresi lelah namun penuh harapan, menggambarkan Long COVID. Latar belakang menampilkan simbol transparan jantung, otak, dan paru-paru, serta elemen kesehatan seperti masker wajah dan pulse oximeter. Suasana ruangan cerah dengan jendela terbuka dan tanaman hijau, menggunakan palet warna biru dan hijau yang menenangkan."



fragmenilmiah.com - Pernah dengar istilah Long COVID? Ini bukan sekadar sisa gejala setelah sembuh dari COVID-19, tapi sindrom kompleks yang memengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. 

Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan di Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials (2025), lebih dari 400 juta orang di seluruh dunia diperkirakan mengalami Long COVID

Angka ini jauh lebih besar dari yang kita bayangkan, terutama karena risiko bertambah dengan infeksi berulang. 

Apa sih Long COVID itu, dan mengapa kita perlu peduli? Yuk, kita ulas temuan penting dari studi global ini!

Apa Itu Long COVID?

Long COVID, atau dikenal juga sebagai post-COVID conditions (PCC) atau post-acute sequelae of SARS-CoV-2 (PASC), adalah kondisi di mana seseorang masih mengalami gejala setelah infeksi akut COVID-19 selesai. 



Gejalanya bisa sangat beragam, mulai dari kelelahan ekstrem, kabut otak (brain fog), hingga masalah jantung dan pernapasan. 

Penelitian ini melibatkan 179 ahli dari 28 negara, termasuk dokter, peneliti, dan penderita Long COVID, yang bekerja sama untuk memahami definisi, diagnosis, pengobatan, dan dampak sosialnya.

Fakta Penting:

Sekitar 15% orang yang terinfeksi COVID-19 berisiko mengalami Long COVID per infeksi.

Wanita dua kali lebih berisiko dibandingkan pria.
Usia 18-64 tahun adalah kelompok yang paling banyak terkena dampak.

Long COVID bisa memengaruhi berbagai organ, bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala awal saat terinfeksi.

Temuan Utama Penelitian

Studi ini menggunakan metode Delphi yang melibatkan diskusi mendalam dengan para ahli untuk mencapai konsensus tentang Long COVID. Berikut adalah poin-poin utama yang perlu kamu tahu:



1. Diagnosis yang Lebih Jelas
Long COVID bukanlah penyakit tunggal, melainkan payung besar yang mencakup berbagai gejala. Konsensus ahli menekankan pentingnya:

Pemeriksaan menyeluruh untuk gejala seperti kelelahan, post-exertional malaise (PEM, kelelahan ekstrem setelah aktivitas), dan gangguan kognitif.

Tes spesifik untuk mendeteksi gangguan saraf, jantung, pernapasan, dan pencernaan, seperti postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS), gangguan autoimun, dan masalah pembekuan darah.

Biomarker di masa depan akan sangat membantu diagnosis, meskipun saat ini masih terbatas.

Penting untuk dicatat, banyak tes standar sering kali menunjukkan hasil normal, jadi dokter perlu tes khusus dan mempertimbangkan laporan pasien tentang perubahan kemampuan sehari-hari.

2. Pendekatan Pengobatan
Pengobatan Long COVID harus disesuaikan dengan gejala pasien. Beberapa rekomendasi pengobatan meliputi:

Tim multidisiplin untuk menangani berbagai aspek, seperti dokter saraf, kardiolog, dan psikolog.
Terapi spesifik untuk gangguan seperti POTS, gangguan tidur, diabetes baru, dan nyeri kronis.



Pendekatan hati-hati terhadap olahraga, karena latihan bertahap hanya cocok untuk pasien tanpa PEM. Jika salah, olahraga justru bisa memperburuk gejala!

Penggunaan obat seperti antikoagulan atau suplemen (misalnya vitamin B dan probiotik) bisa membantu beberapa pasien, tapi harus diawasi dokter berpengalaman.

3. Prioritas Penelitian
Para ahli sepakat bahwa penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan, terutama untuk:

Anak-anak: Dampak Long COVID pada anak, termasuk gangguan belajar, diabetes baru, dan kesehatan mental, harus jadi prioritas.

Efek jangka panjang: Bagaimana Long COVID memengaruhi jantung, pembuluh darah, sistem saraf, dan metabolisme.

Vaksinasi: Penelitian tentang bagaimana vaksin memengaruhi Long COVID, termasuk kemungkinan gejala serupa Long COVID setelah vaksinasi pada beberapa orang.

Dampak sosial dan ekonomi: Long COVID bisa membebani masyarakat dan ekonomi, terutama di negara berpenghasilan rendah.

4. Dampak pada Anak dan Masyarakat
Long COVID tidak hanya soal kesehatan, tapi juga kehidupan sehari-hari. Anak-anak yang terkena bisa kesulitan di sekolah, baik karena gangguan kognitif maupun kelelahan. 

Di sisi lain, dampak ekonomi, seperti hilangnya produktivitas kerja, juga jadi perhatian besar. 

Studi ini menyerukan pembentukan task force internasional untuk mengoordinasikan penelitian dan berbagi data secara global.

Mengapa Ini Penting?

Long COVID adalah krisis kesehatan global yang belum sepenuhnya dipahami. Dengan lebih dari 400 juta penderita, ini bukan masalah kecil. 

Penyakit ini bisa memengaruhi siapa saja, termasuk mereka yang awalnya hanya mengalami gejala ringan. 

Di Indonesia, di mana akses ke layanan kesehatan mungkin terbatas, tantangan Long COVID bisa lebih besar. Oleh karena itu, penting untuk:

Meningkatkan kesadaran: Kenali gejala seperti kelelahan ekstrem, kesulitan berkonsentrasi, atau masalah jantung, dan segera konsultasikan ke dokter.

Mendukung penelitian: Dukungan untuk penelitian lokal dan global akan membantu menemukan pengobatan yang lebih baik.



Mencegah reinfeksi: Langkah sederhana seperti ventilasi udara yang baik di ruang publik bisa mengurangi risiko infeksi ulang, yang meningkatkan peluang Long COVID.

Long COVID adalah tantangan besar yang membutuhkan kerja sama global. 

Penelitian ini memberikan panduan awal bagi dokter, peneliti, dan pembuat kebijakan untuk memahami, mendiagnosis, dan mengobati kondisi ini. 

Bagi kita semua, ini adalah pengingat untuk tetap waspada terhadap dampak jangka panjang COVID-19, terutama pada anak-anak dan komunitas yang rentan.

Mari dukung upaya penelitian dan jaga kesehatan kita dengan lebih baik!
Apa yang bisa kamu lakukan?

Jika kamu atau keluargamu mengalami gejala berkepanjangan setelah COVID-19, jangan ragu untuk konsultasi ke dokter.
Bagikan artikel ini untuk meningkatkan kesadaran tentang Long COVID.
Dukung kebijakan kesehatan masyarakat, seperti ventilasi yang lebih baik di sekolah dan tempat kerja.

Referensi: Ewing et al. (2025). Long COVID clinical evaluation, research and impact on society: a global expert consensus. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials, 24:27.